KEPALA KANWIL DJP JAWA TIMUR I EKA SILA KUSNA JAYA:

‘Yang Takut SP2DK Paling yang Kewajiban Pajaknya Belum Beres’

Muhamad Wildan
Minggu, 13 Desember 2020 | 09.01 WIB
‘Yang Takut SP2DK Paling yang Kewajiban Pajaknya Belum Beres’

Kepala Kanwil DJP Jatim I Eka Sila Kusna Jaya. (Foto: DJP)

JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 telah berdampak signifikan pada kinerja penerimaan pajak, tidak terkecuali di Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I.

Apalagi, sekitar 30% penerimaan pajak dari Kanwil DJP Jatim I ternyata berasal dari salah satu perusahaan rokok. Tidak mengherankan jika penurunan aktivitas perusahaan tersebut juga turut berdampak pada performa setoran pajak wilayah ini.  

Di tengah kondisi tersebut, upaya optimalisasi penerimaan tetap harus berjalan. DJP juga sudah memiliki banyak data dan informasi, termasuk dari implementasi automatic exchange of information (AEoI), yang digunakan untuk mengecek kepatuhan wajib pajak.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jatim I Eka Sila Kusna Jaya untuk mengetahui kondisi yang terjadi di wilayahnya. DDTCNews juga ingin mengetahui langkah dan rencana kanwil dalam menghadapi kondisi pandemi. Berikut petikannya:

Seperti apa kinerja penerimaan Kanwil DJP Jatim I tahun lalu?
Secara struktur penerimaan, Surabaya cukup unik karena 30% lebih ditunjang oleh satu wajib pajak. Itu menjadikan kami cukup rigid dalam mencari penerimaan karena begitu satu wajib pajak itu bermasalah maka kinerja kami bermasalah. Itu khasnya Surabaya. Ada industri rokok yang sangat dominan yakni HMSP, 30% setorannya.

Sejak bergabung di kami pada 2014, pajak dari HMSP hanya tumbuh kisaran 7% tiap tahun, sedangkan target penerimaan kami tumbuh 23%. Artinya, rokok tidak bisa mengejar target penerimaan pajak secara umum.

Rokok itu idealnya dan sesuai marwahnya di KPP Perusahaan Masuk Bursa (PMB). Dulu diminta pindah ke Jawa timur dengan pertimbangan permintaan gubernur dan sebagainya. Jadi, itu kalau dari sisi penerimaan. Sejak 2014 HMSP bergabung Kanwil DJP Jatim I, kami belum pernah mencapai 90% target karena rokoknya enggak ngejar.

Khusus 2019, realisasi pajak tercatat sampai Rp43,87 triliun atau 87,79% dari target sebesar Rp49,97 triliun. Khusus untuk extra effort, dari target sebesar Rp4,1 triliun terealisasi sebesar Rp4,5 triliun. Jadi, 109,3% dari target.

Besarnya kontribusi industri rokok ini apakah mirip dengan Kanwil DJP Jatim III?
Di satu sisi iya, tapi apakah perannya sebesar di kami, saya enggak tahu. Saya sudah bersurat ke kantor pusat untuk ditambah lagi supaya teman-teman ranah effort-nya bisa lebih longgar. Kalau sekarang kan ruang bermain kami untuk extra effort hilang 30%. Kami main di 60%. Kalau rokok ya given aja.

Secara umum, capaian 2019 sebesar 87,79%. Itu tumbuh 7,47%. Jadi masih tumbuh walau ini mungkin bahasanya digandoli oleh HMSP yang hanya tumbuh 7%. Secara umum sih bagus, kadang kalau kami mau evaluasi kinerja itu sampai HMSP-nya kita pisahkan. Dalam evaluasi KPP Madya itu seakan-akan ada 2 KPP di situ yakni KPP HMSP dan bukan HMSP. Kalau enggak begitu, enggak fair. Kasihan teman-teman KPP Madya karena itu membebani mereka.

HMSP ini kan segmen menengah atas. Tahun ini ada anomali lagi. Kalau rokok lain pada tumbuh, mungkin banyak yang stres WFH (work from home) jadi ngerekok terus, tapi HMSP turun. Orang kan kemampuan belinya sekarang menurun sehingga pindah ke rokok segmen di bawahnya yang murah.

Jadi, yang lain tumbuh tapi HMSP-nya tersendat. Ya tumbuh tapi kecil sekali. Bedanya dengan Kanwil DJP Jatim III, dia rokok-rokok kecil punya, saya enggak punya. Jadi ada gantinya mereka. Saya enggak ada. Kalau rokok saya hanya urusan dengan HMSP. Enggak ada yang lain.

Apakah minimnya industri rokok karena pengaruh upah minimum kota (UMK) yang tinggi?
Betul. UMK kita kan tinggi. Ketua Apindo sini sudah ketemu saya, enggak tahan lagi. Ini lagi didiskusikan dengan gubernur soal upah minimum. Di sini sudah Rp4 juta lebih setara Jakarta.

Apa sektor yang berperan besar dalam penerimaan pajak di Kanwil DJP Jatim I?
Secara sektoral, paling besar ya industri pengolahan sampai 44,5%. Kedua, ada perdagangan 23%. Terus, jasa keuangan kontribusinya 7,1%. Kemudian, transportasi 5,1% dan konstruksi 4,3%. Khusus di industri pengolahan, kontribusi subsektor pengolahan tembakau mencapai 71,8%. Jadi tetap rokok. Yang lain seperti makanan, logam, dan gas.

Anda menyebut ada perlambatan penerimaan pajak dari industri rokok. Seperti apa gambarannya tahun ini?
Kalau bicara 2019 ke 2020, ya kami sama dengan Jakarta. Pandemi ini, yang dihantam kota besar dulu. Jadi, kami tumbuh minus dalam sampai November hingga 13,68%. Kami sebenarnya di awal bagus banget dan lumayan leading di nasional. Begitu April, kami terkoreksi makin dalam dan makin dalam. September kami minus 11 % dan Pak Dirjen [Pajak] sesungguhnya minta dipertahankan segitu saja. Jangan lebih dalam lagi. Namun, nyatanya, sampai November kami [minus] lebih dalam lagi.

Tidak dipungkiri, pandemi ini sangat dahsyat [dampaknya] untuk kami di kota besar. Terasa hantamannya. Kalau dikaitkan dengan dominasi industri pengolahan kan hampir semua produksi mereka menurun. Jumlah pegawai menurun. Kompleksitas pandemi muncul di situ.

Luas wilayah Kanwil DJP Jatim I yang tergolong kecil apakah juga menjadi masalah?
Ya, betul. Itu saya bilang kami cukup rigid. Tidak cukup fleksibel. Wilayah kami itu satu kota, Surabaya. Untuk pandemi ini, yang dapat blessing enggak cukup banyak. Yang dapat blessing kan farmasi dan alat kesehatan. IT [information technology] juga bagus.

Sayangnya, yang tumbuh-tumbuh bagus itu, peran di struktur penerimaan kami enggak gede. Jadi, enggak ngangkat. Bagi beberapa kota yang selama ini dominan, mungkin akan membantu. Kalau di kami, IT, farmasi, alat kesehatan itu tumbuh, tapi kecil. Kami lebih di industri pengolahan.

Bagaimana karakteristik wajib pajak di Kanwil DJP Jatim I?
Sebelum pandemi, kami sudah membuat banyak inovasi. Makanya, kami dapat [penghargaan] kanwil terbaik se-Kemenkeu. Kami bikin banyak aplikasi untuk mengedukasi wajib agar makin mengerti pajak dan yang paling penting makin mudeng untuk memenuhi kewajibannya. Aplikasi kami bikin dan terasa manfaatnya saat pandemi. Kami berbasis IT. Jadi, sangat membantu.

Akselerasi literasi dan edukasi wajib pajak saat ini cukup cepat. Namun, pada umumnya kita harus jujur bahwa masyarakat. kalau urusan dengan pajak, bukan hal utama. Siapa mau memberikan kontribusi tapi tidak ada imbal balik yang bisa ditunjuk langsung. Itu manusiawi. Jadi ini kesadaran wajib pajak. Kalau dibilang tinggi banget, ya belum. Itu kewajiban kami untuk terus-menerus mengedukasi melalui aplikasi dan media kami supaya makin hari makin baik.

Kami juga melihat wajib pajak itu inginnya pemenuhan kewajiban pajaknya disuapin. Contoh, kami menyediakan fasilitas macam-macam. Masih saja ingin datang ke kantor, ditemani, diajari ngisi. Kalau perlu, tinggal tanda tangan saja. Itu saya kira problem di semua kanwil. Itu tantangan kami dan tidak jadi persoalan.

Sekarang ini kami membentuk relawan pajak didukung oleh kurang lebih 19 universitas. Ini dalam rangka mengedukasi dan meningkatkan kesadaran wajib pajak. Kalau kondisi normal, kami taruh relawan di KPP. Dia akan mendampingi setiap wajib pajak yang ingin memenuhi kewajiban, terutama pelaporan.

Sekarang kami optimalkan semua media yang kami punya dan bahkan sudah diduplikasi oleh kanwil lain. Seperti aplikasi kami yang media sosial milik P2Humas. Ada aplikasi yang diduplikasi kanwil lain karena mudah di akses via Instagram, WhatsApp, dan Twitter. Kami juga menyediakan semacam call center yang bisa diakses lewat WhatsApp dan itu harus direspons.

Dari sisi rasio kepatuhan, kami sudah di 87,4%. Kalau badan 73,18%, OP nonkaryawan 109,9%, dan OP karyawan 84,48%.

Kepatuhan wajib pajak OP nonkaryawan bisa tembus 100%. Bagaimana maksudnya?
Begini, ada yang enggak wajib SPT tapi lapor juga. Kan kepatuhan menghitungnya terhadap yang wajib menyampaikan SPT. Ini ada yang tidak wajib SPT tapi menyampaikan juga. Kalau ada yang menyampaikan SPT meski tidak wajib kan kami enggak bisa melarang juga.

Kalau 2020, rasio kepatuhannya seperti apa? Sekarang ini belum tutup tahun. Pada masa pandemi ini kan banyak orang yang jangankan lapor SPT, ngurus hidup saja setengah mati. Jadi, kami kasih ruang keterlambatan SPT. Kalau dia minta penghapusan sanksi Rp100.000 itu, kami akan kasih. Jadi, ini supaya kepatuhan SPT bagus. supaya ada dorongan. Kalau ada yang mengajukan maka sesuai aturan kami akan hapus sanksi. Yang penting masukin SPT.

Seberapa besar animo wajib pajak di Kanwil DJP Jatim I dalam memanfaatkan insentif pajak pemerintah?
Per 28 November tercatat permohonan yang masuk mencapai 37.057. Hanya 2.621 permohonan yang ditolak. Secara umum 49% atau 18.308 permohonan itu permohonan PPh final UMKM DTP. Selanjutnya, permohonan PPh Pasal 21 DTP mencapai 8.293 permohonan. Fasilitas pengurangan angsuran PPh Pasal 25 permohonannya tercatat mencapai 6.852 permohonan dari wajib pajak.

Apakah ada masukan dari pengusaha untuk fasilitas pajak tahun depan?
Kalau selama ini beberapa yang interaksi dengan kami, termasuk asosiasi, tidak pernah mengeluhkan soal insentif. Kebanyakan ya mengeluh soal produktivitas yang turun karena pandemi. Terkait dengan insentif belum ada komplain. Sejauh ini tidak ada usulan, tapi saya enggak tahu, mungkin saja dia memberikan masukan lewat asosiasi-asosiasi dan disampaikan ke pusat langsung. Kanwil kan ranahnya eksekusi dan melaksanakan aturan. Bukan merancang aturan.

Setelah penerimaan 2020 mengalami kontraksi, apa rencana Kanwil DJP Jatim I pada 2021?
Upaya yang standar seperti kanwil lain ya pastinya. Semua sudah baku dan protapnya. Sekarang tinggal bagaimana kami melakukan effort sesuai karakteristik wilayah kami.

Jadi, tahun depan kami terus mengupayakan untuk mendorong IT kalau aplikasi yang kami kembangkan disetujui oleh pusat. Kami tidak boleh keluar dari apa yang digariskan oleh pusat. Kami tidak bisa sembarangan bikin program yang tidak sinkron dengan pusat terkait dengan aplikasi dan inovasi.

Kalau upaya-upaya, kami akan terus awasi terkait dengan wajib pajak yang PPN-nya naik tapi PPh Pasal 25 dan Pasal 29-nya turun. Kami monitor pemanfaatan insentif agar tidak mendistorsi penerimaan. Lalu wajib pajak non-PP 23 kami akan awasi secara periodik terkait dengan pembayarannya agar membayar sesuai dengan omzet sesungguhnya.

Banyak yang mau kami lakukan. Wajib pajak OP yang prominen ini kan banyak yang musti kami pantau. Kami juga lakukan penelitian terhadap wajib pajak yang melakukan restitusi dipercepat dan rugi tidak lebih bayar atau RTLB. Kami juga imbau pemungut untuk menyetor pajak yang telah dipungut. Ada beberapa wajib pajak, bahkan BUMN, melakukan itu. Itu akan kami sisir lagi karena tahun lalu enggak tuntas.

Tahun ini, kami membentuk tim optimalisasi pajak dan tahun depan efektif dijalankan. Ini lintas bidang. Artinya, bukan hanya urusan penagihan. Penyidik juga saya libatkan. Ini terbukti efektif. Ada yang diimbau cuek, begitu dipanggil ke kanwil, ada penyidik, dia langsung membayar. Ada bahkan yang tidak hadir tapi langsung betulin SPT-nya dan langsung setor.

Ini bukan dalam konteks represif. Kami tidak di posisi itu. Kami sadar tidak boleh nakut-nakutin dan kontraproduktif terhadap investasi. Mungkin mereka sadar kok ada tim penyidik segala. Apalagi, kalau ada indikasi mungut tidak setor tadi.

Tahun depan kami akan mengklarifikasi ke pengusaha terdampak Covid-19, apakah masih terdampak atau tidak. Ini harus disisir lagi. Jangan diam-diam usahanya sudah bangkit tapi ngakunya terdampak Covid-19. Kan enggak semua keturunan Rasul. Jadi, enggak semua jujur. Kami sisir sifatnya klarifikasi saja.

Kanwil DJP Jatim I banyak mengeluarkan aplikasi dan akhirnya menjadi Kanwil terbaik se-Kemenkeu. Salah satunya e-pantau untuk memantau kinerja account representative (AR) dalam penerbitan imbauan dan tagihan. Mengapa ini perlu dikembangkan?
Itu kami pakai untuk memonitor kinerja KPP, khususnya AR dan Seksi Waskon. Ini untuk melihat produktivitas SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) dan STP (Surat Tagihan Pajak). E-pantau ini dapat diakses baik melalui jaringan kantor maupun melalui internet dan tidak terbatas oleh pegawai kanwil sendiri. Kepala kantor, kepala seksi, dan administrator TIK setiap KPP di lingkungan Kanwil DJP Jatim I juga dapat mengakses.

Apakah akhir-akhir ini juga ada peningkatan penerbitan SP2DK di Jatim I?
Jadi, SP2DK ini kan diawali data. Sebenarnya sih ada atau tidak ada pandemi, menurut saya, tidak seharusnya dikorelasikan karena akar munculnya SP2DK ini adalah data. Tahun ini memang suplai data menurut saya jauh lebih intens dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini tidak harus dikorelasikan dengan pandemi. Data itu mengalir banyak. Dari AEoI dan teman-teman pusat juga menurunkan data ke kami. Jadi. ini tanggung jawab kami untuk mengkonfirmasi.

Ini kesannya banjir SP2DK. Ini memang harus diklarifikasi. Saya selalu menekankan ke pegawai untuk menghadapi wajib pajak sebagai mitra, perlakukan dengan baik dan santun. Bukan dengan cara yang tidak sesuai dengan kode etik sehingga wajib pajak pun merasa nyaman.

Saya bilang ke fiskus saya, kamu harus bayangin bagaimana rasanya menjadi pengusaha. Bagaimana susahnya pengusaha. Kita dari lahir di DJP diajari untuk punya rasa curiga, memang iya. Seperti tadi, tidak semua orang keturunan Rasul. Namun, sisi humanisme harus ada agar SP2DK ini tidak jadi momok.

Kenyataannya, hasil SP2DK itu ada yang mereka bisa klarifikasi. Ada yang ternyata, entah tidak atau sengaja, kewajibannya tidak terpenuhi. Untuk memitigasi ini, penting untuk menunjukkan sisi humanisme kita sebagai pegawai pajak.

SP2DK ini hanya alat. Ini dari sisi wajib pajak sesungguhnya bisa jadi untuk mengklarifikasi bahwa tidak ada masalah. Itu kesempatan klarifikasi. Yang takut SP2DK paling ya mereka yang kewajiban pajaknya belum beres. Kalau yang beres kan ini untuk memastikan secara aspek perpajakan sudah clear. SP2DK ini justru yang paling soft dan tidak ada konsekuensi legalnya.

Dengan self-assessment ini kan sesungguhnya kami memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak. Namun, kalau kepercayaan itu disalahgunakan, kewajiban kami mengingatkan sebetulnya.

Sejak Maret 2020, DJP mencanangkan program pengawasan berbasis kewilayahan melalui KPP Pratama. Bagaimana implementasinya?
Kalau pengawasan berbasis kewilayahan, jujur dalam beberapa rapat koordinasi, hambatannya adalah teman-teman tidak bisa turun ke lapangan. Kami menginginkan ada kegiatan ekstensifikasi yang lebih progresif dan sejujurnya harus turun ke lapangan. Namun, anak-anak tidak kurang akal. Secara umum berjalan baik dengan segala keterbatasan yang melalui media sosial dan internet. Ada beberapa yang turun ke lapangan tapi tidak interaksi langsung. Jadi, hanya pengamatan dari mobil karena interaksi dibatasi.

Saya kira program Pak Dirjen [Pajak] soal itu tepat sekali agar kami tidak begini-begini saja. Kami harus benar-benar paham wilayah kerja dan karakteristik wilayah. Di Surabaya sudah jalan tapi sayangnya pas Covid-19 sehingga belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kami harus turun ke lapangan. Informasi itu tidak bisa hanya dari internet. Secara fisik harus terkonfirmasi di lapangan.

Sesuai dengan PMK 184/2020, Kanwil DJP Jatim I mendapatkan jatah KPP Madya baru. Kapan pembentukannya?
Masih belum. Kami tambah satu KPP Madya tapi hilang satu KPP Pratama. Kayaknya memang tidak mengizinkan tambah satker sehingga harus ada yang dilikuidasi. KPP Pratama Simokerto dilikuidasi. Kami sebelum pembentukan ini sudah kirim kajian ke pusat dan ternyata disetujui.

Cuma ada yang saya usulkan lagi. Di sini, pembagian wilayahnua ada yang enggak pas. Ada yang wajib pajaknya kalau mau ke kantor jadi jauh. Kami ini kan satu kota. Jadi, aslinya lebih mudah untuk menata. Selain likuidasi, sekalian saya usulkan reposisi wilayah kerja. Namun, mungkin dari kantor pusat [minta] satu-satu dulu. Jadi KPP Madya-nya saja dulu. Kajian itu saya bikin dengan semangat untuk mendekatkan pelayanan.

Kemudian, karena kami 1 kota dan ada 2 KPP Madya, saya usul KPP Madya dibedakan dari sisi kelompok usahanya. Kalau yang beda kota mungkin enggak perlu, tapi kalau kami 1 kota sebenarnya kan ya itu-itu juga orang dan wilayahnya. Nanti misalnya industri itu KPP Madya Surabaya Satu, perdagangan di KPP Madya Surabaya Dua. Itu sudah usul tapi ini masih perlu pengaturan lebih lanjut. Ini kami masih menunggu.

Ada berapa wajib pajak yang administrasinya pindah dari KPP Pratama ke KPP Madya? Seperti apa pembagian SDM-nya?
Rencananya 1.500 wajib pajak untuk masing-masing KPP Madya. Jadi, otomatis ada yang naik kelas. Kalau di kami, rasio kebutuhan AR itu secara kuantitatif cukup. Kalau bicara kualitatif kan lebih dalam lagi, kita bicara kompetensi AR.

Dengan tambahan KPP Madya, saya berharap ada tambahan untuk AR yang berkualitas. Pegawai pajak kalau masuk ke Surabaya, dari tempat selain Jakarta, kan semacam promosi. Ini karena Surabaya kota besar. Kalau ditanya jumlah ya relatif, kuantitatif cukup. Kalau kualitatif, karena ini ada KPP Madya baru, ya kami butuh AR yang secara kapabilitas di atas rata-rata. (Kaw/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.