DIREKTUR POTENSI, KEPATUHAN, DAN PENERIMAAN PAJAK DJP YON ARSAL:

‘Enggak Ada Negara yang Punya Zero Tax Gap’

Redaksi DDTCNews
Rabu, 25 Desember 2019 | 10.00 WIB
‘Enggak Ada Negara yang Punya Zero Tax Gap’

Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal.

PERKEMBANGAN digitalisasi di Indonesia telah menstimulus sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menerapkan model bisnis baru yang menunjang efisiensi dan mendekatkan diri dengan pasar. Bersamaan dengan momentum bonus demografi, sektor utama maupun pendukung industri kreatif dan pariwisata juga tidak luput dari perkembangan digitalisasi.

Situasi ini memunculkan peluang bagi DJP untuk mendapatkan penerimaan dari pergerakan sektor-sektor potensial. Bagaimana DJP mengidentifikasi sumber penerimaan pajak baru dari sektor potensial tersebut? Untuk menggali lebih jauh, InsideTax mewawancarai Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal. Berikut kutipannya:

Bagaimana prospek penerimaan 5 tahun ke depan?

Kalau dengan kondisi tax ratio kita yang relatif masih rendah, saya mengharapkan dengan kebijakan ekonomi makro kita beberapa tahun ke depan, target tax ratio dalam artian luas sekitar 13,7%-14%. Itu sudah comparable dengan Malaysia, Thailand, Singapura yang memang sudah di level 14%.

Untuk mencapai itu, ya perlu reformasi, mau tidak mau. Artinya, ada pembaruan sistem administrasi perpajakan serta pembenahan organisasi dan SDM. Hal itu yang memang digagas dalam reformasi perpajakan jilid III. Dalam jangka pendek tentu perlu perubahan di dalam proses bisnis pengawasan dan pelayanan. Pelayanan itu menjadi isu utama bagi kita karena voluntary compliance yang 85% tadi tentu dipengaruhi oleh pelayanan.

Untuk penerimaan hasil usaha tadi, kita kelola melalui berbagai strategi. Salah satu contohnya kita implementasikan CRM [compliance risk management] sebagai salah satu cara mengelola administrasi perpajakan dengan lebih modern. Artinya, dengan sistem IT dan data kita bisa melihat wajib pajak berdasarkan tingkat risikonya.

Apakah bonus demografi juga akan memengaruhi kinerja penerimaan?

Saya pribadi melihat bonus demografi ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Bonusnya dengan kuantitas orang banyak, tetapi kompetensinya bagaimana? Makanya cita-cita Pak Jokowi di dalam visi-misi beliau adalah meningkatkan kapasitas SDM. Saya melihat sudah pasti dampaknya besar karena momentum itu akan meningkatkan kelas menengah Indonesia. Generasi milenial punya peluang dan potensi untuk bekerja di sektor formal yang lebih bagus.

Kalau mereka memilih untuk berusaha, dengan kemampuan intelektualitas yang tinggi, pola bisnis yang mereka lakukan itu jauh lebih formal dibandingkan dengan pola bisnis yang dulu dilakukan orang-orang tua. Contohnya, bikin coffee shop sudah punya struktur manajemen yang rapi. Bagi penerimaan pajak, dengan semakin banyaknya struktur ekonomi yang formal, tentu lebih bagus karena langsung bisa masuk ke sistem. Kalau ekonomi tumbuh, demand-nya tumbuh, suplainya pasti mengikuti. Sepanjang nanti produksinya ada di sini akan bagus. Kalau hanya impor ya bahaya.

Fenomena importasi ini ada kaitannya dengan digitalisasi. Bagaimana Anda melihatnya?

Tidak bisa dimungkiri ekonomi digital sudah hampir ada di semua sektor. Tinggal kita bagaimana menangkap peluang yang ada di sana. Dalam konteks pajak ini bukan masalah di Indonesia saja. Hampir seluruh negara, termasuk negara maju, juga memiliki masalah dengan ekonomi digital karena tidak ada lagi kehadiran fisik. Akibatnya, teori-teori perpajakan yang lama sudah perlu ditinjau ulang.

Nah, ini masih menantang. Makanya, dalam omnibus law kemarin kita akan mulai dari PPN dulu yang memang menjadi pajak domestik. Sementara yang PPh kita menunggu konsensus global. Mudah-mudahan pada 2020 kita bisa dapat konsensus global sehingga kita bisa tahu perlakuan perpajakannya akan seperti apa. Sepanjang konsensus globalnya bisa diperoleh dan disetujui semua pihak, ya mudah-mudahan itu akan menjadi win-win solution.

Bagaimana jika konsensus itu tidak tercapai?

Ya kita enggak diam juga. Artinya, seluruh kajian terkait yang dilakukan orang lain sudah kita lakukan, tapi belum kita luncurkan dalam bentuk kebijakan. Ada timnya yang mengkaji apa yang dilakukan India, Prancis, Australia, Inggris, dan negara lain. Itu sudah dipelajari semua. Kita enggak bisa halangi mereka mau membuka usaha. Namun, yang penting negara itu memperoleh pemajakannya secara adil. Ya kalau memang harus bayar pajak di sini, ya di sini.

Jika melihat komposisi penerimaan per sektor usaha, apakah DJP melihat akan ada keseimbangan baru pada masa mendatang?

Kalau kita lihat brutonya, pertumbuhannya relatif masih mengikuti pola pertumbuhan ekonomi. Mengapa penerimaan sektor industri pengolahan menjadi sangat turun? Ini lebih disebabkan adanya restitusi karena impor mereka tahun lalu besar tapi produksinya tidak terlalu besar tahun ini. Selain itu ada faktor pertambangan dan harga komoditas juga.

Namun, saya melihat belum akan ada pergeseran atau keseimbangan baru penopang penerimaan. Kontribusi per sektor terhadap penerimaan juga tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Saya melihat enggak ada equilibrium baru dalam jangka pendek.

Artinya DJP melihat sektor-sektor itu yang masih akan dominan?

Masih, belum akan geser ke mana-mana.

Saat ini muncul industri kreatif dan pariwisata yang digadang-gadang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Hal ini juga didukung pembiayaan syariah. Apakah ini dilihat DJP?

Pasti. Kaitannya dengan pariwisata, restoran, dan perhotelan, kita di DJP bersama Ditjen Perimbangan Keuangan dan pemerintah daerah (pemda) sudah bekerja sama. Kita sudah punya perjanjian kerja sama (PKS). Tujuannya untuk mengoptimalkan penerimaan dari pemda terkait dengan sektor-sektor industri kreatif. Itu kan lebih banyak menjadi domain pemda, tapi kami juga concern ke sana. Mengapa? Contohnya, kalaupun kita enggak pungut Airbnb, kita bisa dekati yang punya asetnya. Itu kan yang tahu pemdanya. Kita dapat PPh-nya.

Bagaimana DJP menggali potensi penerimaan, terlebih di era transparansi dengan banyaknya data yang diterima?

Kita menggunakan pendekatan makro dan pendekatan mikro. Kita juga sudah punya juga modelling tax gap. Data pihak ketiga, ILAP [instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya], kita gunakan untuk menjembatani antara pendekatan makro dan pendekatan mikro. Itu pun tidak selamanya klop. Contohnya, sektor A bermasalah, tax gap-nya tinggi. Kan harus diterjemahkan lagi, di mana orangnya dan sebagainya.

Bagian yang krusial itu data mikronya ada atau tidak. Ketika tahu sektor ini bermasalah, kita cari sumber datanya. Belum tentu juga pihak ketiga itu memiliki data sesuai yang kita mau. Kalau ada, kita sambungkan dan analisis. Baru terlihat ada gap-nya atau tidak. Ini prosesnya repetitif. 

Apakah sektor yang selama ini menjadi penyumbang terbesar juga masih ada tax gap-nya?

Pasti ada, perlu diingat, enggak ada negara di dunia ini yang tax gap-nya zero.

Artinya, apakah bisa dikatakan ketika penerimaan tinggi belum tentu tax gap-nya rendah?

Ya, belum tentu. Namun, dalam sektor tersebut ada subsektor. Jadi, semisal tax gap sektor A rendah, tidak seluruh subsektornya rendah. Kalau kita lihat dalam satu sektor ini ada satu subsektor yang bermasalah. Ada juga satu sektor yang secara agregat tax gap-nya tinggi, tapi kita lihat subsektornya ternyata enggak.

Simak wawancara Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.