Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mengambil porsi terbesar dalam belanja perpajakan (tax expenditure) 2016—2018.
Hal ini disampaikan pemerintah dalam dokumen Nota Keuangan beserta RAPBN 2020. Jenis pajak PPN dan PPnBM mengambil porsi lebih dari 60% dari total estimasi belanja perpajakan dalam periode tersebut.
Besarnya belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM berasal dari pengecualian kewajiban pengusaha kecil untuk menjadi pengusaha kena pajak (PKP) yang memungut PPN, serta pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
“Seperti bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan,” demikian pernyataan pemerintah, seperti dikutip pada Selasa (20/8/2019).
Estimasi belanja perpajakan PPN dan PPnBM 2018 tercatat senilai Rp145,6 triliun atau 65,85% dari total Rp221,1 triliun. Nilai tersebut naik dari posisi tahun sebelumnya Rp132,8 triliun. Namun, pada 2017, jenis pajak ini mengambil porsi lebih tinggi, yaitu 67,47% dari total Rp196,8 triliun.
Pada 2016, estimasi belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp116,3 triliun. Nilai tersebut tercatat mengambil porsi 60,385% dari total belanja perpajakan senilai Rp192,6 triliun. Adapun posisi kedua terbanyak yakni pajak penghasilan (PPh). Sisanya, ada bea masuk dan cukai serta PBB sektor P3.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada Laporan Belanja Perpajakan 2018, pemerintah memperluas cakupan jenis pajak dari tiga jenis (PPh, PPN dan PPnBM, serta Bea Masuk dan Cukai) menjadi empat jenis pajak dengan tambahan PBB P3.
Adapun penjelasan mengenai konsep dan prinsip serta komparasi tax expenditure bisa dibaca juga dalam Working Paper DDTC bertajuk ‘Tax Expenditure Atas Pajak Penghasilan: Rekomendasi Bagi Indonesia’ yang diterbitkan pada 2014.
Berikut rincian belanja perpajakan berdasarkan jenis pajaknya:
Sumber: Nota Keuangan beserta RAPBN 2020.