PEMBENAHAN administrasi merupakan agenda klasik yang selalu muncul dalam reformasi perpajakan. Tidak tanggung-tanggung, empat dari lima pilar reformasi yang tengah digodok pemerintah kali ini merupakan persoalan administrasi. Persoalan ini mencakup organisasi, sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi dan basis data, serta proses bisnis.
Fakta ini tentu tidak mengherankan karena aspek administrasi kelembagaan memegang peran vital dalam optimalisasi hasil reformasi perpajakan. Banyak reformasi perpajakan di negara-negara lain yang gagal karena tidak mengikutsertakan reorganisasi administrasi yang disertai perbaikan manajemen serta penguatan SDM (Quintana, 1994).
Meskipun terjadi peningkatan kinerja Ditjen Pajak (DJP) selama beberapa tahun terakhir, ruang untuk memaksimalkan proses pemungutan pajak masih cukup lebar. Dalam konteks ini, pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa rekomendasi fiskal yang diusulkan oleh IMF dan OECD.
Dari IMF, salah satu usulan yang dapat menjadi perhatian adalah dibentuknya Compliance Improvement Program( CIP). Program ini memberikan pendekatan sistematis yang difokuskan untuk peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP) di empat area yang berisiko tinggi, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, WP kaya yang merupakan individu berprofesi khusus (wealthy individuals), dan WP sangat kaya (ultra-high-wealth individuals/UHWI).
Untuk itu, IMF menyarankan agar kualitas proses audit menjadi perhatian utama yang perlu diperbaiki. Dalam mendukung proses audit yang efisien dan tepat sasaran, kapabilitas pencocokan data (data matching) juga perlu ditingkatkan melalui investasi data wajib pajak yang komprehensif dari berbagai sumber.
Beberapa modal data yang pemanfaatannya penting untuk dimaksimalkan adalah data yang telah diperoleh dari program pengampunan pajak, data perbankan, dan informasi yang nantinya akan diperoleh dari luar negeri melaluiAutomatic Exchange of Information (AEoI).
Keseluruhan proses pengolahan data perlu dimanfaatkan dalam mengelola risiko kepatuhan (compliance risk management). Hal ini berguna untuk mendeteksi ketidakpatuhan sejak dini serta menghindari terjadinya kesalahan dalam menjalankan proses audit. Artinya, proses audit yang lebih efektif tidak hanya mampu meningkatkan kepatuhan, tapi juga menekan angka sengketa.
Dari sisi administrasi kelembagaan DJP, IMF juga merekomendasikan agar kewenangan dalam mereorganisasi struktur kelembagaan diperbesar. Hal ini mencakup pembentukan unit-unit baru yang diperlukan DJP serta perekrutan dan pemberhentian karyawan yang lebih fleksibel.
Meskipun berada di dalam Kementerian Keuangan, DJP seharusnya juga memiliki fleksibilitas dalam mengambil keputusan operasional sehari-hari. Fleksibilitas juga termasuk dalam realokasi anggaran yang sudah ditentukan berdasarkan kebutuhan. Hal ini penting karena kebutuhan DJP dapat berubah dari waktu ke waktu secara. Dengan demikian, ada kebutuhan perubahan dalam keputusan alokasi anggaran.
IMF juga menyarankan penguatan kapasitas analisis pendapatan negara yang berada dalam domain tax policy unit. Unit tersebut nantinya diharapkan bisa memiliki akses atas data WP dalam rangka memberikan analisis mikro yang lebih kuat.
Kepatuhan Sukarela
Berbeda dengan rekomendasi IMF yang lebih menekankan pada upaya meningkatkan kepatuhan dari sudut pandang DJP, saran yang disampaikan OECD lebih menitikberatkan pada penguatan kepatuhan dari perspektif WP.
OECD memandang upaya penegakan hukum pajak harus ditingkatkan bersama-sama dengan upaya membangun kepatuhan secara sukarela dari WP. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost) yang selama ini dinilai cukup tinggi dan tidak proporsional (lihat artikel Menyoal Perluasan WHT). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kemudahan administrasi melalui penggunaan teknologi, mempercepat proses restitusi, dan meminimalkan tingkat sengketa.
Tidak hanya itu, memperkuat keberadaan fungsi tax ombudsman dalam rangka menjamin perlindungan hak-hak wajib pajak serta investasi untuk memperkuat pelayanan bagi WP, adalah dua elemen penting lainnya (lihat artikel Meningkatkan Penerimaan, Mengurangi Sengketa). Dengan demikian, WP akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap DJP. Keputusan untuk patuh tidak lagi hanya untuk menghindari hukuman atau sanksi.
Lebih lanjut, kompleksitas aturan perpajakan juga perlu dibenahi. Aturan pajak yang rumit menciptakan beban tersendiri bagi wajib pajak, terutama dengan timbulnya ketidakpastian dalam menginterpretasikan aturan perpajakan.
Dalam konteks ini, OECD mendukung rencana pemerintah untuk merevisi beberapa aturan yang memiliki ambiguitas dalam interpretasinya. OECD menyarankan agar upaya revisi juga diikuti adanya keterlibatan publik dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan demikian, revisi yang dilakukan sesuai dengan masalah yang dihadapi WP.
Melihat kedua pandangan, baik dari IMF maupun OECD, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan rekomendasi yang diusulkan. Keduanya terlihat memahami persoalan administrasi pajak yang kini tengah dibenahi. Selain itu, keduanya juga saling melengkapi dalam memetakan persoalan dan solusinya.
Pada akhirnya, pembenahan administrasi pajak, yang selalu menjadi agenda klasik reformasi, diharapkan dapat semakin ideal dan sesuai dengan international best practice.