Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso.
MENJELANG akhir 2018, pemerintah makin gencar mengeluarkan berbagai insentif dengan alasan untuk meningkatkan daya saing perekonomian. Jebloknya performa neraca transaksi berjalan, yang berpengaruh juga pada neraca pembayaran Indonesia, menjadi titik pijak pemerintah dalam menyusun insentif.
Meskipun sempat menyisakan polemik, pemerintah akhirnya mengeluarkan paket kebijakan ekonomi XVI. Dalam paket kebijakan kali ini, pemerintah menyodorkan perluasan tax holiday, relaksasi daftar negatif investasi (DNI), dan kewajiban penyimpanan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) di dalam negeri.
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso untuk mencari tahu pertimbangan langkah pemerintah memunculkan berbagai insentif tersebut. Berikut kutipannya:
Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia saat ini?
Potret besarnya indikator makro ekonomi kita bagus, tapi kita mengalami dua defisit yakni transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dan defisit neraca perdagangan. Dalam rangka menyelesaikan masalah itu kita mulai dari neraca pembayaran Indonesia. Itu isinya neraca barang dan jasa serta neraca transaksi modal dan finansial.
Kondisi yang ada adalah transaksi berjalan kita memang beberapa kali mengalami defisit, tetapi transaksi modal dan finansialnya itu surplus. Nah, pada 2018, CAD itu meningkat ketika surplus transaksi modal dan finansial menurun. Dengan demikian, kita perlu segera mendorong adanya investasi langsung yang masuk untuk membantu transaksi modal dan finansial. Ketika surplusnya meningkat, CAD bisa ditutup. Kira-kira ilustrasi sederhananya seperti itu.
Apakah kondisi ini yang melatarbelakangi upaya jangka pendek dan menengah?
Iya, karena itu rangkaian kebijakan yang kita lakukan di jangka pendek lebih banyak untuk menarik investasi langsung. Kalau investasi langsung sudah masuk, confidence di market akan terbangun. Kondisi ini pada gilirannya juga akan mendorong investasi portfolio.
Dalam jangka menengah, jika ada investasi dan pergerakan sektor riil, neraca barang dan jasa akan terbantu. Hal ini akan berpengaruh positif pada neraca transaksi berjalan. Sebetulnya, plot kebijakan pemerintah itu ingin menyegerakan karena momentumnya di November ini.
Seperti apa langkah yang diambil di masa mendatang?
Selain tiga paket kebijakan untuk merespons momentum yang tepat, kita juga memikirkan respons terhadap efek perang dagang. Ini ada positifnya. Kita hitung menjadi second round effect perang dagang, jika industri Tiongkok tidak bisa melakukan ekspor ke Amerika Serikat. Mereka [industri Tiongkok] akan berpikir untuk memindahkan atau merelokasi industrinya.
Artinya, pemerintah akan mengambil peluang dari perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat?
Ketidakpastian ini kan sudah berlangsung sekian bulan. Hitungan kami, mereka menunggu momentum [pertemuan] G20. Kalau setelah [pertemuan] G20 ini nanti tetap saja berlanjut keributannya, maka mereka harus memutuskan. Nah, di sini kita melakukan antisipasi. Ketika mereka memutuskan untuk relokasi industri, maka kita harus siap menarik investasi itu.
Bukankah banyak negara, terutama di ASEAN, yang berpikiran sama?
Ya, kita akan bersaing dengan banyak negara, terutama betapa agresifnya Thailand, Vietnam, dan India. Ini dipengaruhi karena ada analisis bahwa lebih bagus investasi di negara emerging market ketimbang di Amerika Serikat, meskipun ekonominya lebih baik. Kami saat ini ada di list kesekian dan kita ingin merespons itu. Kita sedang pikirkan kebijakannya.
Kita melihat sudah ada momentum. Bank Indonesia pun sudah merespons dari sisi moneternya dengan menaikkan suku bunga. Hitungan kami, dengan kenaikan suku bunga masih belum optimal untuk meningkatkan investasi masuk. Instrumen BI itu mungkin efektif untuk menahan outflow tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, kami mengeluarkan paket kebijakan ekonomi XVI.
Dengan paket kebijakan ekonomi XVI, apa yang sebenarnya ingin dibidik pemerintah?
Sebenarnya, mulai dari relaksasi daftar negatif investasi (DNI) dan tax holiday itu kan lebih banyak untuk menarik investasi langsung. Momentumnya pas sekarang ini karena di awal November itu inflow dana mulai ada. Sejak awal tahun sampai Oktober kemarin kan banyak outflow. Nah, sekarang ini mulai ada inflow. Kemudian, rupiah juga mulai menguat, market mulai confident. Morgan Stanley bilang investasi yang paling bagus salah satunya di Indonesia.
Nah, itu yang ingin kita segera tarik semua. Sehingga dalam jangka pendek ini kita ingin mendorong investasi langsung masuk banyak, sekaligus membangun agar market lebih percaya diri dan optimistis dengan ekonomi kita. Dengan demikian, dalam jangka menengah akan berpengaruh juga pada upaya menyelesaikan permasalahan defisit transksi berjalan. Lagi-lagi, sasaran problem kita saat ini defisit transaksi berjalan yang meningkat di tengah penurunan surplus transaksi modal dan finansial.
Terkait dengan revisi tax holiday, apa yang sebenarnya melatarbelakanginya?
Kita sudah melalukan benchmark dengan negara lain terkait tax holiday. Ada negara yang memberikan sampai 15-20 tahun. Negara lain lebih jauh membuka investasi asing dalam berbagai bidang usaha. Salah satu negara yang sangat agresif adalah Vietnam. Berpijak dari kondisi ini, kita juga ingin memberikan insentif fiskal dalam berbagai layer, tax holiday, mini tax holiday, dan insentif fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kami ingin menjaring semua layer investasi.
Tax holiday dalam PMK 150/2018 sebenarnya revisi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2018 (PMK 35/2018). Kita melakukan perluasan sektor yang dapat memanfaatkan tax holiday dari 17 sektor usaha menjadi 18 sektor usaha. Ada penambahan dua sektor usaha, tapi ada pula dua penggabungan.
Dalam PMK 150/2018, kami menegaskan kembali tujuannya untuk meningkatkan investasi melalui perluasan cakupan sektor usaha. Penanaman modal baru baik untuk usaha baru maupun perluasan usaha dapat menikmati fasilitas tax holiday asalkan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dan nilai investasinya memenuhi persyaratan. Kita juga mendesain regulasi ini untu mendorong kecepatan dan kemudahan dalam proses pengajuan.
Simak wawancara Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini. (kaw)