ROBERT ENDI JAWENG:

'Pajak Daerah Harus Kompetitif'

Awwaliatul Mukarromah | Rabu, 25 Mei 2016 | 10:18 WIB
'Pajak Daerah Harus Kompetitif'

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. (Foto: DDTCNews)

PAJAK daerah telah menjadi salah satu sumber penerimaan asli daerah yang kian diperhitungkan. Namun, masih banyak kasus di mana pajak daerah malah berubah menjadi momok bagi investasi, dengan praktik pemungutan yang belum proporsional, sehingga mendistorsi perekonomian daerah.

Tentu saja kondisi ini perlu diantisipasi sejak dini. Untuk menggali lebih jauh atas persoalan tersebut, beberapa waktu lalu DDTCNews menemui Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng untuk sebuah wawancara. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda memahami konsepsi pajak daerah?

Begini. Pertama-tama akan saya jelaskan perbedaan konsep antara pajak nasional, pajak daerah, dan retribusi. Sebab seringkali kaca mata pemerintah daerah dalam melihat pajak daerah seolah-olah sama dengan pajak nasional.

Pajak nasional memang iuran wajib yang berorientasi pada pemasukan kas negara karena memiliki fungsi budgetair, sedangkan retribusi merupakan pungutan yang harus jelas bentuk kontraprestasinya berupa pelayanan jasa atau barang yang diberikan ke pembayar retribusi secara langsung, spesifik, dan konkret.

Pajak daerah tempatnya berada di tengah-tengah antara pajak pusat dan retribusi. Ini berarti orientasi dari pajak daerah tidak hanya semata untuk memberikan pemasukan bagi kas pemerintah daerah, tetapi juga harus berorientasi pada karakter ekonominya, yaitu memberikan pelayanan publik.

Secara konsep, pajak daerah memang harus mempunyai kaitan yang jelas dengan layanan publik apa yang akan diberikan kepada masyarakat. Meskipun tidak sama dengan retribusi, namun dalam pajak daerah harus ada benefit tax link yang jelas, artinya apa benefit atau layanan publik dari pajak yang dipungut itu.

Dalam konteks tersebut, meski harus diakui kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah, pemerintah daerah seharusnya tidak terlalu menjadikan pajak daerah sebagai alat atau ukuran untuk melihat pemasukan kas pemerintah daerah, karena hal itu bukan tujuan utama dari pajak daerah.

Tapi dalam praktik, kini muncul fenomena perang tarif antardaerah. Komentar Anda?

Iya, ini fenomena yang memang terjadi. Contohnya kasus perang tarif yang terjadi pada Bea Balik Nama (BBN) kendaraan bermotor. Nah, kan Pemerintah Daerah Jawa Timur menetapkan tarif BBN sebesar 15%, sedangkan Pemerintah DKI Jakarta sebesar 10%.

Lalu yang terjadi adalah banyak kendaraan bermotor di Surabaya, Jawa Timur yang berplat nomor Jakarta. Artinya, banyak masyarakat yang memilih mendaftarkan kendaraannya di Jakarta meski digunakan di Surabaya, sehingga uang pajak yang seharusnya masuk ke kas Surabaya, justru beralih ke Jakarta.

Tapi, memang itulah yang ingin diciptakan dari semangat otonomi. Semangatnya adalah berkompetisi menggunakan pajak sebagai instrumen berkompetisi dengan daerah lain sekaligus juga menggunakan pajak itu sebagai alat untuk pelayanan publik yang jelas manfaatnya.

Dengan kata lain, pemerintah daerah harus bisa menerapkan pajak yang kompetitif, sehingga mampu menarik investasi dan dapat mendorong peningkatan penerimaan kas daerah. Dari sisi itu, perang tarif itu sesuatu yang normal saja.

Menurut Anda, apa persoalan terbesar dalam pajak daerah?

Persoalan pertamanya adalah soal potensi. Jika memang tidak punya potensi, daerah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Misal saja PBB-P2, kalau membandingkan kota-kota seperti Surabaya, Bandung, dan Bogor dengan daerah di wilayah entah berantah, tentu tidak akan sama dan tidak mungkin disamakan.

Setiap daerah memiliki potensi yang berbeda, sedangkan potensi inilah yang akan muncul menjadi basis atau objek pajak. Jika dari awal daerah tidak punya potensi, dari mana basis dan objek pajaknya. Potensi pajak inilah yang persoalan mendasar atas sulitnya daerah meningkatkan penerimaan pajaknya.

Kemudian kedua adalah soal kapasitas administrasi. Kapasitas ini berbicara pada kemampuan aparat pemerintah daerah dalam mengelola pajaknya. Dalam memungut pajak, pemerintah daerah tidak bisa asal memungut, tetapi juga harus bisa mempersiapkan segala perangkat dan alat pendukungnya.

Contoh lain, setelah UU PDRD berlaku, kendaraan pemerintah yang sebelumnya dikecualikan dari objek pajak, sekarang sudah menjadi objek pajak di daerah, namun dalam praktiknya terjadi kendala yang mengakibatkan pajak atas kendaraan pemerintah tersebut tidak bisa dipungut.

Selain masalah potensi, kapasitas dan persoalan teknis di lapangan juga menyebabkan potensi pajak yang ada menjadi tidak teroptimalkan. Jika potensi di daerah tinggi, tetapi masalah kapasitas tata kelola dan penegakan hukumnya masih besar, maka sulit bagi daerah untuk bisa optimal.

Jika persoalan-persoalan tersebut bisa dibereskan, meski tidak bisa dilihat satu per satu, rata-rata kontribusi PAD akan jauh melampaui standar, bahkan bisa lebih dari 30%, sehingga pada akhirnya kemandirian dan otonomi daerah bisa benar-benar tercipta di daerah.

Khusus untuk masalah pengalihan PBB-P2 dan BPHTB, apa komentar Anda?

Kalau tentang PBB-P2 dan BPHTB, keduanya adalah jenis pajak yang dialihkan wewenang pemungutannya dari pusat ke daerah. UU PDRD mengatakan keduanya menjadi pajak daerah mulai 1 Januari 2010, tetapi diberikan masa transisi untuk BPHTB paling lama 1 Januari 2011, sedangan PBB paling lama 1 Januari 2014.

Persoalan pertama dari devolusi pajak ini adalah persoalan masa transisi yang dinilai terlalu cepat dan kurang memperhatikan kondisi di daerah yang berbeda-beda. Persoalan lain dalam devolusi PBB-P2 dan BPHTB ini juga terlihat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang seringkali tidak update.

Praktiknya, seringkali masyarakat menggunakan nilai pasar untuk melakukan transaksi jual beli tanah, tapi untuk pembayaran pajaknya menggunakan NJOP. Penyesuaian NJOP inilah tugas pemerintah daerah. Jika nilai NJOP tidak disesuaikan, maka tidak heran jika penerimaan pajak dari sektor ini akan selalu rendah.

Karena itu, perlu ada pendampingan kepada daerah sebelum benar-benar dilepas. Dalam hal ini Endi mengusulkan adanya konsep administrasi bersama, artinya ada pembagian kerja antara KPP Pratama dan dispenda/DPPKAD dalam memungut PBB-P2 dan BPHTB.

Tujuan dari devolusi ini memang baik, yaitu untuk memberikan jenis pajak baru kepada daerah dalam rangka penguatan fiskal, namun dalam manajemen transisinya, penyerahan wewenang ini terlalu cepat dilimpahkan secara total.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 27 Maret 2024 | 16:30 WIB KOTA PALANGKA RAYA

Pemkot Adakan Program Pemutihan PBB, Berlaku hingga 30 September

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:00 WIB KOTA TASIKMALAYA

Amanat UU HKPD, Pemkot Tasikmalaya Atur Tarif Pajak Daerah Terbaru

BERITA PILIHAN