Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan berupaya menahan rasio utang atau debt ratio pemerintah tidak meningkat dari posisi per akhir Desember 2021 yang mencapai 41% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp6.908,87 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan kebutuhan pembiayaan yang besar selama pandemi Covid-19 membuat rasio utang meningkat. Untuk itu, langkah-langkah konsolidasi fiskal diperlukan agar rasio utang tidak meningkat.
"Dengan konsolidasi fiskal ini, debt ratio kita akan tetap terkendali. Sekarang, kami melihat peluang yang sangat besar untuk kita bisa menjaga debt ratio tidak lagi meningkat," katanya, dikutip pada Minggu (30/1/2022).
Pemerintah, lanjut Febrio, menggunakan APBN sebagai instrumen countercyclical untuk menangani pandemi dan memulihkan ekonomi. Alhasil, defisit APBN diperlebar karena penerimaan negara, terutama pajak sempat menurun, sedangkan kebutuhan belanjanya meningkat.
Defisit APBN telah melebar menjadi 6,14% PDB pada 2020 dan menjadi 4,65% PDB pada 2021. Tahun ini, pemerintah menargetkan defisit APBN 2022 mencapai 4,85%.
Menurut Febrio, realisasi defisit APBN 2021 senilai Rp783,7 triliun setara dengan 78% dari target Rp1.006,4 triliun. Menurutnya, penurunan defisit tersebut tergolong berkualitas karena disebabkan peningkatan dari sisi penerimaan negara, terutama pajak.
"Ini adalah konsolidasi fiskal yang berkualitas, di mana lebih banyak di-drive penerimaan yang tumbuh kuat. Sementara itu, belanja negara juga tumbuh, tetapi tidak secepat penerimaan negara," ujarnya.
Langkah konsolidasi fiskal pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara di antaranya dengan melanjutkan upaya reformasi perpajakan atau menerapkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan pada tahun lalu. (rig)