MEMINJAM istilah kedokteran, rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) masih menjadi penyakit yang menyerang ketahanan fiskal Indonesia. Penyakit menahun ini berpengaruh pada keseluruhan perekonomian Tanah Air, termasuk agenda pengurangan kemiskinan dan ketimpangan.
Lihat saja, bersamaan dengan torehan shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak tiap tahunnya, tax ratio tidak pernah lebih dari 15%. Pada tahun lalu, menilik data Kementerian Keuangan, tax ratio berada di posisi 10,7%, terendah sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2014.
Hasil diagnosis International Monetary Fund (IMF) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sangat jelas. Penyakit tersebut harus segera diobati. Peningkatan tax ratio diyakini mampu berdampak pada kesehatan fiskal. Peningkatan penerimaan negara dapat dibelanjakan untuk membidik pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
IMF merilis hasil diagnosis dan resepnya dalam buku ‘Realizing Indonesia’s Economic Potential’, bersamaan dengan momentum Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018. Sementara, OECD membeberkan resepnya dalam ‘Economic Survey Indonesia October 2018’, bersamaan dengan perpanjangan OECD-Indonesia Joint Work Programme untuk periode 2019-2021.
Rendahnya tax ratio ini sekaligus menempatkan Indonesia di posisi paling bawah di antara negara-negara G20. Menurut IMF, bukti empiris menunjukkan perekonomian negara-negara dengan tax ratio kurang dari 15% cenderung tumbuh lebih lambat karena mendapat hambatan untuk belanja produktif.
Meskipun ada beberapa upaya pemerintah, OECD berpendapat perubahan indikator pemungutan pajak itu hanya bergerak relatif tipis dibandingkan dengan posisi awal 2000-an. Tax ratio Indonesia ini juga cenderung rendah dibandingkan negara lain dengan tingkat pendapatan yang relatif sama, seperti Filipina, Malaysia, Brazil, dan Argentina.
Dengan membedah sistem perpajakan di Tanah Air, IMF pun menyodorkan resep dalam bingkai medium-term revenue strategy (MTRS). Melalui resep ini, tax ratio diproyeksi akan meningkat dari 10,4% menjadi 15,4% selama 5 tahun, persisnya pada 2022. Selain itu, resep tersebut juga bertujuan mengurangi distorsi pajak dan memperkuat progresivitas.
Pada saat yang bersamaan, MTRS ini menitikberatkan pada pengurangan biaya kepatuhan dan peningkatan iklim investasi. Selain itu, IMF ingin meningkatkan persepsi masyarakat tentang keadilan dalam sistem perpajakan yang ada di Tanah Air. Sistem pajak yang relevan dengan adanya dominasi penduduk pendapatan menengah pun menjadi salah satu penentu obat dalam resep yang disodorkan.
Dengan hasil diagnosis penyakit yang sama, OECD pun menyodorkan resep yang relatif mirip. Apalagi, lembaga ini melihat potensi kenaikan tax ratio hingga berada di level 22%. Bedanya, resep yang disodorkan OECD lebih menekankan peningkatan kepatuhan sukarela melalui peningkatan keinginan wajib pajak untuk patuh, penguatan administrasi, serta perluasan basis pajak.
Dari kedua resep, baik dari IMF maupun OECD, setidaknya ada berbagai obat yang bisa dikelompokkan menjadi empat kategori. Pengelompokan ini didasarkan pada rincian bagian dalam sistem perpajakan Indonesia yang membuat belum kunjung sembuhnya penyakit rendahnya tax ratio Indonesia. Padahal, upaya reformasi pajak sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Pertama, kepatuhan, administrasi pajak, dan perundang-undangan. IMF dan OECD menilai perlunya meningkatkan investasi dalam administrasi pajak, terutama sumber daya manusia (SDM), layanan elektronik, sertadatabase. Mereka juga menyodorkan resep pentingnya penggunaan teknologi informasi dalam manajemen risiko untuk meningkatkan kepatuhan.
Selain itu, IMF memberikan rekomendasi penguatan institusi Otoritas Pajak, terutama yang berkaitan dengan fleksibilitas manajemen SDM. Sementara, OECD menambahkan perlunya standarisasi prosedur konsultasi publik sebelum sebuah regulasi diimplementasikan. OECD juga meminta perluasan estimasi belanja perpajakan dan melaporkannya secara rutin.
Kedua, pajak penghasilan (PPh). Dalam kelompok ini, kedua lembaga sama-sama menilai ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) di Indonesia cukup tinggi. Hampir 90% penghasilan rata-rata penduduk Indonesia berada di bawah PTKP. Oleh karena itu, kedua lembaga merekomendasikan agar tidak ada lagi kenaikan ambang batas PTKP.
Baik IMF maupun OECD juga merekomendasikan agar adanya penurunan ambang batas bracket teratas dalam pengenaan PPh wajib pajak (WP) orang pribadi (OP). Khusus mengenai rezim PPh final bagi UKM, IMF meminta adanya penurunan ambang batas pengenaan pajak usaha kecil dan menengah (UKM), sedangkan OECD meminta ada pengetatan kriteria pajak untuk UKM.
Dalam konteks PPh WP badan, IMF mengusulkan adanya adanya penggantian semua rezim khusus menjadi satu rezim, sekaligus mengusulkan penerapan alternative minimum tax (AMT). Langkah ini dinilai menjadi salah satu upaya pencegahan penghindaran pajak. Sementara, OECD memberikan resep penggantian tax holiday dengan insentif berbasis biaya.
Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai. Kedua lembaga memberikan resep pengurangan berbagai pengecualian dalam sistem PPN di Tanah Air yang diikuti dengan penurunan ambang batas pendaftaran sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Selain itu, mereka juga meminta adanya peningkatan tarif PPN secara bertahap.
Bersamaan dengan saran tersebut, IMF dan OECD merekomendasikan agar ada barang kena cukai (BKC) baru seperti kendaraan bermotor, bahan bakar, carbon, dan gula. Khusus untuk cukai hasil tembakau (CHT), OECD menyarankan agar ada peningkatan tarif serta harmonisasi (simplifikasi) untuk semua produk.
Keempat, pajak daerah, terutama pajak properti. IMF dan OECD sama-sama menganjurkan adanya kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB). Sebagai tambahan, OECD meminta agar ada kenaikan nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP). Mereka juga sepakat untuk mengembalikan beberapa jenis pajak yang semula sudah diberikan ke daerah menjadi kewenangan pusat. Seluruh usulan tersebut bertujuan untuk memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah.
Pada prinsipnya, berbagai racikan resep yang disampaikan IMF dan OECD berfokus pada penyakit menahun rendahnya tax ratio. Dengan demikian, penting bagi publik dan pemangku kepentingan untuk mencermati serta memiliki racikan resep yang paling mungkin untuk diambil. Bisa jadi, gabungan beberapa racikan resep keduanya mampu memberikan hasil yang lebih mujarab.