Ilustrasi. Warga melintas di salah satu perumahan subsidi di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (13/1/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/nz
PADANG, DDTCNews - Dewan Pimpinan Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) Sumatera Barat (Sumbar) meminta pemerintah kabupaten/kota memberikan kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang berpihak pada sektor properti.
Ketua DPD REI Sumbar Satria Eka Putra mengatakan PBB di wilayah Sumbar terasa tinggi karena pemda menetapkan nilai jual objek pajak (NJOP) yang melebihi harga pasar aktual. Menurutnya, kondisi tersebut berpotensi mengganggu bisnis properti.
"Dalam beberapa tahun terakhir, para pengembang properti di Sumatera Barat menghadapi tantangan serius terkait dengna kebijakan PBB yang mendasarkan NJOP pada nilai yang tidak sesuai dengan kondisi pasar aktual," katanya, dikutip pada Selasa (13/2/2024).
Satria menuturkan NJOP yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar menyulitkan para pengembang dalam menetapkan harga jual yang kompetitif. Kebijakan ini berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan sektor properti di Sumbar.
Saat ini, berbagai wilayah telah melakukan penyesuaian kebijakan PBB sejalan dengan implementasi UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Di Kota Padang, tarif PBB P2 ditetapkan 0,2% untuk NJOP hingga Rp2 miliar; tarif 0,3% untuk NJOP di atas Rp2 miliar hingga Rp3 miliar; tarif 0,4% untuk NJOP di atas Rp3 miliar hingga Rp5 miliar; serta 0,5% untuk NJOP di atas Rp5 miliar. Adapun tarif PBB yang berupa lahan produksi pangan dan ternak, ditetapkan sebesar 0,1%.
Satria berharap pemda dapat memberikan insentif agar tagihan PBB bisa lebih rendah. Berdasarkan UU HKPD, NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB dapat ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP).
Selain itu, dia meminta kuota rumah bersubsidi tetap tersedia sehingga daya beli masyarakat terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi terjaga.
"Kami berharap berbagai kemudahan dapat diberikan pemerintah sehingga masyarakat bisa memiliki rumah dengan harga lebih terjangkau," ujarnya seperti dilansir topsatu.com.
Sebagai informasi, UU HKPD mengatur tarif PBB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5%. Batas atas itu naik dari ketentuan terdahulu (dalam UU PDRD), yakni paling tinggi 0,3%.
Namun, UU HKPD juga mengamanatkan penetapan tarif lebih rendah untuk PBB-P2 atas lahan produksi pangan dan ternak dibandingkan tarif untuk lahan lainnya. Tarif PBB ini ditetapkan dengan peraturan daerah (perda).
UU HKPD pun telah memberikan fleksibilitas bagi pemda untuk menetapkan NJOP yang menjadi dasar pengenaan PBB. NJOP ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP.
Ketentuan rentang 20%-100% terkait dengan NJOP yang digunakan untuk penghitungan PBB-P2 itu sebelumnya tidak ada dalam UU PDRD.
Terkait dengan NJOPTKP, ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10 juta untuk setiap wajib pajak. Jika wajib pajak memiliki/menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOPTKP hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap tahun pajak.
NJOP ditetapkan setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. (rig)