Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Dana Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan SKK Migas, mengevaluasi industri penerima harga gas bumi tertentu (HGBT). Evaluasi akan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini dan perkembangan sektor industri penerima HGBT.
HGBT senilai US$6 per MMBTU yang diberikan kepada 7 sejak 2020 merupakan bentuk dukungan pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional. Kebijakan ini dinilai mampu meringankan beban fiskal perusahaan, termasuk dari sisi perpajakan atau penyerapan tenaga kerja.
"Sesuai dengan Perpres 121/2020 evaluasi penetapan HGBT dilakukan setiap tahun atau sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri," kata Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, dikutip pada Jumat (5/4/2024).
Secara umum, pelaksanaan evaluasi terkait pelaksanaan penetapan pengguna gas bumi tertentu dan HGBT dilakukan oleh dirjen ketenagalistrikan, kepala BPH Migas, kepala SKK Migas atau kepala BPMA, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Keuangan.
"Masing-masing menyampaikan hasil evaluasi masing-masing kepada tim koordinasi yang diketuai dirjen migas," tambah Tutuka.
Tutuka melanjutkan, Kementerian Perindustrian dan Ditjen Ketenagalistrikan telah melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT terhadap industri pengguna gas bumi tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT dan bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum.
Saat ini, imbuh Tutuka, Kementerian Perindustrian telah menyampaikan data evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT. Namun, Kemenperin belum melengkapinya dengan hasil evaluasi multiplier effect (nilai tambah yang terkuantifikasi) setiap industri pengguna gas bumi tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT.
Selanjutnya, dirjen ketenagalistrikan juga telah menyampaikan evaluasi implementasi HGBT di bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Sama dengan Kemenperin, Ditjen Ketenagalistrikan juga belum melampirkan hasil evaluasi atas implikasinya terkait penerimaan perpajakan.
Tutuka mengungkapkan dalam realisasi penyerapan oleh pengguna gas bumi tertentu ditengarai kurang maksimal bagi industri pupuk. Dalam 5 tahun terakhir, dia mengatakan, ada kecenderungan penurunan volume realisasi HGBT untuk industri pupuk walaupun tidak begitu besar.
Tidak optimalnya serapan volume oleh pengguna gas bumi tertentu, khususnya bagi industri pupuk, terutama disebabkan kendala maintenance dan operasi pabrik. Selain itu, kurang optimalnya serapan HGBT juga disebabkan keterbatasan kemampuan pasokan hulu migas yang dikelola SKK Migas.
Namun demikian, Tutuka menegaskan ke depannya industri pupuk akan memerlukan kebutuhan gas yang besar yang tentunya perlu dipersiapkan.
"Melihat proyeksi kebutuhan gas untuk pupuk yang dikeluarkan oleh grup PT Pupuk Indonesia akan terjadi peningkatan kebutuhan PT Pupuk Indonesia dari 820 MMSCFD menjadi sekitar 1.076 MMSCFD per hari pada 2030," jelas Tutuka.
Pada 2022, subsidi pupuk secara total senilai Rp27,55 triliun. Angka ini menurun 16,12% jika dibandingkan dengan 2019 atau menurun 9,37% ketimbang 2020. Namun, jika dibandingkan dengan 2021, subsidi pupuk pada 2022 mengalami peningkatan sebesar 2,77%.
Tutuka menambahkan, dari 7 sektor industri pengguna gas bumi tertentu, bidang industri pupuk merupakan sektor industri yang menggunakan input gas bumi paling besar (58,48%) di dalam biaya produksinya.
"Kebijakan HGBT terbukti memberikan dampak positif bagi peningkatan produksi, penjualan, pajak dan dalam penyerapan gas," pungkas Tutuka. (sap)