Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - DJP merancang ulang proses bisnis organisasi untuk penerapan coretax administration system (CTAS). DJP lantas menyusun 10 business directions sebagai acuan dalam pengembangan organisasi, proses bisnis, serta sistem pada masa mendatang.
Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (12/8/2024).
“Reformasi perpajakan merupakan upaya pembenahan berbagai aspek yang dilakukan secara berkelanjutan oleh DJP,” bunyi penjelasan otoritas dalam laman resminya.
Salah satu dari 10 business adirections yang disusun DJP adalah risk-based compliance approach. Melalui konsep tersebut, wajib pajak akan diidentifikasi berdasarkan risiko kepatuhannya. Artinya, perlakuan (treatment) yang diberikan oleh otoritas pajak terhadap wajib pajak akan berbeda-beda.
DJP menambahkan pendekatan risiko dimanfaatkan untuk membantu pengambilan keputusan, menentukan tindak lanjut yang feasible, serta mengalokasikan sumber daya yang tersedia lewat prioritas pekerjaan.
Sebenarnya, pendekatan berbasis risiko sudah dijalankan DJP melalui compliance risk management (CRM). Adapun CRM pertama kali digunakan oleh DJP dalam melakukan kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pada September 2019 seiring dengan ditetapkannya SE-24/PJ/2019.
Kemudian, dengan terbitnya SE-39/PJ/2021, CRM juga digunakan untuk membantu pelayanan, edukasi perpajakan, serta identifikasi risiko transfer pricing.
Selain pendekatan berbasis risiko, ada 9 business directions lainnya yang akan dijalankan otoritas pajak. Mereka adalah streamlined process, customer-centric approach based on user experience, open and integrated system, dan data and knowledge driven.
Kemudian, ada pula digitized and automated process, enterprise wide - integrated view of taxpayer, prudent and accountable, omni channels and borderless services, serta centralized key capabilities in centers of excellence.
Selain bahasan mengenai perubahan proses bisnis melalui coretax system, ada pula pemberitaan soal masukan IMF terkait dengan pembentukan Badan Penerimaan Nasional (BPN), roadmap tax ratio, kebijakan investasi di pengujung pemerintahan Presiden Jokowi, hingga pengawasan terhadap rekening wajib pajak yang lebih ketat.
Sejalan dengan penerapan coretax system, DJP akan melakukan pemberian CRM untuk menindaklanjuti aggressive tax planning.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan pencegahan aggressive tax planning dimungkinkan lewat penggunaan data prediktif yang dihasilkan oleh deep analytics.
"CRM ini kan awal-awal hanya data deskriptif. Dari data deskriptif ini nanti akan kita olah menggunakan deep analytics. Ini yang akan kita arahkan ke mana-mana. Hasil deep analytics akan meng-update CRM," ujar Iwan. (DDTCNews)
International Monetary Fund (IMF) berpandangan rencana pembentukan perlu didahului dengan pemetaan masalah atau diagnosis yang memadai.
Menurut IMF, pemetaan masalah tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menentukan rincian kebijakan yang diperlukan dalam rangka mencapai manfaat yang diinginkan.
"Membentuk otoritas pendapatan independen bukanlah panasea. Negara-negara perlu mempertimbangkan strategi reformasi berdasarkan international best practice," tulis IMF dalam Staff Report for the 2024 Article IV Consultation. (DDTCNews)
Anggota Komisi XI DPR Vera Febrianti menilai penyusunan peta jalan atau roadmap dibutuhkan untuk memastikan peningkatan tax ratio lebih terukur.
Vera mengatakan roadmap dapat disusun untuk mengejar peningkatan tax ratio dalam jangka menengah. Meski demikian, usulan ini memang telah ditolak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Kami berharap tax ratio menjadi pembahasan utama. Misalnya pemerintah berencana 3 tahun, 5 tahun ke depan, akan meningkatkan tax ratio menjadi angka 11% atau 12%. Ini enggak ada," katanya. (DDTCNews)
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemberian insentif perpajakan tidak bisa menjadi satu-satunya strategi yang dipakai untuk menarik investasi.
Luhut mengatakan persaingan menarik investasi di antara negara-negara kawasan kini makin ketat. Untuk itu, lanjutnya, kredibilitas negara memiliki peran penting karena menjadi dasar kepercayaan investor.
"Kita tidak dapat bersaing lagi dengan negara-negara tetangga hanya sekadar mengandalkan insentif," katanya. (DDTCNews)
Pemerintah memperketat pengawasan terhadap rekening wajib pajak di lembaga keuangan. Hal ini diatur dalam PMK 47/2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Dalam beleid itu, pemerintah menambah ketentuan mengenai identifikasi rekening keuangan yang dimiliki oleh orang pribadi.
Pasal 10A PMK 47/2024 mengatur bahwa tiap lembaga keuangan tidak boleh melayani pembukaan rekening keuangan baru untuk pribadi maupun entitas. Lembaga keuangan juga dilarang untuk melayani transaksi baru pemilik rekening keuangan lama yang menolak untuk mematuhi prosedur identifikasi rekening keunangan. (Kontan) (sap)