RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum tentang surat keterangan domisili (SKD) yang digunakan sebagai dasar penetapan tarif royalti sebagai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 26.
Perlu dipahami, wajib pajak telah membuat perjanjian penggunaan know how milik X Co yang berkedudukan di Amerika Serikat (AS) dan Y Co di Thailand. Terhadap penggunaan know how tersebut, wajib pajak harus membayar royalti kepada X Co dan Y Co. Selain itu, wajib pajak juga wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima X Co dan Y Co.
Otoritas pajak melakukan koreksi karena wajib pajak telah salah dalam menetapkan besaran tarif PPh Pasal 26 atas royalti yang diterima X Co dan Y Co. Konsekuensinya, PPh Pasal 26 yang dilaporkan wajib pajak dinilai kurang bayar.
Menurut otoritas pajak, X Co dan Y Co tidak berhak memanfaatkan tarif dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Sebab, tidak ada bukti yang sah berupa SKD untuk menunjukkan kedua perusahaan tersebut benar-benar berdomisili di AS dan Thailand. Dengan demikian, penghasilan X Co dan Y Co atas royalti seharusnya dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya telah menyerahkan SKD kepada otoritas pajak untuk membuktikan kedudukan dari pihak X Co dan Y Co. Dengan kata lain, X Co dan Y Co berhak atas besaran tarif PPh Pasal 26 atas royalti sebagaimana ditentukan dalam P3B Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, pembayaran royalti dari wajib pajak ke X Co dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 10%, sedangkan Y Co dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 15%.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat SKD merupakan salah satu bukti untuk mengetahui bahwa penerima penghasilan, yaitu X Co dan Y Co benar-benar berdomisili di AS dan Thailand.
Berdasarkan pada penelitian, pihak X Co terbukti berkedudukan di AS, sedangkan Y Co berada di Thailand. Dengan demikian, penentuan tarif PPh Pasal 26 atas royalti yang dibayarkan wajib pajak ditentukan berdasarkan P3B antara Indonesia dan AS serta P3B antara Indonesia dan Thailand.
Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 23858/PP/M.I/13/2010 tertanggal 31 Mei 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 3 September 2010.
Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi tarif PPh Pasal 26 atas royalti masa pajak Januari sampai dengan Desember 2006 senilai Rp7.448.212.867 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi karena Termohon PK telah salah dalam menetapkan besaran tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan royalti yang diterima X Co dan Y Co. Konsekuensinya, PPh Pasal 26 yang dilaporkan Termohon PK dinilai kurang bayar.
Menurut Pemohon PK, pihak X Co dan Y Co tidak berhak memanfaatkan besaran tarif atas penghasilan royalti yang diatur dalam P3B. Sebab, tidak ada bukti yang sah berupa SKD untuk menunjukkan kedua perusahaan tersebut benar-benar berdomisili di AS dan Thailand. Dengan demikian, penghasilan X Co dan Y Co atas royalti seharusnya dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.
Berdasarkan pada Surat Edaran 03/PJ.101/1996, SKD berfungsi sebagai acuan apakah suatu pihak dapat menerapkan P3B antara Indonesia dengan suatu negara mitra P3B tertentu. Dengan kata lain, SKD tersebut menjadi dasar bagi Termohon PK untuk menerapkan tarif PPh Pasal 26 atas royalti sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dan negara tempat kedudukan dari X Co dan Y Co tersebut.
Lebih lanjut, apabila SKD tersebut tidak diserahkan kepada Pemohon PK maka terhadap penghasilan X Co dan Y Co atas royalti dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%. Dengan demikian, pertimbanagn hukum dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak benar sehingga harus dibatalkan.
Termohon PK tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Termohon PK berdalil bahwa pihaknya telah mengajukan SKD kepada Pemohon PK untuk membuktikan domisili dari pihak X Co dan Y Co. Dengan kata lain, X Co dan Y Co berhak atas besaran tarif PPh Pasal 26 atas royalti sebagaimana ditentukan dalam P3B Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, merujuk pada Pasal 13 P3B Indonesia dan AS, pembayaran royalti dari Termohon PK ke X Co dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 10%. Sementara itu, sesuai dengan Pasal 12 P3B antara Indonesia dan Thailand, terhadap pembayaran royalti oleh Termohon ke Y Co dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 15%.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian sudah benar. Terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi tarif PPh Pasal 26 atas royalti masa pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp7.448.212.867 yang dilakukan Pemohon PK tidak benar. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, menurut Mahkamah Agung, SKD pihak X Co dan Y Co diterbitkan oleh otoritas yang berwenang di AS serta Thailand. Oleh karena itu, X Co dan Y Co berhak atas pemanfaatan P3B Indonesia dengan negara tempat kedudukan perusahaan tersebut. Penghitungan PPh Pasal 26 atas royalti yang dilakukan Termohon PK sudah benar.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)