Gedung MK.
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) akan melanjutkan sidang pengujian materiil atas ketentuan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) jasa hiburan pada pekan depan, 11 Juli 2024.
Dalam persidangan tersebut, MK akan mendengarkan keterangan dari para pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
"Sambil menunggu pemberitahuan dan panggilan sidang dalam rangka pemeriksaan persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan presiden, MK mempersilakan DPR mempersiapkan keterangan dan risalah pembahasan perihal permohonan sebagaimana dimaksud," tulis MK dalam suratnya kepada DPR, dikutip Kamis (4/7/2024).
Untuk diketahui, pengujian materiil atas ketentuan PBJT jasa hiburan dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) diajukan oleh 3 pihak, yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Secara umum, ketiga pemohon mempertanyakan tarif PBJT khusus sebesar 40% hingga 75% yang diberlakukan terhadap jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD.
Secara khusus, Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menyatakan frasa 'mandi uap/spa' pada Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menurut perhimpunan tersebut, spa seharusnya tidak dipersamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Spa seharusnya tidak dikategorikan sebagai jasa hiburan, melainkan sebagai jasa kesehatan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 8/2014.
Selanjutnya, PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke namun dikecualikan terhadap karaoke keluarga, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%'.
Menurut perusahaan tersebut, karaoke tidak selalu identik dengan hiburan. Dengan demikian, perlakuan atas karaoke tidak bisa disamaratakan. Di Indonesia, telah dikenal karaoke keluarga yang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat tanpa menyediakan minuman beralkohol dan hostess.
Oleh karena itu, pemohon juga meminta MK untuk menambahkan definisi karaoke keluarga dalam pasal penjelas dari Pasal 58.
"Karaoke keluarga sebagaimana dikecualikan dalam pasal ini adalah usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk bernyanyi diiringi dengan musik rekaman yang dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makanan dan minuman yang tidak menyediakan pemandu lagu, adapun tarif PBJT ditetapkan sesuai dengan Pasal 58 ayat (1)," tulis pemohon.
Terakhir, GIPI meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yakni maksimal 10%.
"Adanya kata 'khusus' dalam frasa 'pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa' yang dirumuskan sebagai jenis jasa tertentu atau khusus telah keliru dan prejudice karena dianggap gaya hidup mewah kelas atas. Hal ini merupakan cacat logis, kekeliruan dalam pemahaman yang tidak otentik terhadap jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa," tulis GIPI dalam permohonannya. (sap)