DALAM dinamika ekonomi nasional, perubahan struktur usaha bukan hanya soal rasionalisasi aset, tetapi juga tentang bagaimana negara menata ulang mesin produktivitasnya.
Konsep 'tata-ulang' itu ditransformasikan melalui pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Danantara-lah yang akan merampingkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak-cucunya.
Langkah tersebut merupakan bagian dari strategi konsolidasi struktur BUMN secara menyeluruh —demi memperbesar skala, memperkuat governance, dan menarik investasi jangka panjang.
Namun, rombakan sebesar itu tentu berisiko fiskal tinggi. Salah satu persoalan krusial adalah pajak atas pengalihan aset dalam restrukturisasi.
Dalam setiap penggabungan atau pemekaran, aset berpindah tangan. Di situlah potensi penghasilan kena pajak muncul. Bila semua aset dinilai berdasarkan nilai pasar, beban pajak pengalihan bisa sangat besar, meskipun secara riil tidak ada arus kas yang masuk.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024, yang berlaku efektif 1 Januari 2025, memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menggunakan nilai buku —alih-alih nilai pasar— sebagai dasar pengalihan harta dalam aksi korporasi tertentu.
Praktik semacam ini tidak hanya berlaku di Indonesia. Uni Eropa misalnya, mengenal nonrecognition rules: pengalihan aset aksi korporasi, asalkan memenuhi kriteria substansi usaha, tidak dikenakan pajak langsung. Model ini dinilai membantu kelangsungan bisnis tanpa mengorbankan kepatuhan pajak jangka panjang (OECD, 2022).
Swiss, sejak reformasi 2010-an, menerapkan deferred taxation atas perbedaan antara nilai buku dan nilai pasar dalam reorganisasi, selama syarat pajak dipenuhi. Belanda dan Portugal juga menjadikan nilai buku sebagai basis default untuk restrukturisasi internal antarentitas.
Pendekatan nilai buku diyakini lebih stabil, adil, dan efisien, terutama dalam menghindari pajak atas keuntungan belum direalisasi (unrealized gains), yang bisa merusak arus kas perusahaan yang sedang merger (Desai, 2005).
Insentif fiskal berbasis nilai buku juga dianggao sebagai bentuk 'netralitas fiskal' yang penting dalam penguatan struktur ekonomi domestik (Rathke, 2018). Sementara itu, data empiris menunjukkan bahwa pendekatan historis ini mencegah distorsi laporan keuangan akibat nilai pasar yang terlalu volatil (IMF, 2018).
Analisis di atas memperkuat penilaian bahwa PMK 81/2024 sejalan dengan praktik pajak internasional, yang menempatkan nilai buku sebagai basis pajak dalam restrukturisasi. Tentu saja, selama memenuhi business purpose test dan transparansi dokumentasi.
Namun, penggunaan nilai buku ini tidak otomatis berlaku, melainkan harus diajukan secara tertulis dan disetujui. Permasalahan yang kerap muncul adalah anggapan bahwa nilai buku adalah hak, bukan fasilitas berbasis uji substansi.
Wajib pajak harus mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal efektif aksi korporasi. Syaratnya, harus melampirkan dokumen restrukturisasi, surat pernyataan tujuan bisnis, hingga bukti kelangsungan usaha minimal 5 tahun dan tidak memindahtangankan aset selama 2 tahun.
Pun, fasilitas ini bersifat selektif: hanya diberikan jika restrukturisasi memiliki tujuan bisnis murni, tidak dilakukan untuk penghindaran pajak, dan diajukan dengan dokumen lengkap dalam waktu yang ditentukan.
Celah teknis seperti keterlambatan administratif, dokumen tak sinkron, atau ketidaksesuaian pembukuan antarentitas bisa langsung membatalkan permohonan.
Ketiadaan dokumentasi atau kajian bisnis yang memadai bisa menjadi titik lemah yang menghambat disetujuinya permohonan nilai buku. Sering kali, permasalahan muncul ketika satu pihak menyetujui aksi korporasi, tetapi tidak menyiapkan dokumen fiskal sesuai format dan waktu yang ditetapkan aturan.
Tantangan terbesar justru muncul dari dalam: koordinasi antarfungsi di tubuh BUMN sering terpisah —tim hukum, pajak, dan perencanaan tidak berjalan serempak. Di sisi lain, sinergi antarotoritas juga tak selalu harmonis. Perbedaan waktu persetujuan dari Kementerian BUMN, OJK, atau DJP kerap membuat jendela waktu enam bulan untuk permohonan nilai buku terlewati.
Selain itu, implementasi pasca-persetujuan pun mengandung risiko tinggi. Jika entitas penerima harta membubarkan usaha terlalu cepat, memindahtangankan aset sebelum dua tahun, atau tidak melanjutkan kegiatan usaha secara riil, maka seluruh fasilitas nilai buku bisa dicabut dan dihitung ulang dengan nilai pasar, beserta denda dan sanksinya.
Beleid ini bukan sekadar fasilitas perpajakan, tapi bagian dari strategi fiskal negara untuk mendorong efisiensi tanpa mengorbankan kepatuhan. Jika aksi restrukturisasi dilakukan tanpa komitmen jangka panjang, tujuan reformasi justru kabur.
Apalagi dalam agenda besar seperti holdingisasi BUMN, penggunaan nilai buku bukan hanya soal legalitas formal, tapi tentang tata kelola fiskal yang konsisten dengan arah bisnis nasional. Dengan demikian, keberhasilan pemanfaatan fasilitas ini sangat bergantung pada integrasi pemahaman, akurasi pelaksanaan, dan ketulusan tujuan dari seluruh pihak yang terlibat.
Dengan rencana besar restrukturisasi BUMN oleh Danantara, beleid ini hadir sebagai sabuk pengaman fiskal. Bukan jalan pintas, melainkan jalur resmi dengan rambu yang tegas: business purpose, transparansi, dan keberlanjutan.
Pajak atas pengalihan aset, jika tak ditangani dengan prinsip kehati-hatian fiskal, bisa mencederai proses bisnis yang justru dimaksudkan untuk efisiensi.
Pada akhirnya, pemanfaatan nilai buku bukan soal menghindar dari pajak, tetapi tentang memastikan, agar reformasi berjalan tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha. (sap)