‘DURIAN runtuh’ tidak selalu berujung pada keberuntungan. Contoh nyata dialami oleh Andrew Whittacker. Pemenang lotre senilai Rp2,8 triliun di Amerika Serikat pada 2002 ini justru mengalami kesialan bertubi-tubi selama sisa hidupnya.
Selang singkat setelah kabar kemenangan, Andrew menghabiskan uang berbagai barang mewah. Tak lupa, dia menggandakan harta dengan berjudi di Casino, tetapi berujung kekalahan besar. Andrew pun berusaha menutupinya dengan menyuap oknum pegawai Casino.
Setelah itu, rumahnya menjadi sasaran rutin para perampok dan geng kriminal. Andrew dan keluarganya merespons kondisi ini dengan menjadi pengguna narkoba dan terlibat dalam kekerasan. Selain menjadi korban pencurian berkali-kali, rumahnya habis terbakar pada 2016.
Pelajaran yang ditarik, apakah menang lotre sesuatu yang buruk? Tentu tidak. Banyak juga pemenang lotre yang hidupnya kian sukses dan bahagia. Pembedanya terletak pada kesiapan dan ketepatan penggunaan sumber daya untuk menghadapi tantangan yang lebih berat.
Sama halnya dengan lotre, bonus demografi dapat menjadi bumerang jika tidak diantisipasi dengan baik. Sebagai informasi, periode bonus demografi kerap diidentikkan dengan adanya dominasi penduduk usia produktif (16-64 tahun) di suatu negara.
Pada masa-masa tersebut, tidak hanya potensi pendapatan fiskal yang meningkat, tapi juga belanja negara (ADB, 2019). Setelah melewati momentum bonus demografi, akan ada fase penuaan populasi penduduk (aging population).
Dalam ‘babak baru’ ketika terjadi aging population, jumlah penduduk relatif memuncak. Namun, produktivitas ekonomi justru menurun. Pada saat yang sama, kebutuhan belanja negara dan pengeluaran jaminan sosial justru membesar. Berbagai negara di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang sempat menjadi ‘korban’ karena mengalami defisit fiskal besar-besaran pascabonus demografi (Bonoli, 2005).
KEBERHASILAN atau kegagalan suatu negara dalam melewati periode ini ditentukan dua hal. Pertama, apakah surplus ekonomi dan fiskal saat bonus demografi berlangsung dapat dimaksimalkan. Kedua, apakah kinerja tersebut dapat dipertahankan untuk mengantisipasi ‘musim kemarau’ fiskal yang akan datang, yaitu saat populasi makin menua.
Atas pertanyaan pertama, tax ratio dapat menjadi salah satu indikator untuk mengukur kapasitas fiskal suatu negara. Indikator ini dinilai mencerminkan tarif pajak efektif yang dikenakan negara terhadap perekonomian nasional (Volkerink dan De Haan, 2000).
Secara sederhana, tax ratio (dalam arti luas) merupakan rasio antara penerimaan perpajakan (pajak pusat, kepabeanan, dan cukai) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara.
Untuk memastikan prospek tax ratio, perlu menguji dahulu tax buoyancy suatu negara. Adapun tax buoyancy merupakan elastisitas penerimaan pajak dalam merespons pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara.
Hasil hitungan penulis, tax buoyancy Indonesia selama satu dekade terakhir hanya sebesar 0,78. Artinya, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya diikuti pertumbuhan pajak 0,78%. Tak heran jika tax ratio Indonesia masih berkisar pada 9-11% pada kurun waktu tersebut.
Untuk memastikan kinerja pajak nyetel dengan kinerja ekonomi, kita perlu melihat karakteristik ekonomi Indonesia. Sesuai dengan saran OECD (2022), sistem pajak harus mampu berjalan selaras dengan sektor ekonomi yang tumbuh pesat guna mendorong tax ratio.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ekonomi yang tumbuh cepat belakangan ini adalah sektor pertambangan (selain minyak dan gas bumi), transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi makanan dan minuman, serta jasa perusahaan.
Beberapa subsektor di dalamnya bahkan mengalami pertumbuhan double digit pada semester pertama tahun ini. Beberapa di antaranya seperti sektor pertambangan bijih logam (21,6%), logam dasar (17,34%), pergudangan (10,4%), serta akomodasi (10,6%).
Sayangnya, hingga kini, kontribusi pajak belum mampu tumbuh dengan kecepatan yang sama. Dalam perhitungan DDTC FRA (2024) terindikasi sektor serupa belum mencerminkan kontribusi pajak yang sepadan dengan porsi ekonominya. Jika berlanjut, tax ratio Indonesia terancam tidak tumbuh.
SEBENARNYA, pemerintah sudah secara jitu menetapkan agenda untuk mengerek tax ratio. Sebut saja pengembangan compliance risk management (CRM), pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP), pengawasan berbasis kewilayahan, dan banyak lainnya.
Sebagai tambahan perspektif, pemerintah perlu juga memiliki dashboard pemantauan (monitoring) perkembangan ekonomi secara real time dan prediktif. Tujuannya adalah untuk memastikan potensi pajak dapat dioptimalkan secara sektoral. Pemantauan secara kontinu pada setiap sektor memungkinkan pemungutan pajak selaras dengan pertumbuhan ekonomi (Lee et al., 2012).
Kemudian, terkait dengan pertanyaan kedua, bagaimana kita bersiap memasuki ‘musim kemarau’ panjang nanti saat penuaan populasi? Setidaknya, ada tiga langkah yang dapat dilakukan sejak dini oleh pemerintah.
Pertama, memastikan perluasan basis PPN sejalan dengan digitalisasi aktivitas dan transaksi bisnis. Sebab, dengan bergesernya transaksi jual-beli ke arah digital, proses bisnis PPN juga perlu terdigitalisasi (IMF, 2021). Secara otomatis, proses pemungutan PPN juga akan sesuai dengan pergeseran keranjang konsumsi akibat perubahan struktur demografi.
Kedua, mendorong peningkatan usia pensiun pekerja secara bertahap sesuai dengan angka harapan hidup pada masa mendatang. Sebagai catatan, usia batasan pensiun tidak diatur secara mengikat, tetapi pemberi kerja umumnya menetapkan pada kisaran 55-58 tahun. Batasan ini tergolong rendah dibandingkan dengan ketentuan di negara lain.
Sebagai contoh, rata-rata usia pensiun di Eropa sudah berada pada angka 67 tahun. Okatomo (2004) menyebutkan penyesuaian tersebut dibutuhkan agar kontribusi ekonomi, pajak, dan jaminan sosial per penduduk dapat berlangsung lebih lama.
Ketiga, meracik berbagai inovasi kebijakan baru yang kontekstual dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, pajak berbasis kepemilikan harta dan pajak warisan dinilai akan bermanfaat pada masa mendatang. Sebab, saat konsumsi dan produktivitas menurun, masyarakat (terutama yang kaya) akan cenderung mengakumulasi harta untuk keturunannya nanti (Carrol dan Viard, 2012).
Intinya, jangan terlena bahwa bonus demografi akan otomatis berbuah manis. Lebih penting lagi jangan lupa bersiap, akan ada masa sulit menanti. Apalagi, saat itu akan datang ketika kita, pembaca mayoritas –generasi milenial dan gen Z– mendominasi sebagai penduduk usia lanjut.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)