Ilustrasi.
ACCRA, DDTCNews – Parlemen Ghana menyetujui kebijakan pajak kontroversial, yaitu RUU e-Levy. Seiring dengan disahkannya undang-undang tersebut, transfer dan transaksi uang elektronik akan dikenai pajak sebesar 1,5%.
Ketua Parlemen Alban Bagbin menyatakan pajak transfer elektronik yang berada dalam RUU E-Levy tersebut telah melewati berbagai tahapan pertimbangan sebelum akhirnya disahkan pada 29 Maret 2022.
“Pajak transfer elektronik dibacakan hari ini setelah tahap pertimbangan telah berlalu,” katanya dikutip dari aljazeera.com, Rabu (30/3/2022).
Sementara itu, Presiden Ghana Nana Akufo-Addo menuturkan keputusan pemerintah menerapkan pajak transaksi elektronik atau e-levy tersebut akan membantu mengatasi masalah pengangguran hingga utang publik yang tinggi.
Menurut pemerintah, e-levy diestimasi akan membantu pemerintah mengumpulkan pendapatan negara senilai US$900 juta atau setara dengan Rp12,92 triliun. Namun, penerapannya telah memicu kritik yang meluas.
Menteri Keuangan Ken Ofori-Atta menambahkan pemerintah telah mengurangi pajak yang diusulkan semula 1,75% menjadi 1,5%. Dengan demikian, diharapkan dapat meringankan beban pajak yang harus ditanggung masyarakat.
Kritik muncul dari berbagai pihak termasuk masyarakat dan beberapa anggota parlemen. Bagi mayoritas penduduk, pajak merupakan beban terutama di tengah tekanan biaya hidup yang tinggi dan lonjakan harga bahan bakar akibat krisis di Ukraina.
Anggota Parlemen Partai Oposisi NDC Isaac Adingo menyatakan protes atas penerapan e-levy. Dia mempertanyakan alasan pemerintah menerapkan e-levy, meski masyarakat menolak penerapan pajak tersebut.
“Masyarakat menolak mentah-mentah e-levy dan konstituen meminta kami untuk menolaknya. Jadi, mengapa presiden memaksakannya kepada kami?” ujarnya. (rig)