Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurría. (foto: nationalobserver.com)
JAKARTA, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menegaskan sodoran proposal terkait pendekatan terpadu (unified approach) di bawah pilar pertama menjadi bukti nyata kemajuan upaya mengatasi tantangan pemajakan ekonomi digital.
Proposal ini untuk memastikan perusahaan multinasional yang besar, termasuk perusahaan digital, membayar pajak di tempat mereka memiliki kegiatan signifikan yang berhubungan dengan konsumen dan menghasilkan keuntungan.
“Kami membuat kemajuan nyata untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi dan terus maju menuju solusi berbasis konsensus untuk merombak sistem perpajakan internasional berbasis aturan pada 2020,” ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurría.
Proposal baru OECD tersebut telah menyatukan unsur-unsur umum dari tiga proposal yang bersaing di negara-negara anggota. Proposal didasarkan pada kinerja Inclusive Framework OECD/G20 tentang BEPS. Mereka mengelompokkan 134 yurisdiksi dalam posisi setara untuk negosiasi multilateral tentang peraturan pajak internasional yang cocok untuk tujuan ekonomi global abad ke-21.
Proposal yang masih disodorkan dalam proses konsultasi publik hingga 12 November 2019 ini akan mengalokasikan kembali beberapa keuntungan dan hak pemajakan yang sesuai untuk negara/yurisdiksi tempat perusahaan multinasional memiliki pasar mereka.
Hal tersebut akan memastikan perusahaan multinasional – yang melakukan bisnis yang signifikan di tempat-tempat di mana mereka tidak memiliki kehadiran fisik – dikenakan pajak di yurisdiksi tersebut.
Kepastian ini dimunculkan melalui pembuatan aturan baru yang menyatakan dua aspek. Pertama, di mana pajak harus dibayar (nexus rules). Kedua, berapa bagian (porsi) dari laba mereka yang harus dikenakan pajak (profit allocation rules).
“Ini membawa kita lebih dekat ke tujuan akhir, yaitu memastikan semua perusahaan multinasional membayar bagian yang adil,” imbuh Gurría.
Inclusive Framework dalam digitalisasi ekonomi adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengembalikan stabilitas dan kepastian dalam sistem pajak internasional. Selain itu, ada upaya untuk mengatasi kemungkinan tumpang tindih dengan aturan yang ada dan mengurangi risiko pajak berganda.
Selain elemen-elemen khusus untuk realokasi hak pemajakan, pilar kedua dari pekerjaan ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah BEPS yang tersisa. Pilar ini untuk memastikan pajak penghasilan minimum atas laba perusahaan multinasional. Konsultasi publik pilar kedua diperkirakan akan berlangsung pada Desember 2019.
Pembahasan mengenai kedua pilar ini juga bisa Anda simak dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’ yang dirilis oleh DDTC Fiscal Research.
“Kegagalan untuk mencapai kesepakatan pada 2020 dapat sangat meningkatkan risiko negara-negara akan bertindak secara sepihak dengan konsekuensi negatif pada ekonomi global yang sudah rapuh. Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi,” tegas Gurría.
Pekerjaan yang sedang berlangsung akan disajikan dalam laporan terbaru selama pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 berikutnya di Washington DC, pada 17-18 Oktober 2019. (kaw)