Ilustrasi.
KAMPALA, DDTCNews—Tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) hak asasi manusia menyerukan Pemerintah Uganda menghapus aturan pembatasan akses informasi khususnya pajak media sosial.
Alasannya, media sosial sangat dibutuhkan untuk mengakses dan menyebarkan informasi serta penting bagi pekerja yang harus bekerja dari rumah, terutama di tengah pandemi Corona atau Covid-19.
“Komunikasi yang efektif dan akurat saat ini sangat vital dalam pencegahan Corona, dan platform online memainkan peranan penting untuk menyebarkan informasi itu,” demikian kutipan petisi dari LSM tersebut.
Di Uganda, media sosial memang bisa dipajaki. Saat pertama kali disahkan pada 2018, pajak media sosial menuai banyak protes karena dianggap menghalangi kebebasan berekspresi, meski pada pada akhirnya tetap diterapkan.
Pajak media sosial di Uganda bisa disebut pajak Over The Top (OTT) lantaran menyasar perusahaan raksasa digital. Layanan yang dapat dikenai pajak ini termasuk transmisi atau penerimaan suara atau pesan melalui internet.
Lebih lanjut, pajak ini mengharuskan pengguna membayar pajak senilai 200 shilling Uganda atau setara Rp845 per hari untuk dapat mengakses layanan komunikasi online, seperti Skype, Facebook, Twitter, WhatsApp, Google Hangouts, YouTube dan Yahoo.
Di tengah merebaknya Corona, kebutuhan informasi terkait virus itu sangat tinggi, mulai dari sifat dan ancaman, gejala, tata cara dan sarana untuk melindungi diri sendiri, keluarga, dan komunitas, termasuk prosedur jika timbul gejala.
Untuk itu, informasi yang dikomunikasikan secara objektif, faktual, dan tepat waktu melalui media sosial menjadi sangat penting di luar jenis komunikasi lainnya seperti radio, televisi, dan pesan teks.
“Kami memuji pemerintah menyampaikan pesan publik melalui radio, televisi dan pesan teks, serta menyediakan penerjemah bahasa isyarat. Namun, medsos tetap punya peran kunci dalam memastikan informasi yang akurat,” tegas LSM. (rig)