Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akan merilis peraturan yang mengatur pemberian insentif fiskal untuk mobil listrik pada Februari 2024. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (16/2/2024).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan beleid tersebut akan mengatur mekanisme insentif potongan PPN untuk mobil listrik dari 11% menjadi 1% dengan syarat minimal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40%.
"Penjualan Januari hampir semua EV relatif terhenti karena menunggu PMK. Jadi, kita akan segera selesaikan. Insya Allah selesai [bulan ini] karena Pemilu kan sudah selesai jadi kita urus," katanya dikutip dari bisnis.com.
Selain insentif mobil listrik murni atau battery electric vehicle (BEV), pemerintah juga telah menjalin komunikasi terkait dengan insentif untuk jenis hybrid. Menurut Airlangga, Presiden Joko Widodo sudah berbicara dengan industri terkait dengan insentif tersebut.
Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik murni atau battery electric vehicle (BEV) mencapai 17.058 unit, hybrid (HEV) sekitar 52.568 unit, dan plug-in hybrid (PHEV) sebanyak 137 unit.
Berdasarkan jumlah tersebut, kontribusi penjualan mobil berbasis listrik masih didominasi segmen HEV sebesar 75,3%, BEV sekitar 24,5%, dan sisanya merupakan PHEV. Selain mobil listrik, ada pula ulasan lainnya seperti pajak hiburan, layanan lupa email, hingga pemadanan NIK-NPWP.
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meminta para pelaku usaha diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama.
Pembayaran pajak hiburan menggunakan tarif lama tersebut dilakukan sepanjang berjalannya proses pengujian materiil atas UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hal ini dilakukan agar dapat menjaga keberlangsungan usaha hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen," imbau GIPI melalui surat edarannya. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) menutup layanan lupa electronic filing identification number (EFIN) melalui media sosial X (Twitter).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan wajib pajak kini diarahkan untuk mengakses layanan lupa EFIN melalui saluran lainnya seperti email. Alasannya, layanan lupa EFIN melalui email dinilai lebih aman bagi wajib pajak daripada lewat X.
"Atas alasan keamanan data, DJP menutup layanan lupa efin melalui X dan hanya menerima melalui email [email protected]," katanya. (DDTCNews)
Pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak terakhir dihitung menggunakan tarif PPh Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (DPP). Hasilnya, dikurangi dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa pajak selain masa pajak terakhir.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 15 PMK 168/2023. Lantas bagaimana jika karyawan mengundurkan diri atau resign pada Januari 2024? Jika begitu, Januari menjadi masa pajak pertama sekaligus yang terakhir bagi karyawan.
"Apabila pegawai tetap resign di masa Januari 2024, maka tidak perlu dibuatkan bukti potong bulanan, melainkan bukti potong 1721-A1," cuit contact center Ditjen Pajak (DJP) saat menjawab pertanyaan netizen. (DDTCNews)
Kepastian sistem pajak dinilai memiliki keterkaitan yang erat dengan masuknya investasi langsung asing (foreign direct investment) ke Indonesia.
Founder DDTC Darussalam mengatakan kepastian sistem pajak akan membantu investor mengalkulasi besaran pajak yang nantinya harus dibayarkan sejak awal. Di sisi lain, ketidakpastian dalam sistem pajak justru berpotensi menimbulkan biaya pajak tambahan di kemudian hari.
"Dari pengalaman saya, tax certainty jauh lebih penting dari insentif pajak itu sendiri. Wajib pajak akan mau berinvestasi jika dia bisa menghitung berapa cost pajaknya sejak awal. Mereka tidak suka ada surprise karena terjadi adjustment di tengah jalan," katanya. (DDTCNews)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempunyai jurus baru dalam menutup kebocoran yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak.
Salah satunya adalah implementasi secara penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mulai 1 Juli 2024 mendatang.
Sejalan dengan hal tersebut, maka DJP juga telah mengeluarkan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG 6/PJ.09/2024. (kontan.co.id)