Suasana di salah satu kantor pajak. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memperjelas kewenangan fiskus (pemeriksa pajak) dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang tidak kooperatif, dengan memerinci metode lain untuk menghitung peredaran bruto (omzet) wajib pajak bersangkutan.
Wajib pajak yang tidak kooperatif itu adalah wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak sepenuhnya menjalankan kewajibannya atau tidak menunjukkan pencatatan dan bukti pendukung, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto. Beleid ini berlaku sejak tanggal diundangkan, 12 Februari 2018, dan langsung dapat digunakan untuk wajib pajak yang sedang dilakukan atau dalam pemeriksaan dan belum selesai.
PMK tersebut memerinci cara lain untuk menghitung peredaran bruto ke dalam 8 metode, yaitu 1) transaksi tunai dan nontunai; 2) sumber dan penggunaan dana; 3) satuan dan/atau volume; 4) penghitungan biaya hidup; 5) pertambahan kekayaan bersih; 6) berdasarkan surat pemberitahuan atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya; 7) proyeksi nilai ekonomi; dan terakhir 8) penghitungan rasio.
Dalam catatan DDTCNews, cara penghitungan yang mana fiskus bisa menggunakannya lebih dari satu metode itu mirip dengan ragam pendekatan metode pemeriksaan tidak langsung yang selama ini dikenal, terakhir diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan.
Pendekatan dalam metode pemeriksaan tidak langsung tersebut dibedakan dalam 6 pendekatan, yaitu 1) transaksi tunai dan bank; 2) sumber dan penggunaan dana; 3) penghitungan rasio; 4) satuan dan/atau volume; 5) penghitungan biaya hidup; dan 6) pertambahan kekayaan bersih.
SE tersebut juga menjelaskan bahwa metode tidak langsung digunakan ketika metode langsung tidak dapat diterapkan dan pemeriksa pajak dapat membuktikannya. Namun, metode tidak langsung tetap dapat digunakan untuk mendukung penggunaan metode langsung atau untuk mengidentifikasi masalah.
PMK Nomor 15/2018 sendiri merupakan amanat Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang sejak terbit 10 tahun silam memang belum dipenuhi—meski pada tataran pelaksanaannya juga sudah diatur antara lain melalui SE-65/PJ/2013.
Dengan melihat isi Pasal 14 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 itu, maka PMK ini berlaku dan ditujukan untuk semua wajib pajak yang tidak kooperatif tadi, baik badan maupun orang pribadi, baik yang omzetnya di atas atau di bawah Rp4,8 miliar yang merupakan batas omzet bagi wajib pajak yang berhak memperoleh tarif PPh final 1% atas usahanya.
Konsekuensinya, khusus bagi wajib pajak dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, maka jika dari hasil pemeriksaan melalui cara lain tadi terjadi penambahan omzet, otomatis jumlah pajak yang harus dibayar akan bertambah. Selain itu, tarif yang dikenakan juga bisa berubah menjadi tarif PPh normal apabila omzetnya ternyata melampaui Rp4,8 miliar. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.