ANALISIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Beneficial Ownership, Bagaimana Kedudukan Ketentuan Domestik?

Redaksi DDTCNews
Minggu, 19 April 2020 | 16.47 WIB
ddtc-loaderSengketa Beneficial Ownership, Bagaimana Kedudukan Ketentuan Domestik?
DDTC Consulting

PUTUSAN Mahkamah Agung Nomor 736/B/PK/PJK/2013 (untuk selanjutnya disebut Putusan Mahkamah Agung) ini memutus perkara terkait dengan sengketa PPh Pasal 26. Pokok yang disengketakan dalam Putusan Mahkamah Agung ini adalah penentuan beneficial owner atas pembayaran bunga pinjaman yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada perusahaan yang berada di Belanda. Adapun skema transaksi yang menjadi pokok sengketa adalah sebagai berikut.

Kronologi
WAJIB pajak merupakan perusahaan yang terdaftar di Indonesia dan mengikat perjanjian pinjaman dengan XYZ BV, perusahaan yang terdaftar dan berkeduduan di Belanda.  Selain memberikan pinjaman, XYZ BV juga menerbitkan guaranteed notes untuk kebutuhan dana perusahaan.

Sebagai imbalan pinjaman, wajib pajak membayar bunga pinjaman kepada XYZ BV dan memotong PPh Pasal 26 dengan tarif 10% sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia dan Belanda.

Dalam kasus ini, Tergugat berpendapat bahwa tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang seharusnya diterapkan oleh wajib pajak adalah 20% karena XYZ BV tidak memenuhi ketentuan beneficial owner sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 P3B Indonesia dan Belanda. Tergugat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih kekurang pembayaran pajak tersebut. 

Perlu diketahui bahwa sengketa serupa untuk Tahun Pajak 2004 dan 2005 telah diputus sebelumnya oleh Putusan Pengadilan Pajak dengan hasil putusan menyatakan bahwa XYZ BV bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga tersebut. Putusan Pengadilan Pajak kemudian dijadikan dasar bagi Tergugat untuk menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 26 Masa Pajak Mei 2009 pada September 2010.

Wajib pajak tidak setuju dengan STP tersebut dan mengajukan pembatalan STP pada Oktober 2010. Kemudian, pada April 2011 Tergugat menerbitkan Surat Keputusan yang menolak permohonan pembatalan STP PPh Pasal 26.

Wajib pajak tidak setuju dengan Surat Keputusan tersebut dan selanjutnya mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Kemudian, melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39133/PP/M.II/99/2012, Majelis Hakim memberikan keputusan berupa membatalkan STP yang diterbitkan oleh Tergugat.

Selanjutnya, karena Tergugat tidak setuju dengan hasil Putusan Pengadilan Pajak, Tergugat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Pada February 2014, Majelis Hakim Agung memberikan putusan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali dan berpendapat bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak telah sesuai.

Pendapat para Pihak
TERGUGAT berpendapat XYZ BV bukan merupakan beneficial owner sehingga tidak berhak untuk menerapkan tarif pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 10% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia dan Belanda.

Salah satu alasannya karena Tergugat berpendapat bahwa XYZ BV tidak memiliki substansi kegiatan ekonomis dan tidak memiliki penguasaan penuh terhadap penghasilan bunga. Hal ini disebabkan saham XYV BV dimiliki oleh wajib pajak sebanyak 100%, Board of Directors dari XYZ BV adalah residen Belanda dan juga Indonesia, satu-satunya kegiatan XYZ BV adalah memberikan pinjaman, XYZ BV tidak memiliki aktiva tetap, dan XYZ BV tidak memiliki pegawai

Sementara itu, Penggugat tidak setuju dengan pendapat tersebut karena berdasarkan dokumen yang diterbitkan otoritas pajak Belanda berupa Service Providing Companies Decree, dapat diketahui bahwa XYZ BV telah memenuhi kriteria beneficial owner di Belanda.

Walaupun sengketa serupa untuk Tahun Pajak 2004 dan 2005 telah diputus oleh Pengadilan Pajak, tetapi terdapat perbedaan fakta sengketa. Untuk tahun sengketa 2004 dan 2005, XYZ BV belum memenuhi beberapa kriteria beneficial owner yang ditetapkan oleh otoritas pajak Belanda. Diantaranya adalah board of director perusahaan paling sedikit 50% (lima puluh persen) merupakan residen Belanda dan modal ekuitas belum mencapi EUR 2.000.000.

Dalam pembayaran bunga di tahun 2009 ini, XYZ BV telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan otoritas pajak Belanda Nomor IFZ2004 tentang substansi ekonomis. Pemenuhan persyaratan substansi ekonomis di Belanda ini menunjukkan tidak adanya unsur penghindaran pajak dalam transaksi pembayaran bunga ke Belanda.

Pendapat Majelis Hakim
MAJELIS Hakim Pengadilan Pajak dan Majelis Hakim Agung pada intinya berpendapat sama, yaitu STP tersebut seharusnya dibatalkan. Majelis Hakim menilai bahwa XYZ BV merupakan beneficial owner karena berdasarkan ketentuan Nomor IFZ/2004 yang diterbitkan oleh otoritas pajak Belanda membuktikan bahwa XYZ BV memenuhi kriteria beneficial owner.

Majelis Hakim juga menilai bahwa hasil Putusan Pengadilan Pajak untuk sengketa Tahun Pajak 2004 dan 2005 tidak dapat dijadikan dasar karena terdapat perbedaan fakta. Pada Tahun Pajak 2004 dan 2005 masih terdapat kriteria beneficial owner yang belum terpenuhi. Sedangkan pada Tahun Pajak 2008 dan 2009, XYZ BV telah memenuhi seluruh kriteria beneficial owner yang disyaratkan di Belanda.

Analisis
SENGKETA penentuan beneficial owner memang kerap terjadi. Isu utama yang menjadi permasalahan adalah istilah beneficial owner tidak didefinisikan di dalam P3B. Oleh karena itu, sering timbul berbagai pertanyaan dan interpretasi. Apakah hukum domestik dapat menjadi acuan? Apabila dapat digunakan, hukum domestik mana yang digunakan? Apakah hukum domestik negara residen atau negara sumber?

Dalam kasus ini, Tergugat menggunakan ketentuan domestik untuk menyatakan bahwa XYZ BV bukan merupakan beneficial owner. Kriteria-kriteria seperti jumlah pegawai dan kegiatan usaha aktif dari XYZ BV merupakan beberapa kriteria yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 62/PJ/2009.

Ketentuan domestik pada dasarnya dapat menjadi alat interpretasi sebagaimana mengacu pada Pasal 3 ayat (2) P3B Indonesia dan Belanda dengan syarat harus sesuai dengan context dari P3B.

Edwin van der Bruggen, sebagaimana dikutip dalam Bab 12 dari Buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Panduan, Interpretasi dan Aplikasi (2017), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan context adalah prinsip interpretasi hukum internasional sebagaimana dikodifikasi dalam Pasal 31 dan 32 VCLT. Oleh karena itu, Tergugat tidak dapat langsung menggunakan ketentuan domestik Indonesia tersebut.

Walaupun ketentuan domestik pada dasarnya tidak langsung dapat digunakan, tetapi terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun ketentuan domestik dapat digunakan maka ketentuan domestik negara residen memiliki kedudukan yang lebih kuat untuk menentukan kriteria beneficial owner.

Hal ini juga sebagaimana yang ada di dalam memo Putusan Mahkamah Agung, walaupun tidak mengulas lebih jauh tentang interpretasi beneficial owner, tetapi Majelis Hakim dan Majelis Hakim Agung dalam hal ini memutus sengketa dengan berdasarkan pada pemenuhan ketentuan IFZ/2004 yang diterbitkan otoritas pajak Belanda untuk membuktikan bahwa XYZ BV memenuhi kriteria beneficial owner.

Artinya, dalam kasus ini, Majelis Hakim mempertimbangkan ketentuan domestik yang berlaku di negara residen.

Selain ketentuan domestik, pada dasarnya OECD Commentary juga dianggap dapat menjadi bahan interpretasi. Adapun pada Paragraph 10.2 Commentaries atas Pasal 11 OECD Model menyatakan apabila tidak terdapat kewajiban secara kontraktual untuk meneruskan pendapatan maka persyaratan beneficial owner dianggap telah terpenuhi.

Oleh karena itu, menurut Penulis, selain pemenuhan ketentuan beneficial owner di negara residen, Majelis Hakim juga dapat memeriksa klausul-klausul perjanjian pinjaman antara wajib pajak dan XYZ BV. Hal ini digunakan untuk memeriksa apakah terdapat kewajiban secara kontraktual untuk meneruskan pendapatan bunga kepada pihak lain. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang beneficial owner, bisa lihat artikel Darussalam dalam link ini. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.