Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungkapkan tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara ketentuan pajak minimum global Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136/2024 dan global anti base erosion (GloBE) rules.
Menurut Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Melani Dewi Astuti, perbedaan yang signifikan antara PMK 136/2024 dan GloBE rules hanya terdapat pada mekanisme pengenaan undertaxed payment rules (UTPR).
"Kalau yang material itu saja, selebihnya sama," ujar Melani dalam webinar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI), dikutip Jumat (14/2/2025).
Dalam GloBE rules, top-up tax berdasarkan UTPR dikenakan oleh yurisdiksi melalui pembatalan pembebanan biaya (denial of deduction). Namun, Indonesia melalui PMK 136/2024 memilih untuk menerapkan UTPR dengan cara mengenakan pajak secara langsung terhadap top-up tax yang dialokasikan untuk Indonesia.
Meski GloBE rules hanya mengenal pengenaan top-up tax berdasarkan UTPR melalui denial of deduction, OECD dalam commentary atau GloBE rules memungkinkan yurisdiksi untuk mengenakan top-up tax berdasarkan UTPR secara langsung senilai top-up tax yang sudah dialokasikan.
"Top-up tax berdasarkan UTPR setelah dialokasikan menggunakan formula itu ketemu berapa, langsung senilai itulah dikenakan pajak. Indonesia menggunakan metode yang langsung itu, tidak melalui pembatalan pembebanan biaya," ujar Melani.
Menurut Melani, Indonesia memilih untuk tidak mengadopsi denial of deduction karena skema pengenaan top-up tax tersebut dipandang terlalu kompleks, utamanya bila diterapkan atas wajib pajak yang berkewajiban membayar PPh final.
"Untuk yang lain [selain UTPR] kan diizinkan untuk modifikasi. Misalnya qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) itu kan boleh ada yang namanya mandatory variation, ada yang enggak," ujar Melani.
Sebagai informasi, PMK 136/2024 merupakan landasan dari penerapan pajak minimum global di Indonesia. Pajak minimum global berlaku atas entitas konstituen yang merupakan bagian dari grup dengan omzet tahunan minimal €750 juta setidaknya dalam 2 dari 4 tahun pajak sebelum tahun pajak pengenaan pajak minimum global.
Bila entitas konstituen tercakup dalam pajak minimum global, entitas-entitas pada suatu yurisdiksi harus menghitung tarif pajak efektif sesuai dengan ketentuan pajak minimum global.
Jika tarif pajak efektif entitas konstituen pada suatu yurisdiksi tak mencapai tarif minimum 15%, entitas harus membayar pajak tambahan dengan tarif sebesar selisih antara tarif minimum dan tarif pajak efektif.
Pajak tambahan bisa dikenakan terlebih dahulu oleh yurisdiksi sumber bila yurisdiksi tersebut telah menerapkan QDMTT, yakni pajak minimum domestik yang sejalan dengan ketentuan pajak minimum global.
Dalam hal yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT, yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) berhak mengenakan pajak tambahan atas laba yang kurang dipajaki oleh yurisdiksi sumber. Pajak tambahan oleh yurisdiksi UPE dikenakan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Apabila yurisdiksi UPE tidak menerapkan IIR dan yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT, yurisdiksi lainnya dapat mengenakan pajak tambahan melalui denial of deduction atau penyesuaian yang setara melalui mekanisme UTPR.
Dengan ditetapkannya PMK 136/2024, Indonesia resmi menerapkan QDMTT dan IIR mulai 2025, sedangkan UTPR baru akan diterapkan pada 2026. (sap)