OPINI PAJAK

Urgensi Pemajakan Dompet Digital

Selasa, 14 April 2020 | 13:23 WIB
Urgensi Pemajakan Dompet Digital

Fajarizki Galuh Syahbana Yunus,
Mahasiswa STAN, Bintaro

TAK bisa dimungkiri perekonomian global kian berkembang pesat saat ini. Hal ini tidak lepas dari kemunculan cabang ekonomi dalam bentuk digital. Di Asia Tenggara, perkembangan ekonomi digital Indonesia menjadi yang tertinggi dengan capaian US$40 miliar.

Capaian tersebut mengalahkan Thailand (US$16 miliar), Singapura dan Vietnam (US$12 miliar), Malaysia (US$11 miliar), dan Filipina (US$7 miliar). Berdasarkan data tersebut, tampaknya Indonesia layak menjadi pangsa pasar para pelaku ekonomi digital.

Berkembangnya bisnis ekonomi digital di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai startup yang produknya dikemas dalam bentuk aplikasi. Salah satunya adalah aplikasi dompet digital atau yang biasa disebut dengan e-wallet.

Berdasarkan data Bank Indonesia, Indonesia telah memiliki 38 aplikasi e-wallet yang telah mendapatkan lisensi resmi. Banyaknya promo yang ditawarkan seperti cashback dan diskon menjadikan produk e-wallet semakin diminati masyarakat.

Umumnya, core bisnis produk e-wallet adalah jasa layanan berbentuk platform untuk membayar tagihan listrik, iuran BPJS, paket data, dan layanan lain secara online. Ketika kita melakukan registrasi akun pada sebuah produk e-wallet, sebenarnya secara fisik uang kita sudah diputar lagi.

Saldo yang ada di dalam aplikasi e-wallet hanyalah angka digital yang dimaksudkan sebagai perwakilan saja, sedangkan uang riil kita sudah diinvestasikan perusahaan pemilik e-wallet tersebut. Lantas, dari mana perusahaan dompet digital ini mendapatkan laba?

Terdapat beberapa cara perusahaan dompet digital dalam mendapatkan laba. Misalnya, dari penambahan jumlah pengguna. Secara otomatis, penambahan ini akan meningkatkan valuasi perusahaan serta laba biaya transaksi dari bank saat penggunanya melakukan pengisian saldo.

Selain itu, ketika suatu merchant mendaftarkan diri sebagai mitra e-wallet, maka akan ada perjanjian kerja sama di mana vendor harus membayar sejumlah uang untuk mengikutsertakan aplikasi e-wallet tersebut dalam layanannya. Komisinya bisa 1%-3% dari setiap transaksi.

Keuntungan lain juga diperoleh dari penyediaan lapak iklan pada user interface miliknya. Selain itu, perusahaan e-wallet juga memperoleh laba dari saldo dana mengendap konsumennya atau biasa disebut ‘dana murah’ alias current account savings account (CASA) yang digunakan untuk investasi.

Morgan Stanley memperkirakan nominal dana mengendap dalam ekosistem pembayaran digital di Indonesia dapat mencapai US$50 miliar. Berdasarkan perkiraan tersebut, dapat kita bayangkan betapa fantastis total laba yang diperoleh perusahaan pemilik dompet digital.

Peredaran uang elektronik hingga akhir Juli 2019 mencapai Rp12,9 triliun seperti dirilis Bank Indonesia. Dalam laporan Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia triwulan III-2019 tumbuh 5,02% dibandingkan dengan periode yang sama 2018.

Namun, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak hingga Agustus 2019 hanya 51% dari target APBN 2019. Kondisi seperti inilah yang terjadi saat ini, yaitu pertumbuhan ekonomi masyarakat meningkat, tetapi penerimaan pajak tidak tumbuh signifikan.

Potensi Besar
ADA banyak potensi pajak yang dapat digali dari bisnis ini. Logikanya, perusahaan bisnis dompet digital mustinya dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 dengan tarif 2% dan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif 10% atas jasa penyediaan platform untuk menjajakan produk melalui e-wallet.

Terdapat dua langkah krusial yang dapat ditempuh Ditjen Pajak (DJP) untuk menemukan titik terang permasalahan ini. Pertama, mendorong perluasan integrasi atau kerja sama antara Kemenkeu dan Kemkominfo yang memiliki kapabilitas melacak data transaksi digital untuk kepentingan perpajakan.

Sebenarnya permintaan data itu telah diatur Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.228/PMK.03/2017. Namun, dalam peraturan tersebut belum terdapat klausul permintaan data transaksi ekonomi digital, seperti e-wallet dan e-commerce.

Karena itu, Kemenkeu perlu memperbarui isi klausul PMK 228/PMK.03/2017 untuk menambahkan data transaksi digital sebagai jenis data yang dapat dimintakan pada Kemkominfo untuk kepentingan menggali penerimaan perpajakan.

Solusi ini salah satu solusi ampuh untuk melakukan pengawasan kepatuhan pajak bagi pelaku bisnis di bidang transaksi digital. Dengan demikian, DJP dapat memperkirakan potensi pajak yang dikumpulkan pelaku bisnis dompet digital untuk dapat ditemukan tax gap dalam proses bisnis tersebut.

Kedua, merancang peraturan baru minimal setingkat PMK, yang mengatur aspek perpajakan serta tata cara penyetoran dan pelaporan pajak bagi pelaku bisnis dompet digital. Hal ini agar terdapat payung hukum sehingga tercipta kepastian pajak dalam pelaksanaan pemajakannya.

Kesiapan DJP menyambut era ekonomi digital sangat dibutuhkan untuk mengamankan penerimaan. Dengan dua solusi itu, DJP pasti dapat mengumpulkan penerimaan pajak yang lebih besar yang sangat berguna bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN