RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penetapan Jasa Angkutan Darat Sebagai Objek PPh Pasal 23

Rinaldi Adam Firdaus | Jumat, 02 Juni 2023 | 13:52 WIB
Sengketa Penetapan Jasa Angkutan Darat Sebagai Objek PPh Pasal 23

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 atas pembayaran jasa angkutan darat yang dilakukan oleh wajib pajak kepada PT X selaku perusahaan pengangkutan barang.

Dalam menjalankan usahanya, wajib pajak manggunakan jasa angkutan darat berupa truck dari PT X. Atas transaksi tersebut, wajib pajak tidak memotong dan tidak melaporkan pembayaran jasa angkutan darat dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.

Otoritas pajak menilai pembayaran yang dilakukan oleh Termohon PK kepada PT X ialah transaksi sewa angkutan darat yang merupakan objek PPh Pasal 23 dan perlu dilakukan pemotongan. Hal ini disebabkan karena wajib pajak tidak dapat menunjukkan kontrak atau perjanjian dengan PT X yang merupakan persyaratan untuk dikecualikan dari objek pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana diatur dalam angka 2 butir 2.2 SE-08/PJ.313/1995 tentang PPh Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat (SE-08/1995).

Baca Juga:
Sengketa PPN atas Penjualan Tabung Gas LPG

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat transaksi pembayaran jasa angkutan darat kepada PT X tidak perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Sebab, transaksi jasa angkutan darat tersebut dibayar dan dihitung berdasarkan jumlah kuantitas atau volume barang dan jarak ke tempat tujuan sehingga bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Hal ini sebagaimana diatur berdasarkan angka 2 butir 2.2 SE-08/1995.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Baca Juga:
Nilai-Nilai Utama Peradilan Pajak dan Perannya di Indonesia

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi DPP PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa angkutan darat senilai Rp7.579.413.160 untuk masa pajak Januari sampai dengan Juli 2006 yang ditetapkan otoritas pajak tidak tepat.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. 23141/PP/M.V/12/2010 tanggal 26 April 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Agustus 2010.

Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini. Pertama, berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002).

Baca Juga:
Sudah Upload di e-Tax Court, Dokumen Banding Tak Perlu Dikirim Manual

Kedua, koreksi DPP PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa angkutan darat senilai Rp7.579.413.160 untuk masa pajak Januari sampai dengan Juli 2006 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa. Pokok sengketa pertama menyangkut putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU 14/2002.

Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melewati jangka waktu pengambilan putusan pemeriksaan dengan acara biasa yang seharusnya paling lambat diambil pada 16 Februari 2010. Namun, dalam kasus ini, upaya hukum banding dalam sengketa ini baru diputuskan pada 26 April 2010. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak yang dimaksud dapat dinyatakan cacat hukum sehingga harus dibatalkan demi hukum.

Baca Juga:
Banding via e-Tax Court, WP yang Diwakili Kuasa Hukum Harus Punya Akun

Selanjutnya, pokok sengketa kedua dalam putusan ini membahas tentang koreksi DPP PPh Pasal 23 berupa sewa angkutan darat senilai Rp7.579.413.160 untuk masa pajak Januari sampai dengan Juli 2006. Dalam kasus ini, Termohon PK melakukan pembayaran kepada PT X atas penggunaan jasa angkutan darat berupa truck untuk mengangkut barangnya berdasarkan jumlah kuantitas atau volume barang dan jarak ke tempat tujuan.

Menurut Pemohon PK, pembayaran yang dilakukan oleh Termohon PK kepada PT X ialah transaksi sewa angkutan darat yang merupakan objek PPh Pasal 23. Pemohon PK berpendapat demikian karena Termohon PK tidak dapat menunjukkan kontrak atau perjanjian dengan PT X.

Pasalnya, kontrak atau perjanjian tersebut merupakan persyaratan yang diatur dalam angka 2 butir 2.2 SE-08/1995 agar transaksi antara Termohon PK dan PT X dapat dikecualikan dari objek pemotongan PPh Pasal 23.

Baca Juga:
Sengketa Pajak Perbedaan Kurs dalam Penghitungan PPh Pasal 21

Oleh karena itu, Pemohon PK menyimpulkan pembayaran sewa angkutan darat yang dilakukan oleh Termohon PK akan memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi PT X dan merupakan objek pajak yang seharusnya dipotong PPh Pasal 23 oleh Termohon PK. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i j.o Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1 UU PPh.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah benar. Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku (contra legem).

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK terhadap pokok sengketa kedua. Termohon PK berpendapat pembayaran atas jasa angkutan darat kepada PT X tidak perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Baca Juga:
Sengketa Pajak di Indonesia: Risiko, Realitas, dan Pencegahan

Sebab, transaksi atas jasa angkutan yang dilakukan oleh Termohon PK dengan PT X telah dibayar dan dihitung berdasarkan pada jumlah kuantitas atau volume barang dan jarak ke tempat tujuan sehingga bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Hal ini sebagaimana diatur berdasarkan pada angka 2 butir 2.2 SE-08/1995.

Di sisi lain, berdasarkan pada angka 2 butir 2.2 SE-08/1995, fungsi kontrak atau perjanjian ialah semata-mata untuk menjamin sampainya barang ke tempat tujuan. Oleh karena itu, menurut Termohon PK, dokumen serah terima barang, kartu timbang, atau delivery note sudah cukup sebagai bukti bahwa barang telah sampai dengan selamat dan dapat digunakan sebagai dasar pembayaran ongkos angkut.

Dengan demikian, Termohon PK menyatakan koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak benar sehingga harus dibatalkan.

Baca Juga:
Sengketa Pengkreditan Pajak Masukan Jasa Perhotelan

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. 23141/PP/M.V/12/2010 yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan permohonan PK mengenai Putusan Pengadilan Pajak No. Put.23141/PP/M.V/12/2010 yang tidak memenuhi Pasal 81 ayat (1) UU 14/2002 tidak dapat dibenarkan. Sebab, persoalan mengenai jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian perkara tidak dapat membatalkan putusan.

Kedua, alasan-alasan permohonan PK atas koreksi pembayaran sewa angkutan darat juga tidak dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak No. 23141/PP/M.V/12/2010 yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Baca Juga:
Bahas Penyelesaian Sengketa Pajak, Komwasjak dan DJP Gelar Diskusi

Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU 14/2002.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Kemudian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 22 September 2023 | 18:53 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Penjualan Tabung Gas LPG

Kamis, 21 September 2023 | 08:00 WIB LITERASI PAJAK

Nilai-Nilai Utama Peradilan Pajak dan Perannya di Indonesia

Selasa, 19 September 2023 | 13:30 WIB PENGADILAN PAJAK

Sudah Upload di e-Tax Court, Dokumen Banding Tak Perlu Dikirim Manual

Selasa, 19 September 2023 | 11:45 WIB PENGADILAN PAJAK

Banding via e-Tax Court, WP yang Diwakili Kuasa Hukum Harus Punya Akun

BERITA PILIHAN
Selasa, 26 September 2023 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Bakal Tambah Jumlah WP yang Harus Laporkan Keuangan Berbasis XBRL

Selasa, 26 September 2023 | 16:39 WIB LAYANAN PAJAK

Ditjen Pajak Sediakan Layanan WA-bot UMKM

Selasa, 26 September 2023 | 16:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Sebut Pajak Karbon Masih Dibahas dengan Kemenkeu

Selasa, 26 September 2023 | 16:15 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Kiriman Dokumen dari Luar Negeri Kena Bea Masuk? Simak Aturannya

Selasa, 26 September 2023 | 16:12 WIB DITJEN PAJAK

DJP Luncurkan Layanan Chatbot Pajak, Sudah Coba?

Selasa, 26 September 2023 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK DAERAH

Evaluasi Raperda Pajak Daerah, Ini Catatan Kemenkeu untuk Pemda

Selasa, 26 September 2023 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

BEI Sediakan 4 Skema Perdagangan Karbon di IDXCarbon

Selasa, 26 September 2023 | 14:47 WIB KEBIJAKAN CUKAI

Cukai Minuman Manis Bakal Berlaku 2024, Pemerintah Kebut Aturannya

Selasa, 26 September 2023 | 14:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Perluasan Basis Pajak dan Pemanfaatan Teknologi untuk Kerek Tax Ratio

Selasa, 26 September 2023 | 14:37 WIB PENERIMAAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Penerimaan Diproyeksi Shortfall, Bea Cukai: Yang Penting Visi Berjalan