Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran masih akan mendalami rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (25/6/2024).
Sesuai dengan amanat UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap. Kenaikan tarif pertama mulai berlaku pada 1 April 2022, yakni dari 10% menjadi 11%. Kemudian, tarif akan kembali naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
"Semua masih akan kita koordinasikan [dengan pemerintahan saat ini],” ujar Thomas M. Djiwandono, Anggota Bidang Ekonomi dan Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Seperti diketahui, pemerintah masih memiliki ruang untuk mengubah tarif PPN. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Dengan demikian, ada ruang untuk tidak menerapkan tarif 12%. Namun, perubahan tarif harus diatur dengan peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
Adapun dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP disebutkan perubahan tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% tersebut dapat dilakukan berdasarkan pada pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan.
Selain mengenai rencana kenaikan tarif PPN, ada pula ulasan tentang kinerja penerimaan pajak yang masih terkontraksi. Kemudian, ada bahasan terkait dengan coretax administration system (CTAS) yang tengah dikembangkan Ditjen Pajak (DJP).
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Budi Djiwandono mengatakan masih akan sesi khusus guna membahas kenaikan tarif PPN. Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan mengatakan kenaikan tarif PPN diserahkan kepada pemerintahan baru.
"Nanti saja, nanti ada sesi khusus dan pendalaman," ujar Budi yang juga merupakan anggota dari Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. (DDTCNews/Kontan)
World Bank memperkirakan kenaikan tarif PPN tidak akan memberikan tambahan penerimaan pajak yang optimal bagi APBN. Menurut World Bank, dampak kenaikan tarif PPN terhadap penambahan penerimaan pajak cenderung minim akibat sempitnya basis pajak dan rendahnya kepatuhan.
"Bukti di negara-negara lain menunjukkan kenaikan tarif PPN memberikan tambahan penerimaan yang minim bila ketidakpatuhan masih terus berlanjut," tulis World Bank dalam Indonesia Economic Prospects (IEP).
Menurut World Bank, pemerintah Indonesia belum dapat memungut PPN secara optimal akibat tingginya ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP) serta banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari objek PPN. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2024 senilai Rp760,4 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak ini mengalami kontraksi 8,4% (year on year/yoy). Capaian tersebut setara 38,2% dari target senilai Rp1.989 triliun.
"Ini terutama perusahaan-perusahaan dengan harga komoditas atau perusahaan-perusahaan mining di Indonesia maupun CPO, mereka mengalami koreksi dari sisi kinerja perusahaannya," katanya.
Pada periode yang sama tahun lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp830 triliun atau tumbuh 17,7%. Sri Mulyani kontraksi penerimaan pajak terjadi akibat penurunan harga komoditas secara signifikan pada 2023 sehingga dirasakan pada tahun ini. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Penyuluh Pajak Ahli Muda Kanwil DJP Jakarta Selatan II Julistia mengatakan wajib pajak harus tetap mendaftar ketika taxpayer portal diluncurkan. Seperti diketahui, portal wajib pajak atau taxpayer portal akan disediakan oleh DJP ketika CTAS diimplementasikan.
“Jadi … taxpayer portal ini tentunya berbeda dengan DJP Online. Nanti ada face recognition juga. Jadi, tentunya kita akan tetap harus ada daftar untuk masuk taxpayer portal-nya,” katanya.
Julistia mengatakan saat pendaftaran, sistem akan memberikan opsi terkait dengan validasi NPWP. Nantinya, masyarakat yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) tapi belum menjadikannya sebagai NPWP – misal, penghasilan di bawah PTKP – tetap bisa membuat akun taxpayer portal. (DDTCNews)
Ketika CTAS diimplementasikan, pusat dan cabang tidak lagi memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masing-masing. Unit cabang tidak lagi menggunakan NPWP yang sejajar sebagai 2 entitas yang berbeda dengan induk atau pusat. Pemerintah akan menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
“Dengan demikian, ke depan tidak lagi dikenal adanya NPWP cabang. Namun, sebagai identitas untuk mengidentifikasi unit dan alamat yang berbeda dengan NPWP pusat diberikan NITKU,” tulis DJP.
Menurut DJP, manfaat utama dari penggunaan 1 nomor identitas perpajakan bagi 1 entitas (pusat dan cabang-cabangnya) adalah lebih menyederhanakan administrasi perpajakan. Selain itu, data wajib pajak juga dapat terintegrasi sehingga memudahkan konsolidasi atau pelaporan SPT Tahunan. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan akan menyiapkan sejumlah rekomendasi terkait dengan kebijakan pajak yang perlu disiapkan oleh pemerintahan berikutnya guna meningkatkan tax ratio.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan rekomendasi itu akan disampaikan kepada tim presiden terpilih.
"Nanti, kami akan menyampaikan kepada pemerintahan baru, apa-apa langkah yang bisa lakukan dalam meningkatkan penerimaan negara," katanya. (DDTCNews) (kaw)