Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) melibatkan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) untuk menagih sanksi denda atas pelanggaran ketentuan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) berdasarkan PP 1/2019.
Kepala Subdirektorat Ekspor DJBC Pantjoro Agoeng mengatakan sanksi denda atas pelanggaran ketentuan DHE SDA berdasarkan PP 1/2019 mencapai Rp56 miliar. Dari angka tersebut, senilai Rp32 miliar belum dibayar.
"Sudah ada tagihannya yang memang harus diselesaikan. Bahkan mekanisme kami, kalau dia dalam jangka waktu tertentu tidak menyampaikan, pasti akan segera ditindaklanjuti oleh KPKNL," katanya, dikutip pada Selasa (15/8/2023).
Pantjoro menuturkan PP 1/2019 mewajibkan eksportir SDA menempatkan DHE yang diperoleh di dalam negeri. Untuk eksportir yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, pengenaan sanksi denda dan penundaan pelayanan kepabeanan diatur dalam PMK 98/2019 j.o PMK 135/2021.
Eksportir yang menurut penilaian Bank Indonesia (BI) tidak menempatkan DHE di rekening khusus akan dikenakan denda sebesar 0,5% dari DHE yang belum ditempatkan.
Jika eksportir menggunakan DHE SDA di luar ketentuan penggunaan maka dikenakan denda 0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan.
Ketentuan mengenai DHE SDA ini telah diperkenalkan sejak 2019. Kebijakan itu dilakukan agar para eksportir menempatkan DHE pada rekening khusus dalam sistem keuangan Indonesia yang diawasi BI.
Namun, pada 2020, pemerintah dan BI sempat memberikan relaksasi atas pelanggaran DHE SDA karena pandemi Covid-19.
Kini, melalui PP 36/2023, pemerintah kembali mempertegas kewajiban eksportir menempatkan DHE SDA di dalam negeri. Meski demikian, dalam PMK 73/2023, sudah tidak ada ketentuan soal sanksi kepada pelanggar ketentuan DHE SDA berupa denda.
Beleid itu menyebut DJBC hanya akan mengenakan sanksi penangguhan layanan ekspor atau blokir terhadap pelanggar ketentuan DHE SDA berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski ketentuan DHE SDA sudah berganti, Pantjoro menegaskan eksportir yang melanggar PP 1/2019 tetap memiliki kewajiban untuk melunasi dendanya. Saat ini, DJBC telah menyerahkan 280 berkas kasus piutang negara (BKPN) senilai Rp32 miliar kepada KPKNL.
Tidak hanya denda, PP 1/2019 juga sudah memperkenalkan sanksi berupa blokir kepada eksportir yang tidak memenuhi ketentuan. DJBC mencatat terdapat 221 perusahaan yang dikenakan blokir. Dari jumlah itu, terdapat 90 perusahaan yang saat ini masih diblokir.
"Sektor mana yang paling banyak, rata-rata sebetulnya, tetapi yang paling banyak di pertambangan dan perkebunan," ujar Pantjoro. (rig)