Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting.
KOMISI Yudisial (KY) punya peran penting dalam menjamin kemandirian kehakiman dan peradilan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tugas KY untuk melakukan pengawasan terhadap badan peradilan dan hakim. Namun, kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh KY selama ini sulit menyentuh Pengadilan Pajak yang secara administratif berada di bawah atap Kementerian Keuangan.
Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak beralih ke Mahkamah Agung (MA). Peralihan dilakukan secara bertahap selambat-lambatnya pada akhir 2026.
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting menilai Putusan MK tentang Pengadilan Pajak sejatinya tidak mengejutkan. Apalagi sistem satu atap sendiri sudah dibangun sejak 2000 silam.
Namun, ada sejumlah tantangan lain yang bakal dihadapi KY dalam mendukung penegakan hukum di bidang perpajakan. Seperti apa? DDTCNews berkesempatan berbincang dengan Miko mengenai berbagai isu tentang penegakan hukum, khususnya di bidang pajak, yang dihadapi oleh Komisi Yudisial. Berikut kutipannya:
Apa saja yang telah dilakukan oleh KY dalam melaksanakan kewenangannya?
Wewenang ini banyak turunannya, termasuk pengawasan. Mungkin yang terpopuler adalah pengawasan terhadap etik dan perilaku hakim. Kalau diperinci, ada banyak cara untuk melakukan pengawasan. Ada yang berasal dari laporan masyarakat, ada juga dari pemantauan persidangan untuk menjaga kehormatan hakim. Meski bahasanya ' menjaga kehormatan hakim', arahnya adalah menjaga kemandirian peradilan.
Ada pula kewenangan lain, seperti peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Kita lakukan training-training. Setiap tahun ada sekitar 600 hakim yang dilatih. Pelatihannya mencakup kode etik, ada juga pelatihan tematik. Misalnya, perpajakan. Nanti suatu waktu bisa juga dilakukan pelatihan untuk hukuman.
Kemudian untuk aspek kesejahteraan, banyak yang kita lakukan. Salah satunya, dulu pada 2012 kita dorong PP 94/2012. Itu PP pertama yang memuat hak-hak hakim. Beleid itu menuai banyak kritik, tetapi ada banyak hak hakim yang diatur di situ, seperti hak kesehatan, hak pensiun, hak jaminan keamanan, dan sebagainya.
Selanjutnya, KY juga menjaga keluhuran martabat hakim dari perbuatan merendahkan kehormatan hakim. Ini yang kita sebut sebagai advokasi hakim. Kalau pengawasan lebih kepada kode etik, advokasi hakim lebih untuk menjaga hakim dari ancaman, dari intimidasi, dari penghinaan.
Kita juga bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi untuk membuat klinik etik dan advokasi.
Jadi itu beberapa tugas yang dilaksanakan oleh KY selain tugas-tugas suportif lain yang tidak diatur di undang-undang. Misalnya, memberikan rekomendasi yang selalu dikaitkan dengan tugas pokok kita. Sebagai contoh, ada rekomendasi untuk perumahan hakim. Kita kaitkan dengan pengupayaan peningkatan kesejahteraan hakim.
Artinya tugas-tugas KY tidak terbatas pada yang dibunyikan di Undang-undang saja?
Iya. Tetapi, tujuannya adalah menjaga kemandirian hakim. Mandiri ada dua, yakni independence from dan independence to. Jadi merdeka dari intervensi dan merdeka untuk melakukan, memberikan putusan seadil-adilnya. Kemandiran peradilan itu kan basis. Dia jadi fondasi bagi hakim untuk memeriksa secara adil hanya berdasarkan hukum, hanya berdasarkan penalaran yang wajar, hanya berdasarkan keadilan.
Saya pikir perlu ada assessment yang komprehensif yang menilai apakah peradilan dan hakim di Indonesia itu independen atau tidak. Sayangnya, kita sampai sekarang tidak punya acuan untuk itu.
Salah satu cara untuk mewujudkan independensi hakim adalah dengan memastikan rekrutmennya berjalan optimal. Apakah ada upaya memperketat proses rekrutmen calon hakim?
Kalau rekrutmen, kita melakukan banyak perubahan. Sistemnya pun terus-menerus diuji. Karena enggak ada sistem yang tidak punya umur. Sistem itu punya umur, makanya diuji lagi, diuji lagi. Salah satu bagian dari asesmen yang kita benahi adalah keterlibatan masyarakat.
Bagaimana kita menunjukkan partisipasi ini? Mulai 2021, publik itu diberikan kesempatan, hadir secara langsung atau virtual dalam proses wawancara. Terbuka.
Tadinya kita merasa bahwa partisipasi itu cukup hanya memberikan masukan ya soal penelusuran rekam jejak. Pada perkembangannya kita merasa bahwa partisipasi itu enggak hanya dalam memberikan masukan secara tertulis, tetapi juga dalam konteks verbal.
Soal hakim agung pajak, selama ini pendaftarnya tidak terlalu banyak. Ketika diseleksi pun mental semua. Apa tantangan rekrutmen hakim agung kamar TUN khusus pajak?
Mahkamah Agung (MA) sudah cukup kritis dalam hal perkara pajak. Kritis itu dalam artian perkaranya banyak, sekitar 4.000-an tetapi hakimnya itu sedikit sekali sehingga yang diperbantukan adalah hakim-hakim dari kamar TUN yang berbeda sekali.
Bahkan yang saya dengar juga tidak hanya dari kamar TUN, tetapi kamar-kamar lain juga diperbantukan pada akhirnya untuk menangani pajak. Nah, ada hak pencari keadilan juga yang harus dijamin ya.
Kita berhadapan dengan jumlah pendaftar yang minim sekali. Minimnya jumlah pendaftar ini itu mungkin banyak faktor, tetapi faktor yang paling utama itu menurut saya prasyarat. Prasyarat di undang-undang itu mengasumsikan hanya dua hakim, yakni hakim karier dan hakim non-karier, tetapi dia tidak mengasumsikan ada hakim-hakim yang punya spesifikasi khusus, contohnya hakim TUN khusus pajak.
Spesifikasi khusus itu hanya dilihat dalam konteks perkara-perkara khusus seperti tindak pidana korupsi, hubungan industrial, dan HAM, yang diterjemahkan lewat hakim ad hoc di MA. Jadi, ini memang ada formulasi undang-undang yang perlu diubah menurut saya.
Lebih detail lagi, undang-undang itu kan menempatkan bahwa calon hakim agung itu harus punya dasar sarjana hukum. Ini memberatkan karena memang kebanyakan yang potensial itu enggak sarjana hukum. Studi S2 saja bisa hukum tetapi studi S1-nya itu ekonomi.
Sejak saya 2021 masuk sudah 3 kali seleksi ya dan 3 kali seleksi itu sulit sekali. Calon potensial itu belum tentu mendaftar ya karena persyaratan itu dia yakin bahwa kalau saya daftar pasti akan ditolak di administrasi. Kan administrasi itu check list. Wah, enggak sarjana hukum langsung disilang.
Kemudian, seleksinya memang ketat. Ada yang sudah mendaftar, sudah yakin, tetapi tidak lolos. Sekalipun dibutuhkan 2 kuota hakim agung kamar TUN khusus pajak, kita tidak mau memaksakan terpenuhinya kuota.
Kita tidak mau ambil risiko mengirim orang-orang yang tidak teruji integritas dan kualitas ke DPR, dan kemudian terpilih, lalu di belakang ada masalah. Itu tanggung jawab terlalu berat bagi KY gitu. Jadi, problem itu ya mulai dari prasyarat untuk masuk, kemudian juga sampai ke seleksinya juga memang sangat ketat.
Semua pihak telah mengamini bahwa prasyarat S1 hukum adalah masalah. Apakah KY bersama lembaga lain membuka diskusi untuk mengubah Undang-undang?
Dikomunikasikan tentu ya, dengan DPR. Kalau KY mendesak terlalu kencang juga enggak pas ya, karena pembentuk undang-undang adalah pemerintah dan DPR. Bahwa isu itu, persoalan itu sudah disampaikan ke pembentuk undang-undang, itu sudah.
Kemudian, ruang yang tersedia untuk calon hakim agung khusus pajak ada karir atau non-karier. Kalau dari Pengadilan Pajak dia jadi karier, karena syaratnya lebih memudahkan. Persyaratan itu lebih mudah kalau dibandingkan dengan non-karier kan harus doktor dan segala macam.
Bagaimana KY memastikan keamanan pihak yang mengadu? Adakah perlindungan yang diberikan untuk pengadu-pengadu sendiri? Khususnya dalam konteks pajak karena kasus pajak itu sengketa bisa berulang.
Kita tidak punya mekanisme konfrontasi. Jadi pelapor dengan terlapor itu tidak perlu dipertemukan. Bahkan dalam skema pemeriksaan KY, terlapor ditempatkan di akhir. Kenapa ditempatkan di akhir? Supaya semua bukti dan informasi itu terkumpul, dari saksi, dari pelapor gitu kan, baru kemudian kita verifikasi kepada terlapor. Jadi ini seperti forum pembelaan diri.
Dia membantah dengan bukti yang begini. Kita lihat buktinya berimbang enggak? Kalau enggak sama kuatnya, ya enggak bisa, enggak diterima. Itu yang jadi poin, jadi enggak ada soal konfrontasi antara pelapor dan terlapor.
Cuma yang menarik, laporan-laporan yang masuk ke KY terkait dengan perkara pajak itu kebanyakan kan Ditjen Pajak (DJP). Dari wajib pajaknya sendiri justru tidak. Perkara pajak ini kan ada 2, perkara pajak yang masuk dan ditangani oleh pengadilan pajak, ada juga perkara-perkara pajak yang ditangani oleh pengadilan umum, baik pidana maupun TUN. Tetapi kebanyakan DJP yang melakukan pelaporan.
Baru-baru ini di MK baru keluar putusan terkait dengan penerapan one roof system di Pengadilan Pajak. Kalau dari KY sendiri melihat keputusan MK ini bagaimana? Apakah UU Pengadilan Pajak perlu direvisi?
Putusan MK ini tidak mengejutkan karena itu konsekuensi dari sistem satu atap. Justru praktiknya selama ini anomali, ketika satu atap sudah dibangun dari tahun awal 2000, tetapi masih yang tersisa nih di Pengadilan Pajak. Makanya disebut kuasi yudisial di beberapa literatur. Jadi ini konsekuensi dari sistem satu atap yang sudah dibangun.
Nah, cuma memang gini, yang dilupakan dari sistem satu atap itu kan persoalannya lebih banyak soal administrasi dan keuangan. Yang luput diperbincangkan adalah ketika satu atap dijalankan sepenuhnya, aspek pengawasannya seperti apa?
Selama ini kendala yang dihadapi KY serupa dengan Kemenkeu. Ketika diduga ada pelanggaran etik oleh hakim Pengadilan Pajak, Kemenkeu akan berpikir, ini pegawainya siapa sih sebenarnya? Dia kan hakim. Bagi Kemenkeu mereka ini PNS, tetapi fungsinya hakim. Bisa enggak kita mengawasi? Itu pertanyaan yang muncul dari Irjen Kemenkeu. Nah di KY juga demikian. Kita mau mengawasi, dia hakim, tetapi secara kepegawaian ada di Kemenkeu.
Selama ini seleksi hakim di Pengadilan Pajak digelar oleh Kemenkeu dan MA. Apakah KY terlibat dalam proses seleksi ini?
Untuk seleksi hakim Pengadilan Pajak tingkat pertama, kami tidak pernah terlibat. Dalam RUU KY kita usulkan bukan sebagai rekruiter, tetapi kita meminta untuk porsi terkait dengan kepatuhan terhadap kode etik. Jadi dia diangkat dulu jadi PNS, lalu dia jadi pegawai magang di pengadilan selama 2 tahun, ikut tes, lalu jadi hakim.
Selama jadi PNS itu ada program mentoring. Itu terstruktur. Kita mau masuk di situ. Jadi bukan di awal dan bukan juga ketika jadi hakim.
Dalam RUU kan pengawasannya bukan hanya hakim ya? Tetapi juga aparatur di pengadilan?
Nah, itu masih ada perdebatan. Di konstitusi memang disebutkan hakim: menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Yang kita masukkan dalam RUU itu adalah aparatur-aparatur pengadilan yang ada kaitan eratnya dengan perbuatan etik, pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim.
Panitera misalnya, dia enggak lepas dari perbuatan etik dan pelanggar netik yang dilakukan oleh hakim. Apakah nantinya kita bisa mengeksekusi? Tidak, kita rekomendasikan kepada pengawas kepegawaiannya MA, kita merekomendasikan bahwa panitera-panitera ini memiliki indikasi pelanggaran etik dari pemeriksaan yang dilakukan KY terhadap hakim. bebas-bebas aja.
Dalam RUU ini, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh KY?
Kita paham ini memasuki tahun politik. Jadi sebisa mungkin memang pembacaan terhadap situasi politik itu juga dilakukan di KY. Tetapi, pada akhirnya sudah masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas dan prosesnya sudah di DPR. Jadi kita berusaha untuk, pertama, membaca situasi politiknya. Kedua, kita men-supply bahan-bahan yang tujuannya untuk penguatan KY. Nah ada 2 kotak, penguatan kelembagaan dan penguatan kewenangan.
Lalu soal penyadapan. Kita punya kewenangan penyadapan sekarang. Untuk melakukan penyadapan, kita meminta bantuan aparatur penegak hukum. Nah, sampai sekarang undang-undang penyadapan masih dibahas di DPR. Jadi ya itu juga kita jadikan catatan.
KY sekarang ini punya kewenangan penyadapan tetapi tidak bisa dilaksanakan karena norma hukum acaranya memang belum ada. Nah kita harus menunggu memang undang-undang penyadapan yang yang sedang dibahas di DPR. Dalam konteks privasi saya setuju-setuju saja ya bahwa itu penghormatan terhadap hak asasi manusia juga. (sap)