B. Bawono Kristiaji, Kepala DDTC Fiscal Research, di Kampus Harvard Kennedy School of Government AS
Pada tanggal 13-24 Agustus 2018, Harvard University menyelenggarakan executive education mengenai pajak. Program rutin dengan tajuk Comparative Tax Policy and Administration (Comtax) tersebut dikelola dan diadakan di Harvard Kennedy School of Government (HKS), Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat (AS). Dalam program yang prestisius tersebut, DDTC mengirimkan kepala DDTC Fiscal Research, B. Bawono Kristiaji, yang juga menjabat sebagai Partner Tax Research and Training Services. Berikut laporannya.
Salah satu topik yang kerap ditanyakan para peserta program Comtax adalah reformasi pajak AS dan implikasinya terhadap ekonomi, khususnya perpajakan. Terdapat tiga pembicara yang mengupas fenomena tersebut, yaitu: (i) Roger Porter, Profesor Harvard University sekaligus mantan penasihat beberapa Presiden AS; (ii) Eric Toder, mantan pejabat di US Treasury Department yang kini berkecimpung di Urban Brookings Tax Policy Center; serta (iii) Profesor Brian Arnold, yang saran-sarannya banyak dipertimbangkan di berbagai negara, OECD, maupun PBB. Ketiga pembicara tersebut mengupas dari tiga sudut pandang yang berbeda. Porter dari sisi politik ekonomi, Toder dari sisi analisis kuantitatif dan aspek PPh Badan, serta Arnold dari sisi pajak internasional.
Tax Cut and Jobs Act
Trump mengikuti gelanggang pemilihan Presiden AS dengan mengusung semboyan “Make America Great Again”. Semboyan itu masuk akal, karena AS berada dalam situasi ekonomi yang cukup mengkhawatirkan, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang rendah selama bertahun-tahun, pengangguran yang relatif tinggi, neraca perdagangan defisit, hingga utang pemerintah yang besar. Trump bermaksud memperbaiki berbagai persoalan tersebut dan berupaya mengembalikan kejayaan AS sebagai negara adidaya.
Salah satu agendanya adalah melakukan reformasi pajak. Karena, sistem pajak AS dianggap sudah tidak kompetitif, yaitu AS memiliki tarif PPh Badan yang termasuk tertinggi di dunia, yaitu sebesar 35% dan menganutworldwide tax system.
Ada ‘biaya’ yang harus dibayar dari kombinasi kedua kebijakan tersebut. Pertama, tarif yang tinggi menyebabkan aktivitas investasi langsung ke dalam AS menjadi kurang menarik. Padahal, geliat investasi sangat diperlukan dalam rangka membuka lapangan kerja serta menggairahkan aktivitas ekonomi domestik.
Kedua, adanya aktivitas pengalihan laba yang besar dari AS ke negara-negara lain, khususnya negara dengan tarif pajak yang rendah. Dari data yang dimiliki oleh Bureau of Economic Analysis (BEA), sebesar 51% dari laba yang dimiliki oleh perusahaan multinasional AS berada di 7 negara dengan tarif pajak rendah, yaitu: Irlandia, Swiss, Luxembourg, Belanda, Bermuda, Singapura, dan negara protektorat Inggris di Kepulauan Karibia. Skema manipulasi transfer pricing, utang yang berlebihan, pembayaran harta tidak berwujud diduga jadi skema dominan pengalihan laba.
Ketiga, adanya lock-out capital dan keengganan untuk merepatriasi dana. Pada dasarnya, AS merupakan negara pengekspor modal yang ditandai dengan adanya ekspansi usaha dari perusahaan-perusahaan AS ke luar negeri. Sistem worldwide dengan pengenaan pajak dengan tarif tinggi pada saat dividen didistribusikan telah mendorong adanya lock-out effect. Yaitu, laba yang diperoleh oleh anak perusahaan AS di luar negeri sengaja tidak direpatriasi ke AS, tetapi justru diparkir di negara lain. Ketentuan Controlled Foreign Company (CFC) AS juga kurang efektif dalam mencegah penundaan pembayaran dividen tersebut.
Keempat, adanya restrukturisasi usaha dan company inversion. AS boleh bangga bahwa banyak perusahaan multinasional yang berasal dari negara mereka. Kenyataannya, banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut justru bukan menjadi wajib pajak dalam negeri AS. Kombinasi tarif tinggi dan worldwide tax system telah mendorong praktik perubahan status residen dan restrukturisasi usaha dengan melepaskan fungsi-fungsi penting ke negara lain.
Dalam rangka mengatasi seluruh persoalan tersebut, Trump menggulirkan suatu rancangan UU mengenai reformasi pajak. Dari proses pembahasan dan negosiasi yang ‘alot’ baik di tingkat Senat dan Konggres, akhirnya pada tanggal 22 Desember 2017 disahkanlah suatu undang-undang baru yang disebut Tax Cuts and Jobs Act(TCJA) yang secara efektif berlaku pada 2018.
Perlu diketahui bahwa hasil akhir proses politik yang tertuang dalam TCJA tersebut tidak sama dengan pokok-pokok awal yang diajukan oleh Trump. Akan tetapi, bisa dikatakan bahwa sebagian besar ide besar Trump dan partainya, Partai Republik, telah terakomodasi.
Ada beberapa poin penting dari TCJA. Pertama, merubah tarif PPh Badan dari 35% ke 21%. Bisa dibilang bahwa ini adalah penurunan tarif PPh Badan yang sangat drastis yang notabene memberikan diskon tarif pajak sebesar 60%.
Kedua, perubahan dari sistem worldwide ke territorial. Penting untuk diketahui bahwa tidak ada negara di dunia yang menerapkan sistem worldwide secara murni. Yaitu, mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri serta memajaki penghasilan residen yang berasal dari luar negeri. Serta menerapkan sistem territorial secara murni. Yaitu, mengenakan pajak hanya atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri. Sistem territorial yang dimaksud dalam TCJA adalah memberikan pembebasan atas pembayaran dividen yang berasal dari luar negeri (foreign dividend exemption). Dengan demikian, AS mengikuti jejak Jepang dan UK yang sebelumnya telah terlebih dahulu ‘hijrah’ ke territorial tax system.
Ketiga, memberlakukan adanya transition tax yang berupaya untuk memajaki seluruh harta yang sejak 1986 (sejak reformasi pajak 1986) belum direpatriasi ke dalam negeri dengan tarif rendah. Transition tax hanya bersifat deemed repatriation, yaitu kewajiban pengungkapan atau deklarasi aset tanpa kewajiban merepatriasi modal secara riil. Program yang mirip-mirip dengan amnesti pajak Indonesia ini memiliki tarif 15,5% untuk aset keuangan dan 8% untuk aset non-keuangan. Transition tax diharapkan bisa ‘menambal’ defisit yang akan terjadi dalam jangka pendek.
Keempat, perluasan basis pajak. TCJA menghapus skema Alternative Minimum Tax (AMT) yang sebelumnya memastikan bahwa setidak-tidaknya setiap entitas bisnis di AS membayar pajak di angka minimal dengan modelreconstruction of income melalui pembatasan pengurang penghasilan, fasilitas, dan sebagainya. Sebagai gantinya, TCJA membatasi beban biaya bunga yang bisa menjadi pengurang melalui earning stripping rule, membatasi adanya kompensasi kerugian, mencabut fasilitas biaya pengurang bagi sektor pabrikan domestik, serta merevisi mekanisme amortisasi dari aktivitas penelitian.
Terakhir, mencegah praktik penghindaran pajak melalui tiga ketentuan baru. Yaitu, (i) Global-Intangible Low Tax Income (GILTI), (ii) Base Erosion and Anti-Tax Abuse (BEAT), serta (iii) Foreign-Derived Intangible Income (FDII). Ketiga unilateral actions tersebut bisa dibilang sebagai upaya terobosan untuk mencegah praktik pengalihan laba dan tergerusnya basis pajak AS.
Selain PPh Badan, TCJA juga merevisi struktur PPh Orang Pribadi (OP) terutama dengan menurunkan tarif tertinggi dan meningkatkan nilai batasan penghasilan di kelompok penghasilan tertinggi. Revisi tersebut dinilai lebih menguntungkan masyarakat di kelompok penghasilan 20% teratas (Tax Policy Center, 2017) dan merupakan ciri khas dari Republikan yang condong kepada kelompok masyarakat kaya.
Implikasi
Lantas, apa dampak dari reformasi pajak AS tersebut terhadap Indonesia? Serta, bagaimana mengantisipasinya? Pertama-tama, penting untuk melihat dampak TCJA terhadap perekonomian domestik AS karena geliat ekonomi AS akan menentukan wajah perekonomian global di masa yang akan datang, termasuk di Indonesia.
Mayoritas studi mengenai implikasi TCJA, diketahui bahwa dampak dari reformasi pajak AS hanya akan ‘sedikit’ menggenjot PDB AS. Sebagai contoh, IMF memprediksi bahwa TCJA hanya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun ke depan sebesar rata-rata 0,6%. Untuk periode yang sama, prediksi Moody’s bahkan lebih pesimis, yaitu di tingkat 0,3%. Satu-satunya optimisme datang dari kalkulasi Tax Foundation yang memperkirakan akan adanya pertumbuhan rata-rata sebesar 2,1% untuk 10 tahun mendatang.
Defisit juga diprediksi akan melebar. Efek dari TCJA memang akan memberikan dampak makroekonomi, namun gagal dalam memberikan tambahan penerimaan pajak. Studi yang dilakukan Joint Committee on Taxationmemberikan sinyal akan adanya akumulasi defisit anggaran AS sekitar USD1 triliun atau Rp14.500 triliun selama 10 tahun mendatang.
Prediksi-prediksi yang terkesan suram tersebut cukup masuk akal. Pertama, memang betul bahwa sebagian perusahaan multinasional raksasa asal AS telah berkomitmen untuk ‘pulang kampung’. Namun, banyak juga yang masih menunggu kepastian ke depan. Satu hal yang pasti, restrukturisasi bisnis maupun adanya perubahan fungsi-fungsi rantai perusahaan multinasional membutuhkan waktu. Prospek investasi baru akibat turunnya tarif PPh Badan juga baru bisa dirasakan setidaknya 2-3 tahun setelah efektifnya TCJA.
Kedua, pundi-pundi yang diharapkan dari transition tax juga belum tentu akan menggenjot penerimaan. Kelonggaran untuk hanya melakukan deklarasi, tanpa perlu merepatriasi modal jelas juga suatu kelemahan kebijakan. Adanya komitmen untuk berpartisipasi dalam transition tax sudah diungkapkan oleh beberapa perusahaan multinasional, seperti Apple, Citigroup, JP Morgan Chase, dan American Express. Sayangnya, tambahan penerimaan jangka pendek itu tidak mampu mengkompensasi revenue forgone yang akan muncul.
Selain itu, memang betul bahwa foreign dividend exemption setidaknya akan mencegah adanya lock-out effectmaupun praktik company inversion yang akhirnya mencegah penggerusan basis pajak. Apalagi dengan adanya berbagai kebijakan anti-penghindaran pajak baru seperti earning stripping rule maupun GILTI. Akan tetapi, prospek penerimaan dari kebijakan tersebut tidak akan terlalu besar dan hanya akan meningkat seiring dengan meningkatnya investasi ke dalam AS. Akibatnya, risiko fiskal AS masih cukup besar.
Jika memang prospek reformasi pajak AS tidak sebegitu ‘cerah’ kepada ekonomi domestik mereka, apa yang perlu kita khawatirkan?
Murni dari sisi pajak, setidaknya ada dua hal yang perlu diwaspadai. Pertama, TCJA memicu adanya gelombang kompetisi pajak baru, terlebih karena TCJA diperkirakan akan mempengaruhi 50% dari stok modal global (UNCTAD, 2018). Kompetisi pajak tidak selalu identik dengan penurunan tarif, namun mencakup skenario seperti adanya preferential tax regime yang memberikan celah bagi perencanaan pajak yang agresif, perubahan ke sistemterritorial, maupun suburnya pemberian insentif pajak. Keempat model kebijakan ini agaknya akan semakin dipertimbangkan di banyak negara.
Beberapa negara seperti Tiongkok dan Jerman yang notabene juga negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia juga sudah berancang-ancang untuk menurunkan tarif PPh dalam rangka mengantisipasi perubahan arus permodalan dunia. Bagi negara-negara berkembang, TCJA menimbulkan intensi baru untuk memperkenalkan insentif pajak. Menurunkan tarif PPh Badan dianggap terlalu berisiko karena adanya ketergantungan dari PPh Badan.
Negara-negara tax haven yang sebelumnya sudah kena ‘pukulan telak’ melalui pertukaran informasi keuangan juga mulai was-was dengan langkah AS. Kini, keleluasaan mereka untuk ‘mengecap’ kue investasi portfolio semakin terbatas. Intinya, genderang perang sudah ditabuh.
Area kompetisi pajak yang akan datang diperkirakan bukan melulu menyangkut PPh Badan. Karena, belakangan terdapat pemahaman bahwa perebutan modal (capital) juga semakin sulit dipisahkan dari perebutan sumber daya manusia (labor). Perubahan rezim PPh OP juga diprediksi semakin dinamis seiring dengan meningkatnya kompetisi pajak.
Lantas, apa akibat dari kompetisi pajak tersebut? Dari berbagai episode mengenai kompetisi pajak, mulai dari pasca-Perang Dunia II, periode supply-side economics di era 80-an, hingga kompetisi insentif di negara-negara berkembang, agaknya kita bisa menyimpulkan bahwa: kompetisi pajak menciptakan berbagai persoalan, dari praktik offshore tax evasion hingga derasnya aliran dana gelap.
Kedua, prospek kerjasama global. Kerjasama global dan koordinasi di ranah sistem pajak internasional juga berpotensi surut. Secara historis, peran AS kerap menentukan aturan main pajak global. Contohnya, rezim transfer pricing OECD yang mana sangat dipengaruhi oleh perkembangan ketentuan di AS.
Melalui TCJA terdapat beberapa aksi unilateral yang dilakukan oleh AS, seperti FDII, BEAT, dan GILTI. Langkah AS untuk memilih cara yang dirasa paling menguntungkan kepentingan nasionalnya -dan bukan berdasarkan suatu konsensus global- akan mendorong adanya ketidakpercayaan serta keengganan dari negara-negara lain untuk berpartisipasi dalam agenda global di bidang pajak. Akibatnya, alih-alih menuju kepada sistem yang lebih terkoordinasi dan harmonis, kerangka pajak global mendatang bisa jadi semakin sulit disepakati karena berorientasi pada national-interest.
Memang benar bahwa sistem pajak akan tergantung dari kondisi politik di suatu negara, sehingga hal-hal yang termuat dalam TCJA juga mungkin tidak bersifat kekal seiring dengan lengsernya Trump. Namun, ditilik dari sejarahnya, reformasi pajak AS jarang diadakan dalam waktu yang berdekatan. Dengan demikian, yang diperlukan oleh Indonesia adalah menyikapinya secara pro-aktif dan penuh kehati-hatian. Membangun komunikasi yang lebih intens bagi poros-poros kekuatan selain AS di area perundingan pajak global harus dimulai untuk memastikan keberhasilan koordinasi pajak global.
Sebagai penutup, perlu kita pahami bahwa strategi inward-looking ala Trump bukan hanya soal pajak. Demi mendorong ekonomi domestik, Trump juga melakukan strategi proteksionisme, berupaya mendorong ekspor, meninjau seluruh kerangka kerjasama multilateral, dan juga merevisi kebijakan moneternya. Singkatnya, mendahulukan kepentingan nasional lewat jargon “America First”.
Hal yang paling dikhawatirkan dari reformasi pajak AS dan segala kebijakan inward-looking Trump bukan terletak pada pengaruhnya terhadap real economic activity, namun pada sinyal dan gejolak pasar yang semakin sulit dikendalikan. Hari-hari ke depan agaknya kita akan berhadapan dengan kerumitan desain kebijakan perpajakan yang berkaitan dengan strategi menarik investasi, kestabilan pasar keuangan, cadangan devisa, dan pengendalian neraca perdagangan.
Semuanya, suka tidak suka, menciptakan dilema-dilema baru bagi agenda reformasi pajak Indonesia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.