Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri.
JAKARTA, DDTCNews - Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menambah utang demi menjaga ruang fiskal.
Menurut Anggota DEN Chatib Basri, penarikan utang harus selalu mempertimbangkan kemampuan negara untuk membayarnya. Oleh karena itu, penambahan penarikan utang harus dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara, terutama dari sisi pajak.
"Saya kira angkanya kalau kita lihat debt to GDP oke, tetapi GDP tidak bisa digunakan pemerintah untuk membayar bunga cicilan utang. Yang bisa dipakai pemerintah untuk membayar bunga cicilan utangnya itu adalah pajaknya," katanya, dikutip pada Minggu (23/2/2025).
Pengelolaan fiskal Indonesia tengah dibayangi dengan utang jatuh tempo pemerintah yang ditarik saat pandemi Covid-19. Pada 2025, utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp852 triliun. Pada 2026 dan 2027, utangnya masing-masing Rp803 triliun. Tahun berikutnya, utang yang jatuh tempo mencapai Rp720 triliun dan Rp622 triliun pada 2029.
Mengingat jatuh tempo utang yang tinggi tersebut, Indonesia pun harus menawarkan imbal hasil utang (yield) yang kompetitif ketimbang negara lain. Dalam situasi ini, pemerintah juga menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) untuk menekan pembiayaan anggaran yang berasal dari utang.
Chatib menyebut rasio utang Indonesia 39,36% terhadap PDB pada akhir 2024 memang terlihat baik-baik saja. Namun, pemerintah perlu mengukur kemampuan negara membayar utang berdasarkan total penerimaan (debt service to revenue ratio), terutama dari pajak.
Dia menuturkan kenaikan utang hanya dapat dilakukan apabila pemerintah mampu meningkatkan penerimaan negara dengan lebih cepat. Jika utang naik tanpa peningkatan penerimaan negara, alokasi untuk belanja berpotensi dipindahkan untuk membayar bunga cicilan utang.
"Debt service kepada tax kita sudah tinggi. Yang saya ingin katakan ialah ruang bagi pemerintah untuk meminjam uang hanya akan terjadi kalau revenue pajaknya naik," ujarnya. (rig)