Suasana bongkar muat batubara untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/2/2022). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/pras.
JAKARTA, DDTCNews - Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah meminta pemerintah untuk menunda implementasi pajak karbon hingga akhir Desember 2022.Â
Usulan Said tersebut merespon pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan penerapan pajak karbon diundur menjadi Juli 2022, dari yang seharusnya mulai berlaku per 1 April 2022.
"Karena roadmap pajak karbon tidak sesederhana yang kita pikirkan. Butuh kesiapan tidak hanya dari pemerintah, tapi terutama dunia usaha. Ini memang tentunya ada pro dan kontra, maka harus dimatangkan dahulu lebih baik implementasinya di akhir Desember 2022 saja," kata Said, Selasa (29/3/2022).
Menurut Said, pengujung tahun merupakan waktu yang tepat untuk implementasi kebijakan pajak karbon karena harapan pemulihan ekonomi pada tahun ini akan lebih jelas tergambar.Â
Said juga menilai dampak pajak karbon terhadap perekonomian bakal minim. Sebab di tahap awal, tarif pajak karbon yang dibanderol senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COe2) hanya dikenakan terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
"Jadi di tahap awal itu dampaknya tidak akan signifikan, karena itu sebenarnya semacam warning dari pemerintah, warning ke industri lain untuk mulai bersiap-siap," ujar Said.
Said yang juga merupakan Anggota Komisi XI DPR RI mengatakan tujuan pajak karbon adalah mengurangi emisi gas rumah kaca sebagaimana tidak lanjut komitmen internasional dalam Paris Agreement beberapa tahun lalu. Hanya saja, dia bilang pemerintah perlu lebih cermat dan teliti saat menerapkannya nanti karena emisi karbon yang dihasilkan dunia usaha berbeda-beda.
Dia mencontohkan industri semen yang memang masih banyak menggunakan batu bara sebagai bahan bakar produksi,. Namun, ada juga pabrikan semen yang sudah hampir zero emisi.Â
"Jadi nanti aturannya harus jelas. Jangan sampai malah nanti pelaku usaha hanya tertarik trading-nya (perdagangan karbon). Jadi pemerintah harus terus berkonsultasli dengan DPR RI dan melakukan pendekatan ke dunia usaha. Karena kita ingin menciptakan keseimbangan," kata Said.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menyampaikan pelaksanaan pajak karbon diundur karena aturan turunan terkait pasar karbon, perdagangan karbon, dan nilai ekonomi karbon belum rampung hingga kini.Â
"Kita ingin memastikan konsistensi kebijakan dari pajak karbon ini adalah sejalan dengan konteks nilai ekonomi karbon dan pasar karbon yang memang dari awal kita ingin koneksikan keduanya dengan pajak karbon," ujar Febrio, Senin (28/3/2022).
Selain itu, Febrio mengatakan pemerintah juga mempertimbangkan jika pajak karbon diterapkan bulan depan, maka akan berpengaruh pada sisi supply dan demand. Apalagi bulan depan memasuki periode Ramadhan yang secara tren biasanya terjadi kenaikan produksi dan konsumsi. (sap)