Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungkapkan Indonesia terus aktif memperjuangkan keadilan pembagian hak pemajakan dalam pembahasan proposal Pillar 1: Unified Approach di bawah koordinasi OECD.
Analis Kebijakan Ahli Muda Pusat Kebijakan Penerimaan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan Indonesia dan negara berkembang tidak ingin pajak yang berhak dipungut yurisdiksi pasar dari korporasi digital internasional terlalu kecil.
“Proposal itu harus bisa memberikan keadilan,” ujarnya dalam media visit secara virtual ke DDTCNews, Jumat (19/3/2021).
Selain mengenai porsi dan hak pemajakan, Indonesia bersama negara-negara berkembang pada Inclusive Framework mendorong adanya penyederhanaan skema pajak digital yang tertuang pada proposal Pillar 1.
“Kami mengharapkan ada simplifikasi lagi agar mudah untuk diterapkan, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak,” imbuhnya.
Selain itu, sambung dia, Indonesia juga mendorong terciptanya kepastian hukum dalam penerapan pajak digital pada proposal Pillar 1. Bila terdapat sengketa, Indonesia mengutamakan penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang ada saat ini, salah satunya melalui mutual agreement procedure (MAP).
Adapun proposal Pillar 1 disusun sebagai respons atas perkembangan ekonomi digital yang membuat perusahaan bisa beroperasi di banyak yurisdiksi dan sulit dipajaki. Hal ini mengingat tidak adanya kehadiran fisik dari perusahaan-perusahaan digital tersebut.
Melalui proposal Pillar 1, OECD mengusung mekanisme yang menjamin pembagian hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar dan yurisdiksi domisili. Bila diterapkan, OECD memperkirakan total penerimaan dari korporasi digital secara global bisa mencapai US$5 miliar hingga US$12 miliar per tahun. (kaw)