EKONOMI DIGITAL

Pakar: Pengenaan Pajak Digital Jadi Wujud Kedaulatan Negara

Redaksi DDTCNews
Kamis, 18 Juni 2020 | 13.33 WIB
Pakar: Pengenaan Pajak Digital Jadi Wujud Kedaulatan Negara

Tangkapan layar saat acara #NgobrolSantaiBisniscom bertajuk “Siapkah Pajak Digital Diimplementasikan?” berlangsung. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah dinilai sudah berada di jalur yang tepat dalam perumusan kebijakan pajak terkait ekonomi digital. Pengenaan pajak digital dinilai menjadi bentuk dari upaya menunjukkan kedaulatan sebuah negara.

Pajak digital yang hendak diterapkan Indonesia, sesuai UU No.2 Tahun 2020, mencakup pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), dan pajak transaksi elektronik (PTE). Pemerintah dinilai sudah berada di jalur yang tepat karena menerapkan pemungutan PPN terlebih dahulu.

“Pemerintah sudah melakukan ancang-ancang yang bagus dan instrumen hukumnya juga sudah ada,” kata Partner of Tax Research dan Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dalam acara #NgobrolSantaiBisniscom bertajuk “Siapkah Pajak Digital Diimplementasikan?”, Kamis (18/6/2020).

Bawono mengungkapkan pemungutan PPN dalam transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) tidak memerlukan terobosan kebijakan dalam skala besar. Pasalnya, pajak atas konsumsi di dalam daerah pabean sudah menjadi kewenangan tiap negara, termasuk Indonesia.

Dalam konteks ini, tidak ada aturan pajak internasional yang ditabrak ketika pungutan PPN produk digital luar negeri dijalankan. Pungutan PPN dalam transaksi PMSE ini, sambungnya, juga sebagai bentuk kedaulatan pajak Indonesia.  

Bawono mengatakan tantangan terkait pengenaan PPN produk digital adalah terkait administrasi dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan ke kas negara. Menurutnya, pengenaan PPN yang sudah diatur dalam PMK 48/2020 sudah menjadi terobosan pemerintah dari sisi administrasi.

“Pemerintah juga sudah memberikan sinyal bagus dengan sosialiasi. Lewat undang-undang, juga sudah diatur mekanisme sanksi atas ketidakpatuhan, mulai dari surat teguran hingga akses yang ditutup sementara," kata Bawono.

Sementara itu, terkait PPh dan PTE, dia melihat adanya upaya antisipatif pemerintah terhadap proses penyusunan konsensus global yang saat ini tengah berjalan. Pasalnya, alokasi pembagian pajak penghasilan atas entitas ekonomi digital lintas yurisdiksi harus diselesaikan secara internasional.

Namun, melihat alotnya pembahasan konsensus global dan kuatnya tarik-menarik kepentingan antarnegara memang perlu diantisipasi. Meskipun sudah diatur dalam UU No.2 Tahun 2020, detail teknis pengenaan PPh dan PTE juga belum ada karena pemerintah masih menunggu konsensus global.

"Dari kacamata akademis untuk persoalan-persoalan pajak yang bersifat internasional maka seharusnya solusi yang dihasilkan bersifat internasional. Namun, solusi yang bersifat antisipatif dan unilateral bukan berarti tidak rasional," katanya. 

Bawono juga menggarisbawahi bahwa polemik PPh digital dan PTE jangan hanya dilihat dari besar atau kecilnya potensi pajak yang dipungut dibandingkan dengan risiko retaliasi perdagangan. Lebih dari itu, penyusunan regulasi pajak digital sesungguhnya merupakan bentuk perjuangan kedaulatan pajak Indonesia di tingkat internasional. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.