DDTCNEWS TAX COMPETITION 2018:

Abu-abu Sistem Withholding Tax di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Rabu, 19 September 2018 | 19.34 WIB
ddtc-loaderAbu-abu Sistem Withholding Tax di Indonesia
Ami Siti Rahmwati & Mita Alya Syafitri,
Universitas Widyatama.

MEKANISME pemungutan pajak di Indonesia sudah banyak berubah sejak kemerdekaannya 73 tahun lalu. Terhitung sejak reformasi perpajakan pada 1983, pemungutan pajak penghasilan (PPh) tidak lagi menggunakan official assessment system, melainkan menggunakan self assessment system.

Dengan menerapkan self assessment system, masyarakat sudah diberi kepercayaan oleh negara untuk mengurus perpajakan sendiri. Artinya, pajak yang dihitung, disetor dan dilaporkan berdasar pada kejujuran wajib pajak yang bersangkutan.

Di luar dua mekanisme itu, mekanisme lain juga dianut untuk mengurangi risiko dari penerapan sistem tersebut, yakni withholding tax system. Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang terutang (Mardiasmo, 2016).

Berdasarkan ketentuan pajak di Indonesia, withholding tax diterapkan pada jenis pajak tertentu, antara lain pajak penghasilan (PPh) atas transaksi yang dikenakan pajak yang bersifat final (PPh Pasal 4 ayat 2), PPh karyawan (PPh Pasal 21), dan PPh atas transaksi pembelian barang impor yang dilakukan pemungut pajak antara lain, bendahara pemerintah dan badan-badan tertentu (PPh Pasal 22).

Selain itu, ada pula pengenaan withholding tax atas pembayaran bunga, dividen, royalti, dan jasa-jasa kepada wajib pajak dalam negeri (PPh Pasal 23), dan PPh atas pembayaran bunga, dividen, royalti, dan jasa-jasa kepada wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26).

Sistem withholding tax  ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya ketepatan waktu penyetoran, kemudahan, kesederhanaan, dan biaya pemungutan pajak yang lebih murah (BPPK Kemenkeu). Hal ini memberi keuntungan bagi otoritas pajak karena secara tidak langsung sebagian tugas pemungutan pajak sudah diwakili oleh wajib pajak sendiri.

Di samping kelebihan tersebut, dari sisi wajib pajak, sistem ini memberi kewajiban untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak. Dengan demikian, sistem ini menimbulkan beban administrasi tambahan bagi wajib pajak (Darussalam, 2018), mengingat sistem withholding ini mengandalkan pihak ketiga.

Oleh karena itu, risiko dalam sistem ini tidak hanya ditanggung oleh wajib pajak saja, namun juga pihak ketiga, yaitu badan atau orang yang wajib melakukan pemotongan pajak. Selain harus menyetor pajak dalam jangka waktu tertentu, ada pula risiko terkena sanksi administrasi jika melakukan kesalahan, seperti terlambat setor atau lapor.

Dengan mempertimbangkan risiko tersebut, pelaksanaan withholding tax perlu diterapkan secara hati-hati. Di beberapa negara, penerapan withholding tax dibatasi hanya terhadap penghasilan yang dikategorikan sebagai passive income (seperti : gaji, upah, bunga, royalti, dividen dan sewa) dan hanya sedikit negara yang menerapkannya atas penghasilan dari kegiatan usaha active income, kalau pun ada, hanya diterapkan atas  beberapa jenis penghasilan usaha.

Adapun di Indonesia, penerapan withholding tax hampir dikenakan pada seluruh jenis penghasilan usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak (PER) No. PER-70/PJ/2007 yang mengatur jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23.

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) PPh, pemerintah diberikan keleluasaan dalam menentukan jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax. Hal ini tercermin dari adanya penentuan objek dan tarif yang diatur dalam aturan di bawah UU, seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). 

Pasal-pasal dalam UU PPh yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan sendiri jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax, di antaranya:

PasalJenis Penghasilan yang didelegasikan ke Pemerintah
Pasal 4 ayat (2)Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Pengenaan pajaknya diatur dengan PP.  
Pasal 23 ayat (1) huruf c butir 2Atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya selain jasa yang yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pengenaan pajaknya diatur dalam PMK.
Pasal 23 ayat (2)Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dengan demikian, pendelegasian wewenang yang diberikan UU PPh kepada pemerintah dalam menentukan objek penghasilan yang dikenakan withholding tax ini perlu dikaji ulang. Hal ini terkait dengan filosofi pajak itu sendiri yang intinya menyatakan bahwa pajak harus dipungut berdasarkan kesepakatan antara warga negara dan negara yang dituangkan dalam UU.

Dalam Pasal 23A UUD 1945 juga secara tegas menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur dalam UU. Slogan populer 'taxation without representation is robbery' di Amerika Serikat dan 'no taxation without representation' di Inggris juga selaras dengan bunyi pasal tersebut. 

Untuk ke depan, seiring dengan agenda reformasi pajak yang akan merevisi UU PPh, ada baiknya bagi pemerintah dan legislatif untuk memperjelas dan mempertegas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan withholding tax dalam UU. Tujuannya antara lain untuk mengurangi area abu-abu (grey area) dalam sistem perpajakan di Indonesia.*

*Artikel esai ini merupakan salah satu dari 15 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2018.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.