Kakanwil DJP Jawa Barat II Harry Gumelar
PERUBAHAN model pengawasan dan penggalian potensi turut memengaruhi cara fiskus berinteraksi dengan wajib pajak. Perubahan tersebut juga dibarengi dengan langkah optimalisasi pelaksanaan tugas account representative (AR) pada kantor pelayanan pajak (KPP).
Kepala Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jawa Barat II Harry Gumelar menilai peran AR dapat lebih optimal jika tidak lagi dibebani tugas pengawasan formal. Dalam pandangannya, AR cukup diberikan tugas yang berkaitan dengan pengawasan materiel. Sementara pengawasan formal cukup dilakukan secara otomatis dengan sistem teknologi informasi.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Harry untuk mengulik lebih dalam mengenai hal tersebut. DDTCNews juga mencari tahu mengenai kinerja penerimaan, kepatuhan wajib pajak, dan upaya optimalisasi penerimaan dari wajib pajak. Berikut petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak Kanwil DJP Jawa Barat II sejauh ini?
Penerimaan sampai dengan September 2021 senilai Rp32,5 triliun dan saat ini ada di posisi 71,5% [terhadap target]. Sebenarnya kalau menghitung pertumbuhan agak susah. Ini karena wajib pajak kami berubah sehingga setorannya juga berubah.
Wajib pajak yang tadinya di sini, sekarang pindah ke LTO [Kanwil Wajib Pajak Besar/Large Tax Office]. Sebagian yang pindah itu lumayan [kontribusi penerimaannya]. Beberapa ratusan miliar tapi tidak sampai Rp1 triliun.
Bagaimana pandemi Covid-19 memengaruhi penerimaan pajak di Kanwil DJP Jawa Barat II?
Pandemi pada 2020 umumnya berdampak ke industri, terutama industri otomotif dan pendukungnya. Namun, corporate tax-nya tidak di kami.
Jadi, walaupun di sepanjang Kabupaten Bekasi sampai ke Cirebon banyak perusahaan gede-gede, terdaftarnya di LTO. Kalau di saya [Kanwil DJP Jawa Barat II], PPh Pasal 21 karyawan. Soal pandemi ini, semua sektor terkena. Daya beli masyarakat juga turun sehingga otomatis pajaknya turun.
Sektor apa yang berperan besar dalam penerimaan pajak di Kanwil DJP Jawa Barat II?
Sebenarnya porsi terbesar itu adalah 65% di industri pengolahan. Porsi kedua itu ada di perdagangan besar dan eceran sebesar 13%. Ini data per September [2021]. Namun, pada tahun 2020 pun sama, 65% di industri pengolahan dan 13% di perdagangan besar eceran. Kemudian, transportasi pergudangan 3%, dan real estat 3%.
Bagaimana perbandingan komposisi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan?
Pengelompokan pajak dari badan dan orang pribadi, kalau menurut saya, perlu diperbaiki. Ini karena semua yang dibayar oleh korporat itu dianggap pajak korporat. Jadi misalkan membayar pajak Rp2 triliun, ternyata corporate tax-nya Rp500 miliar dan Rp1,5 triliun adalah PPh Pasal 21.
PPh Pasal 21 kan pajak yang dibayarkan karyawan. Kalau kita bicara siapa yang membayar, memang korporat yang membayarkan, tapi sebenarnya itu adalah pajak gaji karyawan. Di Kanwil DJP Jawa Barat II, kontribusi terbesar untuk PPh sebesar 47% dari PPh Pasal 21. Itu gambarannya, dominan sekali PPh Pasal 21 ini karena memang di sini banyak sekali cabang perusahaan.
Bagaimana karakteristik wajib pajak di Kanwil DJP Jawa Barat II?
Struktur wajib pajak di sini kebanyakan wajib pajak orang pribadi. Terdiri atas 2,3 juta wajib pajak orang pribadi karyawan dan sekitar 1,2 juta wajib pajak orang pribadi nonkaryawan. Untuk wajib pajak badannya, sekitar 117.000 itu wajib pajak badan pusat yang memang berkantor di sini dan ada sekitar 16.000 wajib pajak cabang. Mereka itu berpusatnya di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kanwil DJP Jakarta Khusus atau kanwil-kanwil di Jakarta.
Bagaimana kepatuhan wajib pajak sejauh ini?
sampai September 2021, capaian kepatuhan wajib pajak sekitar 86%. Harapannya, kepatuhan sampai akhir tahun bisa mencapai sampai 100%. Kami sedang mengupayakan jumlah tersebut karena kemarin, dengan adanya pandemi ini, agak berkurang kegiatannya.
Misalnya, waktu Maret dan April, biasanya kami membantu [wajib pajak] dengan mengadakan gerakan massal. Kami menggerakan relawan-relawan pajak untuk mendorong masyarakat lapor SPT [Surat Pemberitahuan]. Dulu kami sering jemput bola ke pabrik-pabrik agar mereka menyampaikan SPT. Nah, kegiatan yang sekarang memang agak berkurang.
Bagaimana proses pembinaan dan penegakan hukum yang dilakukan Kanwil DJP Jawa Barat II?
Kami kan ada istilah PPM [pengawasan pembayaran masa] dan PKM [pengawasan kepatuhan material]. Sekarang di [Ditjen] Pajak, yang kegiatan rutin itu disebut PPM dan extra effort menjadi PKM.
Ketika pertama kali di [Kanwil DJP] Jawa Barat II, saya inginnya yang rutin itu menjadi less effort. Ini karena urusan yang rutin seperti tidak lapor, tidak bayar, dan kurang bayar semestinya dikerjakan [atau ditindaklanjuti] by system. Kalau wajib pajak tidak lapor SPT, dari sistem bisa langsung ketahuan, tinggal di-STP [diberikan Surat Tagihan Pajak] saja atau minimal ditegur.
Sejak awal, saya sudah minta agar database wajib pajak ini ada nomor telepon dan email atau contact person. Saya challenge teman-teman, kalau KPP Madya semestinya 100% [terkumpul data wajib pajak], no excuses.
Kalau KPP Madya Bekasi [ada] 1.800 wajib pajak dan KPP Madya Karawang [ada] 1.400 wajib pajak. Sebelum jatuh tempo laporan dan pembayaran, saya minta mereka [wajib pajak] di-sounding [diberi informasi atau imbauan] dulu.
Misalkan jatuh tempo tanggal 15, tanggal 10 sudah diingatkan. Barulah ketika due date-nya ternyata mereka tidak lapor dan tidak bayar, saya minta STP-nya dikeluarkan otomatis. Seharusnya sudah seperti itu. Namun, sepemahaman saya, [skema tersebut] belum 100% berjalan.
Bagaimana dengan KPP Pratama?
Nah, kalau yang [KPP] Pratama, ini luar biasa karena wajib pajaknya puluhan ribu. Jadi, kalau ada 30.000 wajib pajak, kepatuhannya yang lapor hanya sekitar 10%. Dengan demikian, untuk yang [KPP] Pratama, kami harus fokus.
Kalau database-nya nasional sudah bagus, ke depan, pengawasan kepatuhan formal itu dilakukan secara nasional. Jadi, bukan AR yang disuruh mengawasi. Selama wajib pajak tidak lapor, langsung [diterbitkan] STP. Selama dia kurang bayar, langsung [diterbitkan] STP.
Sejauh ini, teman-teman kami [di level instansi vertikal DJP] yang masih harus menghubungi, memastikan dulu datanya. Saya meminta kalau mengirim email, Whatsapp, dan SMS, harus dipastikan dulu bahwa pesannya diterima. Ini supaya kalau di-STP tidak menjadi tunggakan yang tidak bisa tertagih.
Pengawasan formal saat ini memang di AR, walaupun saya berpikirnya memang mestinya AR tidak dibebani seperti ini. Kalau database-nya sudah jadi, semestinya [pengawasan formal] by system saja. AR bisa lebih diarahkan untuk pengawasan materialnya.
Bagaimana terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum?
Penegakan hukum berjalan. Artinya, penegakan hukum – mulai dari pemeriksaan, penagihan, sampai kepada bukper [bukti permulaan] atau penyidikan – berjalan walaupun agak terhambat, terutama untuk bukper dan penyidikan. Ini karena biasanya kami memanggil saksi atau tersangka secara langsung. Namun, selama pandemi, kami harus menjaga jarak.
Dulu awal-awal pandemi sempat terhambat. Sekarang, ketika pandeminya sudah mulai turun, teman-teman juga mulai aktif lagi.
Bagaimana animo wajib pajak dalam memanfaatkan insentif pada masa pemulihan ekonomi?
Kalau kita bicara tentang pemanfaatan insentif, ternyata di Kanwil DJP Jawa Barat II cukup banyak peminatnya. Data yang saya punya, yang memanfaatkan tahun 2020 saja totalnya ada 11.308 wajib pajak.
Untuk 2021 – sampai dengan semester I – malah lebih tinggi, yakni mencapai 14.000 lebih wajib pajak. Yang paling banyak dimanfaatkan itu PPh Pasal 21 karyawan karena ada separuh yang memanfaatkan itu. Kemudian, [pemanfaatan] PPh Pasal 25 juga banyak.
Seperti apa strategi untuk mengoptimalkan penerimaan pajak?
Pajak itu sebenarnya adalah cerminan kegiatan ekonomi. Kalau ekonomi turun, jangan mengharapkan pajaknya bagus. Namun, kalau ekonominya sedang bagus, pasti pajaknya juga bagus. Saya melihat penerimaan adalah impact dari peningkatan kepatuhan. Dengan ekonomi yang tumbuh dan kepatuhan yang tinggi, mestinya penerimaan pajaknya secara nasional bagus.
Secara natural, pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi sekian, pertumbuhan pajaknya juga harus sekian. Kalau di [Kanwil DJP] Jawa Barat II bagaimana? Selama tidak ada PHK [pemutusan hubungan kerja], kami menilai penerimaan pajaknya masih akan bagus karena penyumbang terbesarnya adalah PPh Pasal 21. Selama pabrik berjalan dan tidak ada PHK, pajaknya pasti bagus.
Namun, kami tetap harus menambah basis pajaknya dari wajib pajak yang selama ini tidak lapor dan tidak membayar pajak, tetapi ini bukan karena tidak punya uang ya. Yang repot itu kalau mereka tidak lapor dan tidak bayar pajak karena usahanya berhenti.
Sejak tahun lalu, DJP mencanangkan program pengawasan berbasis kewilayahan. Bagaimana implementasinya?
Sama dengan beberapa Kanwil, pengawasan berbasis kewilayahan ini memang baru bulan Juni berjalan. Ada hal-hal teknis yang berpengaruh juga.
Pada pengawasan berbasis kewilayahan, kalau 1 KPP Pratama ada 20 AR, [untuk menanganai wajib pajak] strategisnya 5 orang. Kalau [wajib pajak] yang strategis ada 500 orang, dibagi 5 orang [AR] menjadi masing-masing 100 [wajib pajak]. Kalau yang Seksi Pengawasan untuk kewilayahan, wajib pajaknya banyak, ribuan.
Kami harus menghitung betul untuk extra effort, yang PKM. Kalau sehari melakukan pengawasan material, teman-teman berapa sanggupnya. Jadi, pembuatan target harus benar-benar terukur. Kalau tugasnya mengawasi kepatuhan material, mengawasi SPT, dan membaca [laporan] keuangan, sehari sanggup berapa wajib pajak? Ada 1 atau 2. Berarti, seminggu hanya [ada] 3 [wajib pajak] dan maksimum sebulan [ada] 12 wajib pajak. Kalau dihitung 12 kali 12, berarti hanya 144 wajib pajak setahun. Padahal, wajib pajak itu ribuan.
Makanya, kalau menurut saya, kepatuhan formalnya yang harus dipindahkan ke dalam sistem, bukan lagi oleh AR. AR mengawasi materialnya saja. Harapannya, kalau tahun ini 122 wajib pajak, tahun depan bisa 122 wajib pajak. Dalam 5 tahun bisa 600 wajib pajak.
Itu pun masih sedikit lho. Bayangkan, 1 AR [mengawasi] 600 wajib pajak. Padahal, dia memegang 2.000 wajib pajak, misalnya. Kan tidak selesai. Makanya, wajib pajak yang dipegang juga harus dipilah, mana yang akan dikejar. Pilah berapa badannya dan berapa orang pribadi nonkaryawannya.
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) baru saja disahkan. Bagaimana pandangan Anda mengenai pengesahan hal itu?
Ada beberapa hal yang diatur dalam UU HPP ini. Kami melihat mengenai perubahan bracket PPh orang pribadi. Ada perubahan pada bracket PPh orang pribadi dengan tarif 5% yang sekarang untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp60 juta. Kemudian, tambahan lapisan tarif 35% untuk [penghasilan kena pajak] yang di atas Rp5 miliar. Kalau ada tarif 35%, mestinya bertambah [penerimaannya].
Kemudian, tarif PPN juga akan berubah dari 10% ke 11%. Artinya, dari revenue saat ini, akan bertambah 1% pada tahun depan selama konsumsi dan ekonomi membaik. Kalau ekonominya bagus, PPN-nya pasti bagus
Jadi, kalau kami katakan, dampak undang-undang ini pada penerimaan akan tetap tergantung pada ekonomi tahun depan seperti apa. Kalau proyeksi tahun depan ekonomi tumbuh 5,2% dan inflasi 3%, sepertinya akan bagus penerimaannya.
Kemudian, soal [pajak atas] natura karena banyak orang-orang yang dapat tunjangan besar dari perusahaannya. Teman-teman di KPP akan bisa mendeteksi fasilitas yang diterima direktur atau pejabat. Ini karena itu [natura] akan menjadi penghasilan [bagi wajib pajak] walaupun menjadi biaya dari sisi perusahaan. Kalau kita lihat, tarif corporate tax kan 22%, sedangkan tarif tertinggi PPh orang pribadi tarif bisa 35%.
Soal perluasan basis pajak pada orang pribadi dengan penerapan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) juga menarik. Ini tidak otomatis semua yang ber-NIK menjadi terutang [pajak]. Ini karena [untuk] mereka yang tidak berpenghasilan juga tetap tidak dikenakan pajak.
Jadi, masyarakat tidak perlu resah. Ketentuan-ketentuan ini kan agar tidak ada lagi orang free rider ya. Ketika kita kondisinya sedang susah, diharapkan semua warga berpartisipasi dengan adanya kemudahan-kemudahan di bidang perpajakan. (sap)