OPINI PAJAK

Memahami Tanggung Jawab Kurator Kepailitan terhadap Sisa Utang Pajak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 26 Maret 2025 | 17.13 WIB
ddtc-loaderMemahami Tanggung Jawab Kurator Kepailitan terhadap Sisa Utang Pajak

Ida Zuraida dan Christwan,

Widyaiswara Pusdiklat Pajak dan Pemerhati Pajak

KEPAILITAN, dalam Black’s Laws Dictionary, didefinisikan sebagai ketidakmampuan debitur dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. 

Ketidakmampuan pembayaran tersebut dibuktikan dengan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan, yang bisa diajukan oleh debitur sendiri atau pihak lain. Di Indonesia, kepailitan diatur dalam Undang-Undang 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). 

Dalam konteks hukum, kepailitan juga disebut sebagai 'sita umum' yang diartikan sebagai kegiatan penyitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan kreditur-krediturnya (Irawan, 2007:19).

Permohonan pailit yang diajukan ke pengadilan kemudian direspons dengan vonis pailit terhadap debitur. Setelah vonis pailit diterbitkan, debitur tidak lagi berwenang untuk mengurus aset-asetnya. Aset-aset tersebut kemudian berada di bawah penguasaan kurator yang ditunjuk oleh hakim pengadilan niaga dan di bawah pengawasan hakim pengawas. 

Selanjutnya, kuratorlah yang bertugas mengurus harta pailit dan menyelesaikan hubungan hukum antara debitur dengan para krediturnya. Pengurusan dan penyelesaian kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.

Seluruh harta kekayaan dan hasil penjualan atas aset nantinya akan dipakai untuk membayar utang debitur pailit secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur (Widjaja, 2011:16).

Yang perlu dicatat, tanggung jawab kurator dibebankan terhadap harta debitur pailit, bukan kepada kurator secara pribadi. Namun demikian, kerugian yang timbul akibat perbuatan kurator yang tidak profesional merupakan tanggung jawabnya secara pribadi. Contohnya, kurator yang menggelapkan harta pailit. Kerugian yang muncul kemudian tentu dibebankan kepadanya (Zuraida, 2023:131).

Dalam bekerja, kurator tidak semata-mata mengedepankan kepentingan kreditur. Kurator perlu berpegang pada prinsip keadilan dengan tetap menimbang kepentingan debitur. 

Utang Pajak dalam Kepailitan

Utang jatuh tempo yang dialami oleh debitur, di dalamnya bisa mencakup utang pajak yang perlu dibayarkan kepada negara. Dalam hal ini, negara memiliki hak istimewa yang dikenal sebagai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. 

Ketentuan hak mendahulu untuk utang pajak tercantum dalam Pasal 21 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pasal 19 UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).

Sesuai dengan pasal tersebut, negara duduk sebagai kreditur preferen. Kreditur preferen berarti kreditur yang didahulukan karena memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Negara sebagai kreditur preferen mempunyai hak mendahulu atas barang milik penanggung pajak dibandingkan dengan kreditur lain.

Hal ini berarti apabila penanggung pajak mempunyai tunggakan pajak, dengan hak mendahulu, negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum lebih dari kreditur lain.

Sementara itu, pembayaran kepada kreditur lain baru bisa diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Adapun utang pajak tersebut meliputi pokok pajak serta sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

Hak mendahulu juga berlaku apabila barang milik penanggung pajak telah dilakukan penyitaan. Dengan demikian, apabila barang sitaan tersebut dilelang maka pihak yang melakukan pelelangan wajib mendahulukan hasil lelang untuk pelunasan utang pajak.

Namun, ada kalanya harta debitur tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur, termasuk untuk melunasi pajak kepada negara. Dalam kondisi tersebut, peran kurator kemudian perlu didalami. Bagaimana kurator perlu bertindak terhadap utang pajak yang belum lunas? Bagaimana tanggung jawab kurator selanjutnya? 

Kurator Bertanggung Jawab terhadap Utang Pajak

Bila mengacu pada putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-006842.99/2018/PP/M.IVB Tahun 2019, tanggung jawab atas sisa utang pajak berada di tangan kurator. Putusan itu didasarkan pada Pasal 32 ayat (1) huruf b UU KUP.

Diketahui, gugatan disampaikan wajib pajak kepada dirjen pajak (tergugat) karena telah memblokir rekening wajib pajak, yakni PT. LU sebagai pemegang saham PT. AD. Ditjen Pajak (DJP) memblokir rekening PT. LU untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak. 

Sebenarnya, langkah DJP dalam penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 UU KUP, sebagai upaya paksa negara agar wajib pajak mau melunasi pajaknya. 

Di sisi lain, wajib pajak tidak menerima pemblokiran yang dilakukan oleh dirjen pajak. Alasannya, pada saat pemblokiran, PT. AD dalam keadaan pailit. Karenanya, sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) huruf b UU KUP, semestinya kuratorlah yang menjadi pihak yang bertanggung jawab atas pelunasan utang pajak sejak perseroan dinyatakan pailit.

Pada akhirnya, Pengadilan Pajak berpandangan bahwa tanggung jawab pelunasan utang pajak berada di tangan kurator. Hal ini berlandaskan fakta bahwa dalam proses penagihan, pengurusan pailit masih berlangsung.

Putusan Pengadilan Pajak menetapkan bahwa sejak wajib pajak dalam keadaan pailit, kuratorlah yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng untuk melunasi utang pajak sesuai penafsiran gramatikal Pasal 32 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU KUP.

Kurator Tidak Bertanggung Jawab terhadap Utang Pajak

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pelunasan utang pajak dalam kepailitan tetap ditanggung oleh pengurus atau penanggung pajak, bukan lagi kurator. 

Perlu dipahami, seluruh proses administrasi perpajakan sejak dari pendaftaran, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), sampai dengan pemeriksaan pajak bagi wajib pajak badan diwakili oleh pengurus.

Pengurus, tentunya sesuai dengan bentuk usaha wajib pajak. Apabila bentuk usaha wajib pajak adalah perseroan terbatas maka pengurus perseroan adalah direksi.

Nah, kewajiban perpajakan yang dijalankan oleh pengurus berhubungan erat dengan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wajib pajak badan. Artinya, pelanggaran hukum di bidang perpajakan yang dilakukan wajib pajak badan juga memberikan konsekuensi bagi pengurus untuk bertanggung jawab. 

Sesuai dengan penjelasan umum UU Kepailitan dan PKPU, syarat utama suatu debitur dinyatakan pailit adalah debitur tersebut (pihak yang berutang) mempunyai paling sedikit 2 kreditur (pihak yang berpiutang) dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu.

Tujuan kepailitan adalah melindungi kepentingan debitur sendiri, maupun kepentingan para krediturnya terkait dengan pembayaran utang. Karenanya, setelah debitur dinyatakan pailit, seluruh harta pailit debitur digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitur secara adil dan merata serta berimbang.

Berdasarkan rumusan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejak pernyataan pailit, debitur menjadi tidak cakap untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit. Hal ini masuk akal, mengingat harta debitur pailit akan dijadikan jaminan dalam pelunasan kewajiban utangnya. 

Selanjutnya, kuratorlah yang sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU ditunjuk untuk melindungi kepentingan kreditur pailit.

Dalam kasus perseroan, pengurus dari perseroan memang tidak memiliki kecakapan di mata hukum untuk mengelola harta pailitnya, tetapi pengurus tetap memiliki kecakapan (bertanggung jawab) untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum termasuk bertanggung jawab atas pelunasan utang pajak perseroan.

Penafsiran Hukum yang Berimbang

Untuk mengetahui tanggung jawab kurator dalam hal perseroan pailit, diperlukan interpretasi atau penafsiran yang tidak terbatas pada gramatikal.

Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang (Sudikno Mertokusumo, 2018:218-219). 

Karenanya, menafsirkan Pasal 32 ayat (1) huruf b UU KUP tentang debitur pailit tidak hanya semata-mata berdasarkan arti kata yang terdapat dalam pasal tersebut saja (penafsiran gramatikal).

Lebih jauh, perlu dipertimbangkan peraturan lain terkait dengan keberadaan kurator dan tanggung jawab kurator sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU, serta tanggung jawab direksi perseroan menurut UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Penulis melihat, berdasarkan penafsiran sistematis terhadap UU KUP maupun UU PPSP, tidak ada satu pasal pun yang menegaskan bahwa dengan pailitnya sebuah perseroan, kurator harus bertanggung jawab atas pelunasan sisa utang pajak.

Tafsir Pasal 32 ayat (1) UU KUP juga perlu dikaitkan dengan pasal lain dalam UU KUP, yaitu Pasal 21 ayat (4) yang menyebutkan bahwa hak mendahulu oleh negara hilang setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal diterbitkan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 

Artinya, apabila kurator dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran utang pajak, sementara nilai harta debitur lebih kecil dari utang pajak, maka hak mendahulu negara bisa hilang karena sisa utang pajak tidak dapat terbayarkan.

Penulis ingin mengutip 2 adagium hukum. Pertama, judex debet judicare secundum allegata et probate yang berarti bahwa seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan. Kedua, judicia poxteriora sunt in lege fortiora yang berarti keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum.

Rekomendasi 

Penulis menyodorkan rekomendasi sebagai bentuk solusi praktis, masing-masing untuk pemerintah dan kurator. Pertama, bagi pemerintah, perlu mempertegas tanggung jawab kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit.

Pemerintah perlu melakukan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan kepailitan agar terwujud kepastian hukum dari tanggung jawab kreditor atas pembayaran sisa utang pajak. Catatannya, hak mendahulu negara tidak boleh hilang akibat proses pailit.

Kedua, kurator perlu menjalankan tugasnya secara profesional, berintegritas, serta menaati standar profesi dan etika dalam mengurus harta debitur pailit sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.