Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Market Review yang disiarkan IDX Channel, Kamis (15/7/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Tingginya penggunaan platform digital di Indonesia berdampak pada besarnya potensi pajak yang bisa didapatkan pemerintah.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pemajakan ekonomi digital bisa dilihat dari 2 aspek, yaitu pajak penghasilan (PPh) atas perusahaan lintas yurisdiksi dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
“Kedua aspek tersebut telah ada primary legistlation-nya dalam UU No.2/2020. Namun, yang saat ini belum sepenuhnya terdeteksi adalah terkait sharing and gig economy, e-commerce, dan fintech. Melihat berbagai data yang ada, tentu potensi pajak digital bisa lebih tinggi dari estimasi pemerintah,” ujar Bawono dalam Market Review yang disiarkan IDX Channel, Kamis (15/7/2021).
Menurut Bawono, setidaknya ada 3 langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pajak dari ekosistem digital tersebut. Pertama, menggandeng platform digital untuk memberikan edukasi dan engagement. Kedua, kewajiban bagi platform digital agar memberikan data transaksinya untuk tujuan identifikasi dan profiling.
Ketiga, menunjuk platform digital sebagai pemungut pajak atas transaksi penyerahan dan penghasilan yang diterima setiap pihak dalam ekosistem platform tersebut. Bawono menjelaskan wacana penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak sudah diusulkan masuk dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Terkait dengan berbagai upaya dan kebijakan tersebut, menurutnya, pemerintah perlu mengadakan diskusi bersama penyedia platform. Dengan demikian, ada masukan yang bisa didapat dari diskusi tersebut.
“Dengan adanya data, pemerintah lebih tahu pihak mana yang mendapatkan penghasilan serta arus transaksi. Sangat baik jika di kemudian hari ada pembicaraan mengenai bagaimana respons platform digital atau asosiasi tentang rencana penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak,” ujar Bawono
Bawono menambahkan penting untuk melihat kesetaraan perlakuan antara bisnis konvensional dengan digital. Pasalnya, bisnis konvensional selama ini telah berkonstribusi besar pada penerimaan pajak. Sementara solusi untuk bisnis digital, terutama melalui media sosial, belum sepenuhnya optimal.
“Penting bagi pemerintah untuk melihat bagaimana equal tax treatment untuk seluruh transaksi di manapun atau melalui apapun juga,” ungkapnya
Terkait dengan pajak atas youtuber, Bawono menyebut pemerintah harus memahami jenis penghasilan yang diperoleh. Umumnya, youtuber memperoleh penghasilan dari iklan serta barang atau fasilitas (natura/kenikmatan) dari endorsement.
Kendati belum ada best practice, Bawono menguraikan baru-baru ini Amerika Serikat (AS) memaksa Google memberikan data dan informasi tetang besaran serta sumber penghasilan yang diperoleh youtuber dari pemirsa AS. Dari data tersebut, akan ada pemotongan pajak dengan tarif bertingkat antara 15% hingga 30%, tergantung kepatuhan.
“Tapi ini dimungkinkan karena pusat Google berada di AS sehingga mereka punya kekuatan. Ini belum tentu bisa diterapkan negara lain. Oleh karena itu, penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak ini merupakan jalan keluar,” jelas Bawono
Sementara itu, untuk pemajakan atas natura yang diterima youtuber, pemerintah telah mewacanakan penerapan fringe benefit tax (FBT). Skema tersebut memungkinkan berbagai barang atau fasilitas yang diterima yotuber dari endorsement dikenakan pajak. Simak ulasan mengenai fringe benefit tax di sini. (kaw)