Wakil Ketua II Pengadilan Pajak Triyono Martanto saat memberikan paparan dalam acara Regular Tax Discussion yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
JAKARTA, DDTCNews - Peralihan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Mahkamah Agung (MA) paling lambat pada akhir 2026 membuat aturan kewenangan atas Pengadilan Pajak perlu dikaji ulang.
Wakil Ketua II Pengadilan Pajak Triyono Martanto menilai Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 hanya terhadap Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Namun, terdapat pasal-pasal lainnya terkait dengan kewenangan Kemenkeu yang tidak dilakukan uji materiil.
"Ada beberapa kewenangan menteri keuangan, sedangkan yang dilakukan judicial review hanya Pasal 5 ayat (2). Kewenangan menteri masih ada di banyak pasal, ini yang mungkin perlu pengkajian lebih lanjut," katanya, Kamis (20/7/2023).
Sebagai contoh, Pasal 8 ayat (1) UU Pengadilan Pajak masih menyatakan bahwa hakim di Pengadilan Pajak diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh menteri keuangan setelah disetujui oleh ketua MA.
"Ini perlu diatur, apakah menteri keuangan masih bisa mengusulkan atau tidak? Ini perlu pengaturan lebih lanjut," ujar Triyono dalam Regular Tax Discussion yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Pada Pasal 29 ayat (4) UU Pengadilan Pajak, menteri keuangan bahkan masih memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti tanpa ada persetujuan dari MA.
"Ini juga perlu diatur lebih lanjut karena ini kewenangan mutlak Kemenkeu, tidak ada unsur dari MA," tutur Triyono.
Tak hanya itu, Pasal 22 ayat (2) UU Pengadilan Pajak masih memberikan kewenangan kepada menteri untuk menentukan tunjangan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Pajak berdasarkan keputusan menteri keuangan.
Pada Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, menteri keuangan juga memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan lain yang harus dipenuhi guna menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak.
"Ini akan diubah atau tidak? Kalau kita mengacu undang-undang, ini tidak dilakukan judicial review sehingga masih berlaku sampai saat ini," kata Triyono.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Hakim Agung Kamar TUN Khusus Pajak Mahkamah Agung (MA) Hary Djatmiko menuturkan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 bisa menjadi momentum untuk memperketat ketentuan tentang kuasa hukum.
Selama ini, tidak sedikit kuasa hukum yang kurang memahami aspek perpajakan. "Kuasa hukum berikutnya harus dilakukan tes oleh Pengadilan Pajak sesuai dengan kewenangan. Kewenangannya melekat dan tidak bisa diganggu gugat," ujarnya.
Sebagai informasi, MK telah merilis Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus dialihkan ke MA paling lambat pada 31 Desember 2026.
Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan frasa Departemen Keuangan pada Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi MA yang secara bertahap dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2026.
Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak selengkapnya berbunyi Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026. (rig)