Karyawan menata uang di BSI KC Semarang Ahmad Yani, Semarang, Jakarta, Kamis (27/2/2025). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
JAKARTA, DDTCNews - Berlakunya pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) mengharuskan pemberi kerja untuk memotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi dalam hal pegawai tetap menerima gaji dan tunjangan hari raya (THR) pada masa pajak yang sama.
Kewajiban tersebut timbul mengingat PMK 168/2023 mengatur bahwa dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan TER pada masa pajak selain masa pajak terakhir untuk pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto yang diterima dalam 1 masa pajak.
"Besarnya PPh Pasal 21 terutang pada setiap masa pajak selain masa pajak terakhir dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan sebagaimana diatur dalam PP ... dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai tetap dan pensiunan dalam 1 masa pajak," bunyi lampiran PMK 168/2023, dikutip Rabu (12/3/2025).
Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a PMK 168/2023 telah diatur bahwa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima pegawai tetap baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
Penghasilan yang bersifat teratur dan tidak teratur tersebut mencakup gaji, tunjangan lainnya, uang lembur, bonus, THR, jasa produksi, tatiem, gratifikasi, penghasilan tidak teratur lainnya, pembayaran iuran jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian oleh pemberi kerja, hingga pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja.
Bagi pegawai tetap, TER yang digunakan untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 selain masa pajak terakhir adalah tarif efektif bulanan yang terlampir pada PP 58/2023.
Dalam lampiran PP 58/2023, tampak bahwa tarif efektif bulanan yang dikenakan dalam suatu masa pajak berangsur naik sejalan dengan lapisan penghasilan brutonya.
Contoh, pada Februari 2025 seorang pegawai tetap bernama Tuan X menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp10 juta. Tuan X berstatus tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan (TK/0). Atas penghasilan bruto tersebut berlaku tarif efektif bulanan sebesar 2% sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong adalah senilai Rp200.000.
Pada Maret 2025, Tuan X memperoleh THR sehingga penghasilan bruto yang diperoleh naik dari Rp10 juta menjadi Rp20 juta. Sesuai dengan PP 58/2023, tarif efektif bulanan yang berlaku atas penghasilan bruto senilai Rp20 juta adalah 9%.
Dengan demikian, PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja khusus pada bulan diterimanya THR adalah senilai Rp1,8 juta.
Walau terdapat lonjakan beban PPh Pasal 21 pada bulan diterimanya THR, pada masa Desember pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung PPh Pasal 21 yang terutang dalam 1 tahun pajak.
Penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak Desember dilakukan dengan turut memperhitungkan PPh Pasal 21 yang sudah dipotong menggunakan tarif efektif bulanan pada masa pajak Januari hingga November.
"Jumlah PPh Pasal 21 terutang dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dikalikan dengan jumlah penghasilan kena pajak," bunyi lampiran PMK 168/2023.
Bila PPh Pasal 21 yang dipotong pada Januari hingga November ternyata melebihi jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam setahun, pemberi kerja wajib mengembalikan kelebihan pemotongan PPh Pasal kepada pegawai tetap paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir. (sap)