DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Siapkan TP Doc, Asesmen Risiko dan TPCF Punya Peran Penting

Muhamad Wildan
Kamis, 29 Agustus 2024 | 17.46 WIB
Siapkan TP Doc, Asesmen Risiko dan TPCF Punya Peran Penting

Transfer Pricing Leader and Senior Advisor DDTC Consulting Romi Irawan (tengah) dan Partner of DDTC Consulting Yusuf Wangko Ngantung (kanan) saat menjadi pembicara dalam DDTC Exclusive Gathering: Tax Update 2024, Kamis (29/8/2024).

JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak perlu melakukan risk assessment terkait dengan transfer pricing sehingga wajib pajak memiliki transfer pricing documentation (TP Doc) yang baik.

Transfer Pricing Leader and Senior Advisor DDTC Consulting Romi Irawan mengatakan risk assessment merupakan langkah awal yang diperlukan bagi wajib pajak sebelum mengembangkan transfer pricing control framework.

"Ketika kita sudah profiling bahwa atas transaksi dengan afiliasi kita ini masuk dalam kategori berisiko tinggi dan sering diperiksa, harapannya ini bisa mendorong internal kita untuk membuat struktur yang lebih suportif untuk mendesain framework tadi," katanya, Kamis (29/8/2024).

Oleh karena itu, lanjut Romi, wajib pajak harus mampu melakukan profiling terhadap setiap transaksi serta mengantisipasi potensi pemeriksaan hingga sengketa ke depan.

Terlebih, DJP memiliki panduan dalam mengategorikan wajib pajak yang melakukan perencanaan pajak secara agresif sehingga transfer pricing rawan dikoreksi. Kategorisasi wajib pajak ini tercantum dalam SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.

"Jadi, dengan mem-profile transaksi, kita bisa menyimpulkan kita berada pada level mana. Itulah yang diharapkan bisa menjadi faktor pendorong untuk membuat framework pembuatan TP Doc tadi dan memastikan itu bisa berjalan dengan merangkul semua pihak yang berkepentingan," ujarnya.

Dengan adanya transfer pricing control framework, lanjut Romi, setiap pemangku kepentingan di internal perusahaan diharapkan dapat turut dilibatkan dalam keputusan terkait dengan penetapan harga tersebut.

Menurutnya, pihak-pihak yang memiliki peran dalam menetapkan harga perlu dilibatkan agar setiap data dan informasi terkait dengan penetapan harga bisa dimasukkan ke dalam TP Doc.

"Libatkan mereka dalam framework penetapan harga ini. Jadi, mereka tahu, sebelum menawarkan harga, ada beberapa runutan prosedur atau proses yang mereka harus lakukan sebelum mereka bisa mengeluarkan sebuah keputusan harga," tutur Romi.

Melalui transfer pricing control framework, wajib pajak juga mampu melakukan monitoring dan evaluasi berkala guna memastikan harga yang ditentukan sejak awal tahun sudah sejalan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU).

"Apabila ada hal-hal yang terjadi di luar skenario, rugi atau tidak achieve target margin di awal, paling tidak kita punya ruang untuk melakukan perubahan harga atau koreksi selama kurun waktu periode transaksi itu masih berjalan. Ini juga untuk menghindari penyesuaian akhir tahun," kata Romi.

Jika sudah memiliki transfer pricing control framework, lanjut Romi, wajib pajak juga bisa terhindar dari masalah-masalah teknis administratif yang terkait dengan penyusunan TP Doc.

Melihat berbagai manfaat tersebut, wajib pajak disarankan melakukan untuk transfer pricing control framework sejak awal tahun.

"Kalau kita mulai sejak awal tahun, kita buat sepanjang tahun mekanisme monitoringnya. Di akhir tahun, kita pastikan yang berjalan sudah proper dan sesuai. Praktis, pada 4 bulan terakhir, kita cukup meng-compile," ujar Romi.

Corresponding Adjustment

Di tempat yang sama, Partner of DDTC Consulting Yusuf Wangko Ngantung mengulas ketentuan terkait dengan penyesuaian keterkaitan (corresponding adjustment). Adapun ketentuan corresponding adjustment diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 172/2023.

Dia menjelaskan corresponding adjustment secara umum merupakan koreksi negatif yang diperlukan dalam rangka menghilangkan dampak pemajakan berganda yang timbul akibat primary adjustment.

"Misal, PT A bertransaksi dengan PT B, PT A di KPP Jakarta, PT B di KPP Surabaya, masih dalam yurisdiksi Indonesia. Ada koreksi positif 100 di PT A, dinaikkan penjualannya menjadi 100. Penjualan kita kan sama dengan pembelian lawan transaksi sehingga HPP lawan transaksi harus dikoreksi negatif. Koreksi positif di PT A, koreksi negatif di PT B. Koreksi negatif di lawan transaksi inilah yang disebut corresponding adjustment," ujarnya.

Meski PMK 172/2023 telah mengakomodasi hak corresponding adjustment, utamanya untuk transfer pricing domestik, hak tersebut tidaklah diberikan secara otomatis. Ada 2 syarat yang harus dipenuhi PT A untuk melakukan corresponding adjustment.

"Untuk mendapatkan corresponding adjustment, PT A harus setuju dulu dengan koreksi otoritas pajak dan tidak mengajukan keberatan," tutur Yusuf.

Meski 2 syarat itu sudah dipenuhi oleh PT A, sambung Yusuf, PT B tak bisa serta merta melakukan corresponding adjustment.

"PT B harus mengajukan. Koreksi negatif atau corresponding adjustment tadi hanya dipertimbangkan, tidak otomatis," kata Yusuf.

Corresponding adjustment diajukan melalui pembetulan SPT dalam hal wajib pajak yang merupakan lawan transaksi belum dilakukan pemeriksaan. Jika wajib pajak lawan transaksi sedang dilakukan pemeriksaan, corresponding adjustment dilakukan melalui penerbitan SKP.

Sebagai informasi, DDTC melaksanakan Exclusive Gathering sebagai rangkaian acara HUT ke-17, dengan mengundang 52 klien yang berasal dari berbagai sektor.

Ke depan, kegiatan gathering serta acara serupa akan digelar secara berkala oleh DDTC. Hal ini dikarenakan pelaksanaan satu kali acara belum tentu dapat mencakup seluruh klien serta stakeholder lainnya.

Forum yang tidak terlalu besar, tetapi dilakukan secara berkesinambungan diharapkan lebih efektif dalam memberikan gambaran terkini terkait dengan perkembangan perpajakan dan upaya antisipasinya kepada seluruh klien serta stakeholder lainnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.