KALAU pada perang kemerdekaan pertengahan abad ke-20 almarhum nenek, kakek, dan buyut kita mengenal semboyan ‘Merdeka atau Mati’, pada paruh abad ke-18 rakyat nun di Amerika mengenal slogan ‘Tak Ada Pajak tanpa Representasi’ (No taxation without representation).
Sejarah kemerdekaan kita dan Amerika memang terpaut jauh. Jangan dulu mencela bahwa 100 orang peneken deklarasi kemerdekaan Amerika itu semuanya laki-laki, kulit putih, dan Protestan. Sementara 67 bapak bangsa kita di BPUPKI terdiri atas berbagai suku, kelamin, profesi, agama dan keyakinan.
Sebab saat Thomas Jefferson, Benjamin Franklin dkk ‘duduk-duduk cantik’ bergantian meneken deklarasi kemerdekaan tersebut, sastrawan-peramal dari Solo Raden Ngabehi Rangga Warsito, juga seorang pangeran sekaligus panglima perang pemberani di Jawa bernama Diponegoro, belum lahir.
Namun, meski jauh terpaut, kita tahu pemberontakan pajak bukan milik Amerika seorang. Jauh sebelum itu, pada abad ke-14, pemberontakan pajak juga meletus di Inggris, menyusul di Prancis pada abad ke-18. Dan di Indonesia pada akhir abad ke-19, ada Haji Wasid yang memimpin pemberontakan pajak para petani Banten.
Di Amerika pada paruh abad ke-18 itu ada seorang pengacara lulusan Harvard bernama James Otis Jr (1725–1783). Ayahnya perwira militer Inggris yang juga ahli hukum terkenal. Tak heran, pada awal karirnya, Otis memilih menjadi pegawai negeri Pemerintah Inggris di Pengadilan Massachusetts.
Namun, kesetiaannya kepada Raja Inggris berakhir. Sebagian sumber sejarah menyebutkan bahwa penyebabnya adalah karena ayahnya tak kunjung mendapatkan promosi yang sudah dijanjikan. Otis kemudian memilih desersi, dan alih-alih bekerja untuk Pemerintah Inggris yang membiayai ayahnya, Otis memutuskan banting stir menjadi pemberontak.
Setelah menemukan posisi politik yang sama sekali berbeda itu, tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari, bahwa segala jenis pajak yang dikenakan terhadap rakyat Amerika berangkat dari persetujuan parlemen di Inggris yang sama sekali tidak mewakili rakyat Amerika atau juga bahkan berasal dari Amerika.
Dengan kata lain, praktik pemajakan yang selama ini terjadi adalah praktik perampokan oleh negara kepada rakyatnya. Dari situlah kemudian datang slogan yang menginspirasi perang kemerdekaan Amerika tersebut. “Pajak tanpa representasi adalah tirani,” kata Otis dalam sebuah risalahnya.
Tapi memang sejarah sering punya misterinya sendiri. Hanya beberapa tahun sebelum Thomas Jefferson dkk menandatangi deklarasi kemerdekaan AS, Otis terlibat perkelahian hebat dengan sejumlah pegawai Bea Cukai Inggris di sebuah warung kopi di Boston. Kepalanya kena hantam.
Mental dan fisiknya terganggu setelah perkelahian itu. Ia pun tak lagi bekerja dan berpraktik sebagai pengacara. Sampai pada 23 Mei 1783, saat berdiri di halaman rumah dalam sebuah acara keluarga, sekonyong-konyong petir menyambar dirinya, dan ia pun langsung meninggal seketika.
Tapi kalimatnya tak ikut gosong. Tak sekadar menginspirasi perlawanan rakyat Amerika pada abad ke-18, sampai hari ini gagasannya tetap bergema, terutama di Amerika. Gerakan tea party pada 2009 masih mengutipnya, juga kelompok penekan pada sengketa uang kuliah yang sedikit memodifikasinya jadi ‘No tuition without representation’. Bagaimana di Indonesia? (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.