KEBIJAKAN PAJAK

Pengusaha Minta Hiburan Malam, Karaoke, dan Spa Dipajaki Maksimal 10%

Muhamad Wildan
Jumat, 15 Maret 2024 | 16.17 WIB
Pengusaha Minta Hiburan Malam, Karaoke, dan Spa Dipajaki Maksimal 10%

Ilustrasi. Pengunjung bernyanyi dengan menerapkan jaga jarak di sebuah gerai karaoke. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/wsj.

JAKARTA, DDTCNews - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) bersama sejumlah badan hukum meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut Pasal 58 ayat (2) UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Melalui kuasa hukum bernama Muhammad Joni, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasalnya, ayat tersebut dipandang secara diskriminatif mengenakan PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

"Itu adalah tarif yang tinggi sendirian dibandingkan dengan jenis dari jasa kesenian dan hiburan yang ada di dalam undang-undang ini justru diturunkan menjadi 10%," ujar Joni, dikutip Jumat (15/3/2024).

Pasal 58 ayat (2) UU HKPD perlu dinyatakan bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat agar diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa mendapatkan perlakuan yang sama dengan jenis-jenis jasa hiburan lainnya.

Menurut pemohon, jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa adalah usaha yang bersifat umum, tidak identik dengan kemewahan, dan tidak ada urgensi untuk dikendalikan.

"Maksud daripada permohonan ini adalah untuk dipersamakan kembali dengan jenis jasa kesenian dan hiburan yang diatur di dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l ... yaitu dengan tarif pajak tunggal paling tinggi 10%. Jadi, bukan untuk menihilkan pajak hiburan untuk 5 kelompok yang dibedakan," ujar Joni.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku hakim ketua dalam sidang perbaikan permohonan pun mengatakan permohonan akan dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Namun, jadwal sidang lanjutan terkait permohonan ini akan disesuaikan dengan sidang sengketa pemilu.

"Kami mohon nanti bisa ditunggu kabar lebih lanjut dari kepaniteraan karena kebetulan juga di MK dalam waktu tidak lama lagi kami akan menghadapi sengketa pemilu. Sehingga, kabar lebih lanjutnya kami akan atur sedemikian rupa sesuai dengan hukum acara yang ada di MK," ujar Enny. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.