Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) saat bertemu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
JAKARTA, DDTCNews - Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mendukung penggodokan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai yang kini sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Namun, ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU Penilai tersebut.Â
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan profesi penilai yang bergerak di berbagai bidang membutuhkan payung hukum untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi mereka.Â
"Profesi penilai memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Sebab, para penilai menjalankan mandat dari negara untuk melakukan penilaian, yang menjadi salah satu tahapan dalam pengadaan tanah, termasuk dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN)," kata Moeldoko, dikutip pada Selasa (17/10/2023).Â
Moeldoko memberi masukan kepada Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) agar menyempurnakan Standar Penilaian Indonesia (SPI). Bagi Moeldoko, seorang penilai tidak boleh hanya menilai fisik saja, tetapi juga melihat aspek sosial dan kemanusiaan dari objek yang dinilai.Â
"Sehingga hasil penilaian dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," kata Moeldoko.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional MAPPI Muhammad Adil Muttaqin menambahkan RUU Penilai tidak hanya penting untuk mendukung pembangunan nasional, tetapi juga terkait dengan sektor-sektor strategis lainnya.Â
"Selain dalam pengadaan tanah, MAPPI juga terlibat dalam pengembangan dan penguatan sektor keuangan," katanya.
Sebagai informasi, pembahasan RUU Penilai sudah berlangsung cukup lama. Konsultasi publik juga sudah digelar beberapa kali sejak 2022 lalu.Â
Profesi penilai saat ini memiliki peran penting di berbagai bidang, antara lain dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah, pengelolaan aset, perpajakan, perbankan, pasar modal, pembangunan insfrastruktur (pengadaan tanah untuk kepentingan umum), dan sebagainya.Â
Namun demikian bila dibandingkan dengan profesi lain seperti advokat, notaris, akuntan, hanya profesi penilai yang belum diatur UU. Hal ini, membuat posisi penilai masih lemah apabila mendapat permasalahan terkait penilaian, seperti adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atas nilai yang dikeluarkan oleh penilai, munculnya gugatan, penyalahgunaan hasil penilaian, dan sebagainya.
Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu sempat memberikan alasan di balik perlunya RUU Penilai. DJKN menyebutkan adanya UU Penilai akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi penilai maupun masyarakat.Â
Adanya UU Penilai juga akan mengikat semua pihak yang terkait dengan penilaian, sehingga keduanya akan mendapatkan rasa keadilan. Kasus perselisihan nilai juga dapat dikurangi dengan adanya kesamaan kompetensi dan etik, serta benchmark nilai pasar.Â
Selain itu, keberadaan UU penilai dinilai akan mendorong terbentuknya pusat data transaksi properti secara nasional yang tervalidasi. Data transaksi yang tervalidasi dapat mendukung optimalisasi penerimaan negara.Â
Terakhir, tulis DJKN dalam keterangannya, dengan hadirnya UU Penilai dapat menjadi salah satu upaya untuk pencegahan krisis ekonomi. Transaksi keuangan dengan underlying asset dapat menunjukan nilai sebenarnya dan mengurangi Non-Performing Loan (NPL) atau mortgage failure. (sap)