Profesional DDTC berfoto bersama Prof. Dr. Alfred Storck dan Dr. Raffaele Petruzzi di sela-sela program.
PEMBAHASAN mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) selalu menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam setiap perbincangan terkait pajak internasional. Hal tersebut karena BUT sangat berkaitan erat dengan hak pemajakan negara sumber penghasilan atas suatu transaksi lintas batas negara.
Bagaimanapun, negara sumber penghasilan – yang umumnya merupakan negara pengimpor modal dan negara berkembang – tentu tidak ingin kehilangan potensi penerimaan pajak atas penghasilan yang dibawa ke negara pengekspor modal. Aspek terkait BUT yang menarik dibahas terkait dengan definisi BUT dan atribusi penghasilan BUT tersebut di negara sumber.
Diskusi atas kedua aspek tersebut juga menjadi materi yang dikupas dalam WU—TA Advanced Transfer Pricing Programme pada tanggal 30 September – 3 Oktober 2019 di Singapura. Penulis, Senior Specialist of Tax Compliance & Litigation Services DDTC Riyhan Juli Asyir, menjadi salah satu dari 7 profesional DDTC yang mengikuti program tersebut.
Adapun hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai kritik India terhadap atribusi laba usaha BUT berdasarkan Authorized OECD Approach (AOA). Materi mengenai diskusi ini dibawakan oleh Prof. Alfred Storck (WU Vienna) dan T. P. Ostwal pada hari pertama dan keempat.
Konsep Dasar
Sebelum membahas mengenai posisi India terhadap AOA, perlu kiranya memahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar atribusi laba usaha BUT dan AOA. Mengutip Darussalam (2016), terdapat dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam menentukan laba usaha dari BUT, yaitu pendekatan entitas yang terpisah, dan pendekatan usaha yang relevan.
Dalam pendekatan usaha yang relevan, perusahaan dianggap sebagai titik pangkal permulaan secara keseluruhan. Di sisi lain, pendekatan entitas yang terpisah dimulai dengan melihat BUT-nya. Dari kedua pendekatan tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) akhirnya memutuskan bahwa pendekatan yang diadopsi adalah pendekatan entitas yang terpisah.
Pendekatan tersebut diperjelas dengan rumusan entitas yang terpisah secara fungsional dalam Pasal 7 OECD Model Tax Convention (MTC) 2010 atau dikenal dengan AOA.
Dalam pendekatan AOA, transaksi antara kantor pusat dan BUT harus dianalisis berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha seperti yang diterapkan dalam konteks transfer pricing. Sementara itu, United Nations (UN) memilih pendekatan usaha yang relevan dan tidak mengubah pendekatan tersebut sampai dengan revisi terakhir model konvensinya pada 2017.
Sejatinya opsi pendekatan dalam menentukan laba usaha dari BUT antara OECD dan UN mewakili kepentingan golongan negara yang berbeda. OECD lebih mewakili kepentingan negara-negara maju yang mengedepankan residence principle sebagai negara pengekspor modal/teknologi. UN lebih mewakili kepentingan negara-negara berkembang dengan source principle sebagai negara pengimpor modal/teknologi (Reimer, 2018).
Oleh karena itu, konsep pendekatan atribusi laba AOA yang dirumuskan OECD ternyata lebih cenderung menguntungkan negara-negara pengekspor modal dan teknologi. Hal ini mengingat atribusi laba usaha berbasiskan fungsi, aset, dan risiko (FAR) dengan mengabaikan kontribusi faktor sisi permintaan seperti akses ke pasar, dan sebagainy yang berasal dari negara sumber penghasilan (Vasal, 2019).
Padahal, di dalam standar akuntansi yang diaplikasikan secara umum sangat mustahil mengabaikan unsur penjualan dalam menentukan laba usaha. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa AOA menggunakan analisis FAR sebagai basis atribusi laba usaha BUT.
Dalam konteks ini, basis kontribusi pemajakan terhadap laba usaha hanya mempertimbangkan faktor-faktor sisi penawaran (supply side factors) dengan mengabaikan kontribusi faktor-faktor sisi permintaan (demand side factors), serta menghilangkan opsi untuk menentukan laba usaha yang dapat diatribusikan dengan cara ‘apportionment’ sebagaimana yang diperkenankan dalam OECD MTC sebelum 2010 dan UN MTC.
Sikap India
India’s Central Board of Direct Taxes (CBDT) telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap revisi Pasal 7 OECD MTC (AOA). Langkah tersebut ditempuh dengan menggunakan haknya untuk tidak memasukan ketentuan tersebut di dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan mendokumentasikan penolakan terhadap pendekatan tersebut pada 18 April 2019 dengan menerbitkan laporan berjudul ‘Proposal for Amendment of Rules for Profit Attribution to Permanent Establishment’. Laporan itu berupa Public Consultation Paper terhadap revisi ketentuan atribusi laba usaha BUT.
India berpandangan proses atribusi laba usaha BUT dengan menggunakan analisis FAR telah meniadakan peran faktor sisi permintaan dalam profitabilitas. Oleh karena itu, Komite CBDT mengusulkan tiga faktor baru dalam metode pembagian untuk atribusi laba usaha BUT di India dengan memberikan bobot yang sama untuk penjualan (sales), tenaga kerja (manpower), dan aset (asset).
Dalam kasus bisnis digital (significant economic presence/SEP), faktor pengguna (users) ditambahkan dengan bobot spesifik tergantung tingkat digitalisasinya. Dengan kata lain, unsur pasar (market) sebagai kunci pembagian atribusi laba usaha BUT diperkenalkan dan diusulkan oleh India untuk diterapkan. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan India bermaksud mengimplementasikan alokasi berdasarkan FARM (Function, Asset, Risk, and Market) (Chand dan Das, 2018).
Pada prinsipnya, Komite CBDT mempertimbangkan faktor-faktor sisi permintaan dan penawaran secara seimbang daripada hanya menggantungkan alokasi atribusi laba usaha hanya berdasarkan analisis FAR. Menurut Komite CBDT, terdapat 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam atribusi laba usaha BUT.
Ketiga pendekatan itu adalah pertama, murni pendekatan sisi penawaran (contohnya AOA). Kedua, murni pendekaan sisi permintaan. Ketiga, pendekatan campuran. Komite CBDT mengambil kesimpulan berdasarkan analisis terhadap praktik internasional bahwa pendekatan campuran adalah yang paling umum diikuti.
Adapun proposal yang disampaikan Komite CBDT adalah dengan pendekatan pembagian fraksional (fractional apportionment approach). Pendekatan ini sebagai modifikasi dari formulary apportionment yang secara praktik tidak bisa diterapkan karena sulitnya memperoleh perincian terkait dengan operasional perusahaan di yurisdiksi lain.
Pemilihan pendekatan ini, menurut Komite CBDT, telah mempertimbangkan panduan OECD dan UN MTC, praktik terbaik internasional (international best practices), preseden hukum, serta data yang dikumpulkan di lapangan.
Pendekatan pembagian fraksional ini diaplikasikan berdasarkan beberapa langkah. Pertama, menentukan laba usaha yang diperoleh dari operasi perusahaan di India (laba yang diperoleh dari India telah didefinisikan sebagai penghasilan yang diperoleh dari India (margin laba operasi global/EBITDA)).
Kedua, membagi laba usaha perusahaan di India terhadap BUT berdasarkan faktor penjualan, tenaga kerja, aset, dan pengguna (untuk bisnis digital). Ketiga, mengurangkan dari laba perusahaan tersebut. Setiap laba usaha yang mungkin telah dikenakan pajak di India.
Berdasarkan aplikasi tersebut, dapat dipahami bahwa pendekatan pembagian fraksional merupakan suatu pendekatan untuk membagi laba kena pajak dari perusahaan transnasional dalam suatu yurisdiksi tertentu. Langkah tersebut dilakukan dengan memperlakukan operasional perusahaan dalam yurisdiksi tersebut secara holistik dan kemudian membagi laba tersebut dengan menggunakan rumus pembagian atribusi sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.
Perbedaan dengan Pendekatan Tradisional
Pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan tradisional transfer pricing. Pendekatan tradisional memisahkan perusahaan/BUT menjadi kelompok entitas yang terpisah dan menentukan laba yang dihasilkan atas transaksi satu sama lain seolah-olah dilakukan dengan pihak ketiga yang tidak berafiliasi.
Pendekatan tersebut juga berbeda dengan global formulary apportionment karena pendekatan pembagian fraksional dimulai dengan laba yang diperoleh dari India (negara sumber), bukan laba global perusahaan. Laba usaha di India diperoleh dengan mengalikan penghasilan di India dengan margin laba operasi globalnya.
Misalnya, jika perusahaan menghasilkan pendapatan di India sebesar Rs. 100 juta dari penjualan iklan dengan margin keuntungan globalnya adalah 5%, laba yang dianggap dari penjualan India adalah Rs.5 juta. Jika perusahaan yang sama menimbulkan kerugian di tingkat global, margin laba global dianggap sebesar 2% dan laba India diperkirakan sebesar Rs.2 juta. Setelah itu, barulah membagi kontribusi laba usaha dengan menggunakan rumus empat alokasi kunci (penjualan, pengguna, aset, dan tenaga kerja).
Penggunaan pendekatan pembagian fraksional dalam merumuskan metode atribusi laba usaha BUT dalam proposal Komite CBDT tersebut mendapatkan banyak kritik dari komunitas pajak global maupun India sendiri. Hal ini utamanya karena tidak sejalan dengan konsensus global dan berpotensi menimbulkan lebih banyak sengketa.
Banyak diskusi yang perlu dilakukan terhadap kekurangan-kekurangan dari pendekatan ini. Namun demikian, patut diakui langkah berani India dalam mengambil sikap untuk mengamankan haknya dalam memungut pajak sebagai negara sumber.
Proposal India berupa pendekatan pembagian fraksional sebagai metodologi alokasi basis pajak alternatif pun nyatanya dapat dengan mudah diadopsi oleh negara-negara berkembang lainnya. Sebagian besar negara berkembang memiliki P3B yang didasarkan pada UN MTC atau OECD MTC sebelum 2010. Hal ini mengizinkan penggunaan metode pembagian (apportionment) jika atribusi laba usaha BUT berdasarkan pendekatan FAR tidak memuaskan.
Saat ini, perusahaan transnasional digital yang beroperasi sebagai perusahaan kesatuan global bermunculan. Ada pula ketentuan alokasi basis pajak dalam mengamankan hak pemajakan negara sumber yang kurang memuaskan.
Oleh karena itulah, penggunaan metode alokasi basis pajak alternatif tersebut sangat penting untuk melindungi keadilan antara negara pengimpor dan pengekspor modal, sampai dengan tersedianya konsensus global mengenai pendekatan yang lebih efektif dan terpadu.
Adapun pendekatan AOA tidak lagi relevan, khususnya terhadap alokasi basis pajak perusahaan yang beroperasi secara digital. Dalam melindungi kepentingan negara-negara berkembang sebagai negara sumber, tentunya dalam alokasi basis pajak perlu untuk memperhitungkan kontribusi faktor sisi permintaan menggunakan mekanisme alternatif alokasi basis pajak yang mencerminkan realitas ekonomi.
Posisi India membuka kemungkinan dorongan kuat untuk mempertimbangkan aturan pembagian laba usaha sebagai alternatif kebijakan yang kredibel untuk reformasi aturan pajak internasional di bawah Kerangka Kerja Inklusif (Narayan, 2019).*