DIRJEN BEA DAN CUKAI HERU PAMBUDI:

‘Kami Berharap Indonesia Punya Cetak Biru Tarif Cukai’

Redaksi DDTCNews
Kamis, 19 Desember 2019 | 11.45 WIB
‘Kami Berharap Indonesia Punya Cetak Biru Tarif Cukai’

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi. 

TINGKAT prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia selama 2013-2018 tercatat meningkat lebih dari 34%. Peningkatan prevalensi tersebut diakibatkan perubahan gaya hidup. Dalam konteks ini, otoritas fiskal telah menggunakan instrumen cukai sebagai salah satu upaya untuk mengurangi eksternalitas negatif.

InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi terkait dengan kebijakan cukai. Selain itu, InsideTax juga mencari tahu prospek penggunaan instrumen bea masuk dan bea keluar dalam kaitannya dengan isu proteksionisme dan daya saing. Berikut kutipannya.

Bagaimana efektivitas pemberlakukan cukai dalam mengurangi eksternalitas negatif selama ini?

Cukai pada dasarnya adalah fungsi pengendalian, terutama atas eksternalitas negatifnya. Menurut Sirkesnas 2016, prevalensi merokok laki-laki dewasa nasional turun hingga 32%, sedangkan versi Nielsen tahun 2017 perokok laki-laki dewasa turun menjadi 50,8%.

Apakah kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dengan rerata tertimbang 23% untuk tahun depan sudah ideal?

Kebijakan penyesuaian tarif CHT, berapapun besarannya, selalu mempertimbangkan banyak faktor. Faktor pertama adalah fungsi cukai yang merupakan instrumen pemerintah dalam pengendalian konsumsi. Fungsi itu erat kaitannya dan sejalan dengan tugas pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakatnya.

Faktor kedua adalah berkaitan dengan fungsi budgeter penerimaan. Hal ini juga diperkuat dengan upaya pemberantasan rokok ilegal sehingga diharapkan penerimaan yang dihasilkan lebih optimal. Namun, pemerintah juga memperhatikan kinerja industri rokok maupun keberlangsungan tenaga kerja, terutama industri padat karya, industri kecil, baik buruh dan petani.

Apa yang membuat rencana simplifikasi tarif urung dilakukan?  

Kami itu sebetulnya merindukan biar setiap tahun tidak perlu sakit perut terkait tarif cukai, terutama rokok. Kami ingin kebijakan tarif itu sudah dipahami oleh semua secara transparan dan berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan dalam 5-10 tahun ke depan sudah bisa diprediksi. Mungkin tidak sampai kepada nominal, tapi arah kebijakan sudah bisa kita sepakati.

Begitupun dengan turunan dari tarif yang juga bisa mengarah ke sana [bisa diprediksi]. Ini karena kalau cerita soal tarif itu akan meluas ke mana-mana. Hal ini bukan hanya jadi kerinduan kami melainkan juga pemerhati dari sisi kesehatan. Kemudian, industri juga sudah jelas karena mereka harus punya gambaran bagaimana prospek bisnisnya. Jadi, kami sangat berharap Indonesia memiliki cetak biru mengenai tarif cukai.

Untuk bisa dapat cetak biru tadi, tentu harus melalui kesepakatan yang kira-kira dimensinya akan melibatkan industri yang di belakangnya ada petani tembakau. Kemudian, ada dari sisi kesehatan dan pelaku usaha dari industri rokok itu sendiri. Kalau arah kebijakan sudah diputuskan maka tugas kita masing-masing menjadi lebih mudah. Contoh, dari sisi kami itu terkait pengendalian rokok ilegal. Untuk ini pasti akan berkaitan dengan sisi kesehatan juga dan kita sudah berkomunikasi dengan WHO [World Health Organization] terkait kebijakan tarif cukai di Indonesia.

Bagaimana respons WHO?

Saya amati, WHO ini hanya fokus kepada dua varibel saja, yaitu tarif dan penerimaan. Dari situ, saya paparkan bahwa porsi tarif tidak semata-mata didasarkan kepada pertimbangan penerimaan. Seharusnya WHO bisa jadikan Indonesia sebagai tempat pembelajaran dan bisa di-share kepada negara lain yang punya karekteristik sama. Karakteristik itu terkait wilayah sebaran luas, banyak pulau, bervariasi jenis rokoknya, dan size pasarnya besar.

Dengan karakteristik tersebut, kita tidak bisa menggunakan doktrin yang sama dengan WHO yang mirip dengan negara maju dan dengan diskusi yang lama. Jadi, kita harus hati-hati dalam menentukan tarif karena kalau keliru akan berdampak negatif. Ukuran WHO itu berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap. Padahal, seharusnya melihat juga apakah rokok yang dihisap itu legal atau ilegal. Kedua hal itu harus dihitung sehingga tidak bisa berdasarkan registrasi rokok yang ada di pemerintah.

Ini karena kesehatan itu tidak membedakan apakah rokok yang dihisap ada pita cukai atau tidak. Oleh karena itu, kami sampaikan bahwa pengalaman Indonesia yang kombinasi antara intrumen tarif dan layering yang tepat. Saya tekankan bahwa kondisi layer rokok saat ini paling tepat, tapi bahwa menjadikan Indonesia persis seperti negara lain yang menggunakan satu tarif itu juga, menurut saya, tidak tepat. Jadi kombinasi tarif, layer, dan enforcement.

Apa ada rencana barang kena cukai baru selain plastik?

Kalau kami masih melihat dengan pembahasan terakhir di Komisi XI DPR, prosesnya masih kami lakukan terus untuk penambahan barang kena cukai (BKC) untuk kantong plastik.  Kalau berkaca negara lain kan ada beberapa kebijakan, misalnya di Thailand itu spa kena cukai. Ada pula emisi gas buang dan minuman mengandung pemanis.

Pada dasarnya, dalam menentukan suatu barang sebagai BKC, pemerintah mendasarkan pada Undang-Undang (UU) No.39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai sebagai acuan atau fokus pertimbangannya. Dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu.

Adapun sifat atau karakteristik tersebut antara lain konsumsi perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Bagaimana prospek penggunaan instrumen bea masuk dan bea keluar di masa depan?

Sebagai informasi, pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atas impor tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam mengamankan industri dalam negeri sekaligus mendorong penggunaan produk dari pasar domestik. Prospek penggunaan instrumen bea masuk dan bea keluar saat ini atau di masa depan mutlak menjadi domain pimpinan.

Namun demikian, baik bea masuk maupun bea keluar, masing-masing memiliki peran atau fungsi sebagai regulerend dan budgeter. Fungsi regulerend menjadikan bea masuk dan bea keluar sebagai alat kebijakan pemerintah dalam melindungi kepentingan ekonomi dan industri dalam negeri. Bahkan, pengenaan bea keluar pada beberapa komoditas, biasanya hasil alam, dimaksudkan sebagai perlindungan atas keberlangsungan sumber daya alam itu.

Sementara, fungsi budgeter menjadikan bea masuk dan bea keluar sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Tidak dimungkiri, keduanya mempunyai potensi penerimaan yang signifikan dalam membiayai APBN, bahkan target yang diberikan selalu naik setiap tahunnya. Dengan demikian, apabila pemerintah masih memandang perlu kedua fungsi bea masuk dan bea keluar tersebut maka kemungkinan penggunaan keduanya masih akan dilanjutkan.

Apakah bea masuk dan bea keluar efektif memproteksi ekonomi?

Penggunaan keduanya bisa dikatakan cukup efektif. Terbukti dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih tumbuh positif dari tahun ke tahun meskipun menghadapi masalah baik eksternal maupun domestik.

Penerimaan bea masuk dan bea keluar masih tertekan. Apa penyebabnya?

Kinerja penerimaan bea masuk dan bea keluar sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal. Faktor eksternal dimaksud antara lain, kondisi geopolitik hingga perekonomian global. Kondisi tersebut diperkirakan masih menekan volume perdagangan. Fluktuasi harga komoditas di pasar internasional juga akan berimbas pada perlambatan kinerja ekspor dan impor nasional.

Sementara itu, faktor internal yang turut mempengaruhi adalah kontraksi aktivitas ekspor dan impor, serta risiko menurunnya pasokan komoditas ekspor mineral tambang akibat kebijakan relokasi situs eksplorasi. Hingga akhir Oktober 2019 kinerja penerimaan bea masuk dan bea keluar masih tertekan -6,25% dan -49,62%. Mengingat faktor fundamental yang mempengaruhi keduanya diperkirakan masih berlanjut hingga akhir 2019 maka kemungkinan capaiannya di bawah kinerja yang diharapkan.

Simak wawancara Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.