PELAKSANAAN pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan memicu persoalan dan perbedaan perhitungan antara Wajib Pajak (WP) dan fiskus. Perbedaan penghitungan tersebut membuat WP tidak puas dan akhirnya menimbulkan sengketa pajak. Adapun penyebab lain terjadinya sengketa adalah minimnya partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan dan merancang hukum pajak (Darussalam, 2018).
Dalam Undang-Undang No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan secara adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.
Dalam perkembangannya, jumlah sengketa pajak memiliki tren yang cenderung terus bertambah. Bahkan, seusai program pengampunan pajak pada 2017 silam, jumah sengketa yang masuk ke Pengadilan Pajak kembali meningkat pada 2018. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perkara yang diterima Pengadilan Pajak sebanyak 19,3% jika dibandingkan pada 2017. Merujuk data statistik yang dirilis oleh Sekretariat Pengadilan Pajak, jumlah berkas sengketa pajak pada 2018 adalah 11.436 kasus.
Jumlah sengketa pajak yang belum selesai pada 2018 tidak sebanding dengan jumlah putusan yang dihasilkan. Apabila sisa sengketa yang belum diselesaikan pada 2017 diakumulasi dengan jumlah perkara yang masuk pada 2018 maka totalnya adalah 23.240. Namun, pada tahun lalu, persentase sengketa yang diputus Pengadilan Pajak hanya sebesar 42.65%. Hingga akhir 2018 masih tersisa 13.327 perkara yang menjadi tugas Pengadilan Pajak untuk diselesaikan pada tahun berikutnya.
Untuk mengatasi masalah ini, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan suatu prosedur hukum berupa alternatif penyelesaian sengketa pajak (alternative dispute resolution/ADR) yang dilakukan secara damai. Banyak negara di dunia yang telah mencoba mengembangkan alternatif penyelesaian sengketa sebagai upaya mengurangi derasnya arus perkara yang masuk pengadilan, antara lain Amerika, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Singapura (Harahab, 1997). Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilai ahli.
Dalam hal ini, alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan sebagai opsi adalah mediasi. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Kesepatan itu juga mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Proses mediasi umumnya dibantu oleh pihak ketiga yang biasa disebut mediator sebagai pihak yang netral. Tidak seperti putusan pengadilan yang dapat dibaca banyak orang, hasil kesepakatan mediasi hanya akan diketahui WP, fiskus, dan mediator saja. Artinya, ada jaminan kerahasiaan atas proses yang telah dijalankan. Biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan mediasi pun tidak besar jika dibandingkan arbitrase atau litigasi.
Apabila belajar dari hukum acara perdata Indonesia, konsideran dilaksanakannya mediasi yaitu untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan sehingga diperlukan instrumen yang efektif. Sebelum permasalahan dibawa ke pengadilan, pihak-pihak yang bersengketa diwajibkan melakukan mediasi terlebih dahulu. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.
Penerapan di Negara Lain
SAAT ini ada beberapa negara yang menggunakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pajak. Negara-negara sebagaimana dimaksud, antara lain Australia, Inggris, Amerika, Canada, dan lain sebagainya.
Umumnya sengketa pajak diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan. Namun, dalam beberapa kasus, penyelesaian sengketa di pengadilan membutuhkan proses yang panjang serta biayanya relatif mahal. Mediasi menjadi solusi yang populer digunakan untuk menuntaskan sengketa di bidang perpajakan. Tujuannya untuk menekan biaya yang dikeluarkan sebelum sengketa masuk ke ranah pengadilan.
Di Australia, The Australian Taxation Office (ATO) menawarkan penyelesaian sengketa perpajakan, termasuk fasilitator dalam hal ini mediator dan dilakukan hanya untuk persoalan yang tergolong besar dan rumit saja. Dalam ATO Corporate Plan 2014-18 dijelaskan bahwa ADR digunakan untuk mengurangi waktu penyelesaian sengketa, mengurangi jumlah sengketa pajak, dan menciptakan komunikasi yang lebih baik antara WP dengan otoritas perpajakan. Saat ini sudah banyak sengketa yang diselesaikan tanpa melakukan proses persidangan (Hastings, 2014).
Sementara itu, di Inggris, alternatif penyelesaian sengketa pajak dilakukan oleh HM Revenue & Customs (HMRC). ADR dalam bentuk mediasi sudah menjadi cara yang ampuh digunakan untuk menyelesaikan persoalan perpajakan sebelum proses litigasi berlangsung. Inggris sudah menggunakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pajak sejak 2011. Sama halnya dengan Australia, proses mediasi di Inggris difasilitasi untuk mencapai kesepakatan bersama melalui bantuan seorang mediator.
Posisi Indonesia
LANTAS, bagaimanakah posisi Indonesia? Apakah Indonesia dipandang perlu memanfaatkan mediasi sebagai penyelesaian sengketa perpajakan?
Undang-Undang No.16/2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5/2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah mengakomodasi berbagai hak WP. Hak WP yang dimaksud, antara lain hak memperoleh informasi perpajakan yang tidak dipahami, kerahasiaan data, kepastian hukum atas jumlah pajak terutang, dan lainnya. Dalam hal mendapatkan kepastian hukum, WP berhak mendapatkan kepastian informasi atas jumlah pajak terutangnya (Bentley, 1998).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, data Sekretariat Pengadilan Pajak menunjukkan jumlah berkas sengketa setelah dilakukan pengampunan pajak mengalami peningkatan. Jumlah putusan Pengadilan Pajak yang keluar pun tidak sebanding dengan banyaknya sengketa yang terus masuk ke pengadilan. Apalagi perubahan lanskap pajak baik secara domestik dan global diperkirakan akan menciptakan tsunami of dispute. Oleh karena itu, sebagai suatu upaya pencegahan, Indonesia perlu bersiap diri dalam menghadapi kondisi tersebut.
Dalam konteks pihak yang dapat menjadi mediator, kita juga perlu mempertimbangkan peran Komite Pengawas Perpajakan. Apalagi dalam Peraturan Menteri Keuangan No.63/PMK.09/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.54/PMK.09/2008 tentang Komite Pengawas Perpajakan sudah mengatur mediasi tersebut. Peran tax ombudsman dalam mediasi juga sudah diterapkan di beberapa negara, contohnya Prodecon di Meksiko.
Apabila diterapkan, mediasi diharapkan dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efektif dan efisien serta dapat mengurangi jumlah berkas banding dan gugatan di Pengadilan Pajak. Jika sudah ada mediasi, mekanisme penyelesaian melalui Pengadilan Pajak pun tetap menjadi elemen penting yang harus terus dibenahi ke depannya. *