PP 55/2022

PP 55/2022 Atur Kembali Pajak Penghasilan, DJP Rilis Pernyataan Resmi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 23 Desember 2022 | 17.30 WIB
PP 55/2022 Atur Kembali Pajak Penghasilan, DJP Rilis Pernyataan Resmi

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh). Beleid yang diundangkan mulai 20 Desember 2022 ini merupakan aturan turunan dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya klaster PPh. 

Melalui pernyataan resminya, Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan terbitnya PP 55/2022 bertujuan memberikan kepastian hukum, penyederhanaan, dan kemudahan administrasi perpajakan. Tak cuma itu, beleid ini juga bertujuan menekan celah praktik penghindaran pajak. 

"Dalam beleid ini, beberapa ketentuan bersifat meneruskan amanat Pasal 32C UU HPP untuk selanjutnya diatur di peraturan menteri keuangan (PMK), seperti Bab II tentang Objek PPh, Bab III tentang Pengecualian dari Objek PPh, dan Bab IV tentang Biaya yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor, dikutip Jumat (23/12/2022). 

Secara lebih spesifik, PP 55/2022 ikut mengatur penyusutan harta berwujud berupa bangunan permanen dan/atau amortisasi harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun. Terhadap kondisi tersebut, wajib pajak dapat memilih menggunakan masa manfaat 20 tahun berdasarkan UU PPh atau masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan wajib pajak dengan syarat taat asas. 

Kemudian, khusus untuk harta yang dimiliki sebelum tahun pajak 2022 dan telah disusutkan/diarmortisasi sesuai dengan masa manfaat dalam UU PPh, wajib pajak masih bisa memilih menggunakan masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan wajib pajak dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak. 

Selain itu, PP 55/2022 ikut mengatur kembali pemberian natura dan/atau kenikmatan. Natura dan/atau kenikmatan yang sebelumnya bukan merupakan objek pajak bagi pihak penerima dan tidak dapat dibebankan bagi pihak pemberi, kini menjadi objek pajak bagi pihak penerima dan dapat dibebankan bagi pihak pemberi (taxable and deductable). 

Beleid ini juga memerinci natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan pajak (nontaxable), yakni meliputi:

1. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai dari APBN/APBD/APBDes; atau
5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Kendati ketentuan terkait dengan natura ini berlaku sejak tahun pajak 2022, tetapi kewajiban pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja baru mulai berlaku untuk penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Januari 2023. 

Perlu dicatat, natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, atas penghasilan tersebut wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2022 oleh penerimanya. 

Kemudian, ada juga penyesuaian pengaturan terkait dengan PPh final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu sampai dengan Rp4,8 miliar. Ketentuan soal pemanfaatan PPh final UMKM ini sebelumnya diatur dalam PP 23/2018. 

Subjek pajak yang bisa memanfaatkan PPh final 0,5% kini mencakup wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau BUMD/BUMDes Bersama. 

Wajib pajak orang pribadi dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak tidak dikenai PPh final 0,5%. Perlu digarisbawahi, melalui PP 55/2022 ini jangka waktu tertentu pengenaan PPh final tetap meneruskan jangka waktu berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal. 

"Selain itu ada juga 2 bab yang mengatur ketentuan pajak internasional, yaitu Bab VII tentang Instrumen Pencegahan Penghindaran Pajak dan Bab VIII tentang Penerapan Perjanjian Internasional di Bidang Perpajakan," ujar Neilmaldrin. 

Instrumen pencegahan penghindaran pajak menggunakan instrumen pencegahan yang spesifik untuk skema penghindaran pajak tertentu serta penerapan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya. Instrumen yang dimaksud adalah pembatasan biaya pinjaman, pengaturan controlled foreign company, pencegahan dan penanganan sengketa transfer pricing, penanganan skema special purpose company, dan penanganan hybrid mismatch arrangement

"Jika instrumen pencegahan spesifik tidak dapat digunakan, Dirjen Pajak dapat menerapkan prinsip substance over form," kata Neilmaldrin. 

Sementara itu, perjanjian internasional di bidang perpajakan dilakukan untuk memenuhi beberapa tujuan. Antara lain, penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya. 

"PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, 20 Desember 2022. PP ini mencabut PP 18/2009, Pasal 2A PP 94/2010 s.t.d.d. PP 9/2021, PP 23/2018, Pasal 10 PP 29/2020, dan PP 30/2020. Namun, setelah PP ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan UU PPh masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP ini," ujar Neilmaldrin. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.