Ilustrasi. Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada 1 Februari, memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/RWA/sa.
NAYPYIDAW, DDTCNews – Perusahaan minyak asal Prancis, Total SE menegaskan tidak bisa berhenti membayar pajak kepada Pemerintah Myanmar yang tengah di bawah kendali militer, meski terdapat desakan dari publik.
CEO Total Patrick Pouyanne mengatakan keputusan tersebut diambil untuk memastikan keselamatan pegawainya di Myanmar. Apabila perusahaan memutuskan berhenti membayar pajak, ia khawatir para pegawai akan diculik dan dipenjara kelompok militer.
"Bukan karena kami ingin terus membayar pajak kepada junta militer, tetapi untuk menjamin keselamatan orang-orang yang bekerja untuk kami, karyawan dan manajer. Untuk melindungi mereka dari penjara atau kerja paksa," katanya, dikutip Rabu (14/4/2021).
Pouyanne menuturkan Total belum membayar pajak langsung kepada pemerintah militer sejak kudeta terjadi pada Februari 2021 karena sistem perbankan lumpuh. Meski begitu, perusahaan akan tetap membayar pajak ketika layanan tersebut telah dibuka kembali.
Saat ini, sambungnya, Total tengah mempertimbangkan memberi sumbangan kepada kelompok hak asasi manusia dengan nilai yang setara dengan pajak yang dibayarkan kepada militer. Nilai pajak yang disetorkan perusahaan itu mencapai US$4 juta atau Rp58,4 miliar per bulan.
Namun, Pouyanne juga khawatir rencana itu membuat perusahaan dianggap mendukung demonstrasi dan pegawai kembali dalam bahaya. Selain itu, ia juga menegaskan tidak akan menghentikan produksi gas lantaran bakal berdampak pada pasokan listrik di Kota Yangon.
Seperti dilansir livemint.com, Total telah beroperasi di Myanmar sejak 1992 dengan mempekerjakan sekitar 250 orang. Ladang gas lepas pantai Yadana yang dioperasikan Total menyediakan separuh listrik untuk kota Yangon, dengan hampir 5 juta penduduk, serta memasok untuk Thailand bagian barat, tempat sebagian besar gas diekspor.
Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw/CRPH) sebelumnya merilis pernyataan berisi desakan agar Kementerian Keuangan menghentikan pungutan, termasuk pajak dan bea cukai setelah pemerintahan militer melakukan kudeta terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Publish What You Pay (PWYP) juga menyuarakan hal serupa setelah Aliansi Myanmar untuk Transparansi dan Akuntabilitas meminta perusahaan multinasional yang beroperasi di negara itu tidak membayar pajak. PWYP mengatakan perusahaan multinasional termasuk yang berkontribusi besar pada pemerintahan Myanmar, terutama dari sektor minyak dan gas (migas).
Industri migas menyumbang penerimaan rata-rata US$900 juta atau Rp12,9 triliun per tahun kepada Pemerintah Myanmar. Khusus Total, tercatat telah membayar €229,6 juta atau Rp3,9 triliun pada 2019 dalam bentuk pajak dan royalti. (rig)