THAILAND

Thailand Diminta Perpanjang Waktu Pengurangan Pajak Solar, Ada Apa?

Dian Kurniati
Senin, 02 Mei 2022 | 12.00 WIB
Thailand Diminta Perpanjang Waktu Pengurangan Pajak Solar, Ada Apa?

Ilustrasi.

BANGKOK, DDTCNews – Federasi Industri Thailand (Federation of Thai Industries/FTI) meminta pemerintah untuk memperpanjang periode pemotongan pajak pada solar yang seharusnya akan berakhir pada 20 Mei 2022.

Wakil Ketua FTI Kriengkrai Thiennukul mengatakan pemotongan pajak solar masih diperlukan setidaknya selama 3 bulan mendatang. Menurutnya, insentif tersebut akan menjaga daya beli masyarakat yang masih rentan karena pandemi Covid-19.

"Tanpa perpanjangan [insentif pajak], harga solar akan naik dan mendongkrak harga produk yang dibeli konsumen," katanya, dikutip pada Senin (2/5/2022).

Kriengkrai mengatakan insentif pemotongan pajak solar akan memperlambat kenaikan harga energi serta memberi ruang bagi bisnis dan rumah tangga untuk pulih. Di sisi lain, kalangan pengusaha serta masyarakat juga dapat menyesuaikan diri dengan biaya produksi dan hidup yang lebih tinggi ketika harga minyak global konsisten tinggi.

Pemerintah sebelumnya telah memberikan pemotongan pajak 50% dari yang biasanya dikenakan sebesar 5,99 baht atau sekitar Rp1.650 per liter dalam jangka waktu 3 bulan. Hal itu dilakukan untuk menahan harga solar tetap di bawah 30 baht atau Rp8.300 per liter.

Kebijakan insentif pajak itu melengkapi skema subsidi yang berasal dari Dana Bahan Bakar Minyak Negara senilai 11,21 baht atau sekitar Rp4.700 per liter mulai 19 April 2022. Hingga saat ini, realisasi dana yang dipakai untuk memberikan subsidi setidaknya telah mencapai 50 miliar baht, sehingga pemerintah berencana menguranginya secara bertahap.

FTI, sambung Kriengkrai, memproyeksi pengurangan subsidi tersebut akan meningkatkan harga solar domestik sebesar 5 baht atau Rp1.380 per liter. Akibatnya, masyarakat harus membeli solar sekitar 35 baht atau Rp9.675 per liter.

Kenaikan harga solar senilai 5 baht juga diproyeksi akan meningkatkan biaya logistik sebesar 15%-20% serta mengerek biaya operasional di sektor manufaktur sebesar 3%-4%. Kondisi ini pada akhirnya akan membebani konsumen.

"Biaya ini meningkat karena harga minyak yang lebih tinggi. Belum termasuk dampak lain seperti perang Rusia-Ukraina yang juga menaikkan harga bahan baku utama," ujarnya, seperti dilansir bangkokpost.com.

Kriengkrai khawatir Thailand akan segera menghadapi lonjakan inflasi. Sementara itu, kondisi dunia usaha dan rumah tangga belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Bank of Thailand juga memperkirakan inflasi pada 2022 akan mencapai 4,9%, melebihi target awal 1%-3%.

Inflasi diperkirakan akan mencapai puncaknya pada kuartal II dan III/2022. Inflasi diproyeksi akan turun secara bertahap dan mencapai normal pada tahun depan. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.