Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu mengantisipasi kebutuhan belanja rumah tangga yang terus meningkat. Mandiri Spending Index yang dirilis Bank Mandiri menyebutkan belanja masyarakat terkait dengan kebutuhan pangan terus mengalami peningkatan. Kondisinya diproyeksikan terus berlanjut hingga tahun depan, seiring dengan sejumlah kebijakan pungutan pajak dan iuran yang disesuaikan.
Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (3/12/2024).
Harian Kompas misalnya, turut mengangkat topik ini dalam headline-nya. Media massa tersebut menuliskan kekhawatiran tentang risiko ekonomi yang dialami masyarakat ekonomi bawah sebagai dampak dari berbagai pungutan dan iuran yang berlaku tahun depan, seperti kenaikan tarif PPN menjadi 12%, normalisasi tarif PPH final bagi pelaku UMKM, hingga pengalihan subsidi energi ke bantuan langsung tunai (BLT).
Tim ekonomi dari Bank Mandiri menerbitkan laporan bahwa proporsi belanja masyarakat terkait dengan kebutuhan pangan pada November 2024 tercatat 22,1%, naik 2 kali lipat jika dibandingkan dengan situasi pada awal 2023.
Secara keseluruhan, proporsi belanja masyarakat terhadap kebutuhan sehari-hari (basic necessities) pada November 2024 tercatat 40,2%, naik 6,3% secara tahunan.
Pemerintah dinilai perlu mengantisipasi perkembangan situasi yang terjadi selepas kenaikan tarif PPN tahun depan. Laporan Survei Keyakinan Konsumen Bank Indonesia pada Oktober 2024 pun menunjukkan bahwa porsi pendapatan masyarakat untuk konsumsi (average prosperity to consume) sebesar 74,5%, naik dari September 2024 sebesar 74,1%.
Tak cuma itu, porsi pendapatan masyarakat untuk tabungan (saving ton income ratio) mengalami penurunan, yakni dari 15,3% pada September 2024 menjadi 15% pada Oktober 2024. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengambil porsi tabungannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan tabungan kelas menengah, terutama menengah ke bawah, saat ini terus tergerus. Menurutnya, hal ini turut disebabkan pelemahan daya beli masyarakat.
"Middle to lower sangat rentan terhadap pengeluaran pangan. Kalau harga pangan naik, mereka makin tertekan. Terutama dengan adanya potongan-potongan lainnya," kata Andry.
Selain ulasan mengenai risiko makin meningkatkan kebutuhan belanja rumah tangga, ada pula topik lain yang juga diangkat oleh media massa pada hari ini. Di antaranya, rencana kenaikan tarif PPN yang dinilai perlu untuk dipandang secara komprehensif, ketentuan coretax system, dan bakal ditunjuknya Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu sebagai Menteri Penerimaan Negara.
Publik perlu mengingat bahwa pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas PPN. Kebijakan tersebut bisa menjadi kompensasi atas kenaikan tarif pada tahun depan.
Founder DDTC Darussalam mengatakan publik perlu memahami sistem PPN secara utuh mengingat isunya bukan hanya soal tarif. Pemberian fasilitas dan pengaturan threshold PKP yang tinggi juga menjadi upaya untuk untuk mengedepankan aspek keadilan dalam sistem PPN tersebut.
"Adanya skema fasilitas PPN yang bervariasi serta batasan threshold PKP yang tinggi sudah memberikan sinyal bahwa kenaikan tarif PPN 12% akan lebih dapat dikelola dampaknya. Saya melihat pemerintah rela, ikhlas, untuk tidak mengenakan ini karena tujuannya semata-mata pembelaan kepada masyarakat berpenghasilan rendah," katanya. (DDTCNews)
Pemerintah masih dihadapkan tantangan ekonomi berupa pelemahan daya beli masyarakat. Salah satu parameter yang bisa menunjukkan pelemahan ini adalah skor Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang berada di level 49,6. Dengan di bawah 50, artinya kinerja manufaktur Indonesia berada di zona kontraksi.
Selain itu, laju inflasi juga terus menurun. Inflasi November 2024, yakni 1,55% (year on year), bahkan tercatat paling rendah sejak Agustus 2021.
Merespons kondisi tersebut, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan sempat bilang bahwa kenaikan tarif PPN pada 2025 berpotensi diundur. Menurutnya, opsi pengunduran kenaikan tarif PPN terbuka seiring dengan masih lemahnya daya beli masyarakat. Kondisi itu membuat pemerintah lebih memilih untuk memberikan insentif terlebih dulu, ketimbang langsung menaikkan tarif PPN. (Kontan, DDTCNews)
Sejalan dengan makin dekatnya waktu dimulainya kenaikan tarif PPN menjadi 12%, yakni 1 Januari 2025, gelombang penolakan dari publik masih cukup kencang. Penolakan tersebut, salah satunya, dituangkan dalam petisi pada platform Change.org yang hingga saat ini sudah ditandatangani lebih dari 14.000 orang.
Petisi daring bertajuk 'Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!' tersebut ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Melalui petisi itu, publik menyampaikan aspirasinya bahwa kenaikan PPN dinilai belum tepat di tengah daya beli yang masih melemah, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tingginya biaya hidup. (Harian kompas)
Coretax administration system mengubah mekanisme restitusi atas PPh yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut.
Merujuk pada Pasal 130 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024, PPh yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut diminta kembali oleh pemotong atau pemungut dengan mengajukan permohonan.
"Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 yang terkait dengan PPh, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pemotong atau pemungut pajak dengan mengajukan permohonan," bunyi Pasal 130 ayat (1) PMK 81/2024. (DDTCNews)
Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo mengatakan wakil menteri keuangan hanyalah jabatan sementara bagi Anggito Abimanyu.
Menurut Hashim, Presiden Prabowo Subianto nantinya akan melantik Anggito menjadi menteri penerimaan negara. Anggito selaku menteri akan ditugaskan untuk melaksanakan perbaikan sistem perpajakan dan cukai.
"Itu nanti ditangani oleh Pak Anggito sebagai menteri penerimaan negara yang baru. Saya kira beliau sebagai wakil menteri itu untuk sementara," ujar Hashim. (DDTCNews) (sap)