DIRJEN PERIMBANGAN KEUANGAN ASTERA PRIMANTO BHAKTI:

‘UU HKPD Guna Simplifikasi dan Perkuat Administrasi Perpajakan Daerah’

Muhamad Wildan
Rabu, 19 Januari 2022 | 10.15 WIB
‘UU HKPD Guna Simplifikasi dan Perkuat Administrasi Perpajakan Daerah’

Dua dekade berjalannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah masih belum sepenuhnya memaksimalkan pajak sesuai dengan potensinya. Pada 2020, tax ratio daerah hanya 1,2%, turun dari tahun sebelumnya sebesar 1,42%.

Melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), pemerintah berupaya menurunkan biaya kepatuhan yang ditanggung wajib pajak di daerah, meningkatkan iklim investasi di daerah, dan memperluas basis pajak daerah.

Beberapa ketentuan pajak terbaru pada UU HKPD, di antaranya integrasi 5 jenis pajak konsumsi ke dalam PBJT, pengenaan opsen sebagai pengganti skema bagi hasil, hingga pemberian fleksibilitas bagi pemerintah daerah (pemda) dalam mengenakan PBB.

Ke depan, internship dan secondment hingga pengawasan akan diselenggarakan agar kebijakan pajak daerah tetap sesuai dengan tujuan pada UU HKPD. Untuk mendalami lebih lanjut mengenai UU HKPD, DDTCNews mewawancarai Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti. Berikut petikannya:

Seperti apa latar belakang diterbitkannya UU HKPD?
Pilarnya UU HKPD itu ada 4. Salah satunya menurunkan ketimpangan horizontal dan vertikal. Ketimpangan bisa turun jika kapasitas fiskal daerah meningkat. Kapasitas fiskal itu sumbernya ada 2. Satu dari APBN [pemerintah pusat] dan pendapatan asli daerah [PAD].

Keduanya ini yang kami atur. Transfer ke daerah diatur bagaimana supaya lebih baik dan mengadopsi kondisi kekinian. Pajak daerahnya juga bagaimana bisa dioptimalkan. Ini dalam satu kerangka makro nasional dan daerah.

Pajak daerah kami zoom sendiri. Namanya peningkatan local taxing power. Kita tahu dari tahun ke tahun, tax ratio daerah sebesar 1,2%-1,3%. Kena Covid-19, terjadi penurunan kembali. Gambaran ini sama dengan nasional, tetapi perbedaannya nasional punya kecepatan recover jauh lebih cepat.

Soal transfer ke daerah, sebagaimana diketahui transfer ke daerah ada block grant ada specific grant. Untuk dana alokasi umum (DAU), kami coba alokasikan sesuai potret daerah. DAU selalu dikonotasikan dengan operation cost, padahal itu salah.

Seolah DAU untuk operation pelaksanaan kantor, padahal sebenarnya DAU bisa digunakan lebih fleksibel sesuai rencana daerah. Pertama yang harus dihitung adalah kebutuhan pelayanan publik, sehingga pelayanan publik di masing-masing daerah itu bisa sama. Itu ultimate goal-nya.

Untuk itu, kebutuhan pelayanan publik ini harus dihitung sehingga saat perumusan formula kami bisa masukkan faktor penyesuaian.

Faktornya itu dapat dijadikan contoh, seperti Bandung bilang penduduknya banyak maka akan masuk dalam faktor penyesuaian. Jumlah penduduk menjadi faktor penyesuaian sebetulnya sudah sejak 2 tahun lalu.

Cuma karena kami tak buat faktor ini sekian, lalu ini sekian, seakan-akan itu hilang ditiup angin. Contoh lain, daerah pertanian butuh extra effort untuk penyediaan public service, itu di-capture. Semua akan di-list apa yang harus di-capture.

Untuk itu, harus ada baseline dulu seperti biaya pegawai, PPPK, listrik, telpon. Itu baseline. Ditambah yang lain-lain plus tentu masih ada space untuk hal-hal yang sesuai dengan janji-janji politiknya mereka. Yang baru disini adalah kami juga masukkan dana kelurahan.

Beda yang lainnya apa? Nanti kita menghitung DAU sesuai klaster. Ada beberapa klaster, salah satunya klaster daerah yang baik dengan level of service bagus. Kinerja keuangannya juga bagus sehingga mereka relatif tidak butuh asistensi. Itu bisa kami berikan dalam bentuk block grant.

Untuk daerah yang masih perlu pendampingan, kami berikan supaya penggunaan block grant-nya baik. Itu bukan intervensi. Ini supaya kualitas mereka lebih baik sehingga uang yang diberikan ke daerah dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat di daerahnya.

Selanjutnya dana bagi hasil. Ini sesuatu yang volatil. Tergantung pajak dan komoditas. Kami merespons apa yang diinginkan daerah. Daerah selalu bilang “Saya enggak bisa prediksi dapat berapa?”.

Jadi kami bikin base-nya T-1 dengan catatan bahwa ketika T-1, ada beberapa bulan yang estimasi karena ini belum finis. Namun, saya rasa ini better-off daripada enggak ada acuan. Sistem yang sekarang sesungguhnya mirip-mirip dengan T-1, sehingga untuk yang saat ini, UU HKPD lebih memberikan kepastian kepada daerah.

Selain itu, kami perluas juga perhitungan bagi daerah untuk menerima dana bagi hasil (DBH). Daerah yang terdampak karena industri ekstraktif yang memiliki eksternalitas negatif, dikarenakan beda provinsi dahulu tidak mendapatkan sekarang daerah bersebelahan, tetapi beda provinsi mendapatkan prosentase alokasi DBH.

Mengenai dana alokasi khusus (DAK), more or less sama. Namun, diperkuat karena DAK seharusnya lebih kepada penugasan. Jadi, kalau pemerintah pusat misal bangun apa, daerah bangun apa. Ini harus dilakukan sinkronisasi.

Terkait masalah mekanisme tetap saja bisa ada usulan dari atas ataupun dari bawah, daerah, atau DPR. DPR juga punya hak berdasarkan UU MD3. Harus dilihat juga technicalities-nya, sehingga tidak bisa daerah cuma sekadar usul, tanpa dilengkapi dengan kelengkapan dokumennya.

Misal mau bikin jalan. Jalannya harus terdaftar di peta jalan. Kalau enggak ada, peta jalannya ya bagaimana? Daerah seharusnya melakukan survei teknis, jalannya bagaimana? Itu harus dilakukan. Kalau dana otsus, saya rasa sama karena ada UU sendiri.

Yang perlu ditekankan Kembali adalah penguatan dari aspek pengawasan. DAU berdasarkan kinerja, termasuk DBH. Kita tahu DBH itu kinerjanya dilihat dari sisi output dan keterkaitan dengan sumber DBH-nya. Meski demikian, kami akan tetap berikan fleksibilitas bagi daerah yang akan ditetapkan melalui PMK.

Untuk dana desa, kami juga perkuat di sisi kinerja dan kegiatannya harus fokus. Jangan sampai dana desa tidak fokus dan digunakan untuk banyak sekali kegiatan. Dana desa itu duitnya enggak banyak dari kacamata nasional. Namun, buat desa itu besar.

Terkait dengan penjelasan mengenai DBH tadi, apakah ini menjadi alasan adanya ruang untuk mengenakan retribusi dan DBH atas kelapa sawit?
Sebagaimana kita pahami bersama, jika ada daerah yang mengolah, pasti akan ada limbahnya. DBH dalam UU HKPD akan memberikannya secara lebih merata dikarenakan sejalan dengan salah satu pilarnya mengurangi ketimpangan secara horizontal.

Soal sawit, banyak daerah memang minta DBH sawit. Ya bisa-bisa saja nanti. Di UU HKPD sudah kami buka room-nya, termasuk retribusinya. Kami sekarang sedang merumuskan bagian mana yang dibagihasilkan.

Kami akan lakukan kajian terlebih dahulu mengenai hasil yang dapat dibagihasilkan. Retribusi juga kami buka. Mengapa? Karena itu terkait dengan layanan langsung. Jadi, daerah nanti dapat melakukan pungutan retribusi kepada perusahaan layanan sawit atas pembangunan jalan khusus truk sawit.

Di dalam UU HKPD, terdapat pasal khusus mengenai penetapan target pajak dan retribusi daerah. Mengapa ini turut diatur?
Sebenarnya ini sudah ada di UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, di sini menguatkan. Mengapa? Karena seolah-olah mereka cuma butuh berapa maka itu targetnya. Sebetulnya itu ada perhitungannya.

Cuma sekarang kami mengingatkan pemda, kalau menghitung target pajak itu begini caranya. Jangan dianggap pemda itu tidak mengerti apa-apa. Namun, mekanisme ini harus dibangun sehingga ada check and balance.

Artinya akan ada standardisasi dalam penentuan target pajak dan retribusi daerah?
Approach-nya adalah kami berikan acuan. Kalau standar kayaknya tidak. Mungkin lebih ke pedoman yang kami berikan. Seharusnya mereka memperhatikan. Saya membayangkan seperti di nasional ya. Ada hitungan ekonominya, potensinya. Jadi, bukan cuma angka.

Walaupun ada juga daerah yang sudah bagus. Sesungguhnya di UU 23/2014 itu sudah ada bahwa harus sesuai dengan rencana.

UU HKPD mengatur penyerahaan kedua kendaraan bekas sudah bukan lagi objek BBNKB. Apa tujuannya?
Konsep dasar pajak daerah dan retribusi daerah pada UU HKPD adalah simplifikasi dan penguatan administrasi. Yang mempunyai tujuan untuk peningkatan kepatuhan. Kalau compliance naik maka penerimaan akan meningkat. Namun, langkah ini bukan menjadi jalan instan.

Sekarang kan mobil yang mempunyai tanda nomor kendaraan B ada di mana, padahal posisinya kendaraan tidak dipakai di Jakarta. Ini dikarenakan masyarakat tidak balik nama dan kalau dilakukan balik nama biayanya mahal, sehingga akhirnya pajak tidak dibayar. Akhirnya kena PKB-nya dan menyebabkan BBNKB itu jadi tracing-nya susah.

Tiga tahun lagi opsen PKB dan BBN-KB resmi berlaku. Harapan pemerintah pusat?
Kalau itu sih soal administrasi ya. Nanti akan kami dalami. Sesungguhnya konsep opsen itu tidak sulit karena yang dulu dibagihasilkan sekarang diopsen. Kalau opsen itu berarti tiap orang dapat duit. Jatahnya ada masing-masing.

Kalau bagi hasil duitnya disimpan dulu, habis itu dibagi. Kalau opsen begitu dapat, langsung diberikan kepada pihak-pihak yang berhak. Jadi, ini untuk transparency dan certainty bagi daerah penerima. Masalah administrasi nanti akan ada perubahan pasti, sehingga dalam pengaturan pemberlakuan kebijakan ini diberikan jangka waktu 3 tahun.

Apa urgensi dari adanya PBJT?
Itu consumption tax yang awalnya grey area antara PPN dan pajak daerah. Dalam UU HKPD ini kami luruskan. Yang pasti, dengan pengaturan PBJT ini menjadi lebih simpel.

UU HKPD memberikan fleksibilitas yang besar dalam pengenaan PBB. Apa tujuannya?
Dulu waktu PBB dikelola DJP, PBB itu seperti itu aturannya. Jadi, NJOP itu 20% hingga 100%. Supaya apa? Agar memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Misal, ini ada daerah Menteng sama Menteng Dalam, seharusnya dibedakan NJOP-nya. Jadi, sekarang kita kasih space.

Daerah memiliki kewenangan untuk memberikan NJOP tinggi atau rendah sehingga tidak bingung dalam memberikan insentif. Pemda bisa melakukan asesmen dan saya yakin menjadi lebih baik dan optimal serta bebannya lebih benar.

Soal tax ratio daerah yang rendah, bagaimana menurut Anda?
UU HKPD itu salah satu pilarnya adalah penguatan local taxing power. Dengan perbaikan yang tertuang dalam UU HKPD, alokasi DBH tiap daerah ada yang kami besarkan. Lalu, ada opsen. Secara total, daerah akan better-off. Mengapa tax ratio daerah rendah? Itu yang kita address.

Permasalahan regulasi banyak, tetapi enggak lengkap menjadi salah satu penyebabnya. Tiap jenis pajak daerah ada regulasinya sendiri. Namun, giliran mau atur masalah penyitaan, gijzeling, dan lain sebagainya itu enggak ada. Ini yang turut kami perkuat sehingga law enforcement berjalan dengan baik.

Aturan juga harusnya disimplifikasi dan nyambung juga dengan unit pengelolanya. Ada daerah yang unit pengelola pajak daerahnya hanya beranggotakan 8 orang, ada juga yang banyak banget. Oleh karena itu, perlu reform yang menyeluruh.

Kami di DJPK juga memiliki program punya internship dan secondment. Daerah yang bagus kami jadikan sumber informasi, tetapi kita training dulu. Ini adalah bagian dari upaya meningkatkan local taxing power.

Selain itu, juga dilakukan kegiatan kerja sama antara pemda dan DJP. Melalui kerjasama ini, exchange data dilakukan dengan tetap memperhatikan kerahasian dan ada proceeding-nya. Kami jaga kerahasiaannya. Kerja sama ini sudah hampir dengan 200 pemda.

Bagaimana peran pusat dalam menjamin agar tidak ada deviasi dari UU HKPD?
Monitoring akan tetap terus dilakukan, terutama terkait dengan PDRD, baik yang dilakukan Kemenkeu ataupun Kemendagri. Hasil pemantauan ini, tentu ada tindak lanjut yang diberikan seperti yang tadi disampaikan, yaitu melalui internship dan secondment, serta bimbingan teknis yang dilakukan 2 sampai 3 kali dalam satu tahun.

Dari sisi teknikalitas juga kami dukung. Tinggal daerah mengelola dari aspek politik di daerah karena ini kan terkait dengan DPRD. Kami dorong siapkan semuanya secara baik, termasuk aturan-aturan hukum sebagai peraturan pelaksanaan UU HKPD. Namun, kalau ketemu DPRD, kami juga ingatkan untuk tetap perlu satu perahu antara eksekutif dan legislatif daerah. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.